Jumat, 27 Desember 2013

Perumahan dan Permukiman di Kabupaten Banyumas



Sebagaimana kita ketahui bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara kondisi masyarakat dengan kondisi perumahan dan permukiman. Berangkat dari sistem sosial sebagai dasar dalam membahas masalah perumahan dan permukiman penduduk, maka secara prinsip di Kabupaten Banyumas terdapat 2 (dua) sistem sosial, yakni masyarakat rural (perdesaan) dan masyarakat urban (perkotaan). Antara kedua sistem sosial tersebut terdapat perbedaan yang sangat kontras.
1.  Masyarakat perdesaan (rural) merupakan masyarakat tradisional dengan sifat pola pikir sebagaimana terurai di depan. Hubungan antara personal dalam kelompok yang sangat kuat (hubungan primer). Rasa kebersamaan masyarakat cukup besar. Kondisi umum perumahan di daerah perdesaan adalah:
a.    Permasalahan utama lebih terarah pada kualitas dari pada kuantitas.
b.   Pola penataan ruang rumah tradisional masih diterapkan (ada kecenderungan untuk meninggalkannya). Sifat privasi kurang diperhatikan tetapi lebih mengutamakan ruang-ruang yang bersifat kebersamaan.
c.   Batas antar kapling perumahan tidak jelas nampak, sehingga halaman merupakan halam bersama.
d.    Materal dari bahan alami dengan kualitas relatif rendah.
e.  Estetika, etika, dan kesehatan kurang mendapat perhatian (sebagai akibat tingkat ekonomi masyarakat yang relatif rendah).
f. Pembangunan dan perbaikan rumah dilaksanakan dengan gotong-royong (sambatan, arisan, dan sumbangan).
g.   Pemeliharaan fasilitas publik dilaksanakan secara bergotong-royong.

 2.  Masyarakat perkotaan (urban) yang pada umumnya lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan bersama (umum). Hubungan antar personal lebih didasarkan pada untung-rugi bagi dirinya, sehingga hubungan antar personal kurang erat (hubungan sekunder).
Kondisi umum perumahan di daerah perkotaan khususnya di kota Purwokerto dan sekitarnya adalah sebagai berikut:
a.   Permasalahan umum adalah permasalahan kuantitas (luas) ruang per kapita.
b. Pembangunan perumahan lebih didominasi oleh pengembang, yang lebih mengutamakan kelompok menengah ke atas, dengan lebih mengutamakan aspek fisik bangunan (teknis) dari pada aspek sosial – budaya. Hubungan sosial dengan lingkungan sekitar terputus.



c.   Lokasi pembangunan lebih banyak di luar area perencanaan dalam RUTRK Purwokerto.
d.  Penyediaan ruang umum (bersama) sangat minimal, lebih mengutamakan ruang pribadi dengan privasi yang sangat besar. Hal ini terjadi baik secara mikro (rumah tinggal) maupun makro (komplek perumahan).
e.   Faktor keamanan sangat diutamakan, dengan batas antar kapling rumah yang masif dan kuat sehingga memperkuat sifat individualis penghuni.
f.     Secara umum terjadi penurunan kualitas lingkungan.

Perencanaan Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Disadari bahwa dalam pembangunan perumahan dan permukiman terdapat 4 (empat) unsur yang berperanan dengan masing-masing kepentingannya. Empat unsur pemegang peran tersebut adalah: masyarakat, swasta, bank, dan pemerintah setempat.
1. Masyarakat, yang dalam hal ini adalah pengguna. Sebagaimana telah disebutkan di depan bahwa kebutuhan akan perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan setiap orang atau seluruh warga masyarakat, karena perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan primer. Dengan demikian hak dari pengguna adalah manfaat atas perumahan dan permukiman untuk memenuhi kebutuhan baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikhis. Sebagai imbalannya pengguna berkewajiban untuk membayar sejumlah uang, yang pada umumnya tidak dipunyai secara tunai.
2.  Swasta (pengembang) sebagai penyedia jasa, yang tujuan utamanya adalah mencari untung sebanyak mungkin, melalui pengadaan perumahan dan permukiman. Untuk tercapainya tujuan tersebut maka para pengembang sering kurang memperhatikan kualitas produk. Andaikan kualitas produk terpenuhi, maka harga akan relatif lebih tinggi.
3.   Bank, sebagai pihak penyedia dana baik bagi pengembang maupun pengguna (masyarakat).
4.   Pemerintah Kabupaten (eksekutif dan legislatif), sebagai fasilitator yang menjembatani kepentingan ketiga pihak yang berperanan sebelumnya. Untuk memenuhi kepuasan semua pihak jelas tidak mungkin, maka paling tidak semua pihak yang berkepentingan tidak merasa dirugikan. Untuk itu pemerintah membuat rambu-rambu mana yang harus dan mana yang tidak boleh dilaksanakan dalam pembangunan perumahan dan permukiman bagi masyarakat tersebut. Rambu-rambu atau aturan main tersebut meliputi aspek-aspek: administratif, yuridis, maupun teknis.
Dari aspek perencanaan, sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Banyumas telah menetapkan Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten, Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) baik kota Purwokerto maupun beberapa kota Ibu Kota Kecamatan (IKK). Sebagaimana diketahui bahwa di dalam RTRW telah ditetapkan kawasan-kawasan termasuk kawasan terbangun. Sedang di dalam RUTRK telah ditetapkan fungsi masing-masing bagian wilayah kota (perencanaan), termasuk analisis jumlah unit kebutuhan bangunan rumah tinggal penduduk di masa mendatang. Namun demikian dalam pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman di Kabupaten Banyumas dan khususnya di kota Purwokerto belum mengacu pada RTRW Kabupaten maupun RUTRK Purwokerto.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Otonomi Daerah, yang kemudian diganti dengan Undng-undang No. 32 tahun 2004, maka secara yuridis Pemerintah Kabupaten Banyumas mempunyai otonomi atas daerahnya. Namun demikian otonomi daerah kabupaten ini untuk hal-hal tertentu masih dibatasi oleh otonomi Pemerintah Propinsi maupun oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian secara positif keterlibatan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi masih ada dan masih diperlukan dalam pemberdayaan masyarakat di daerah kabupaten. Untuk ini ditengarai dengan adanya subsidi dan proyek-proyek pusat maupun provinsi yang perlu dilaksanakan di daerah termasuk proyek-proyek pembangunan perumahan dan permukiman. dari Dirjen. Perumahan dan Permukiman (Perkim) Departemen Kimpraswil, maupun Dinas Kimtaru Propinsi Jawa Tengah.
Hal-hal yang sangat mendasar menurut Penjelasan Umum Undang-Undang No. 22 tahun 1999 angka 1. huruf e. adalah bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota harus dapat mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dari ketentuan tersebut jelas bahwa inti otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat sedemikian sehingga masyarakat secara mandiri mempunyai inisiatif, kreativitas dan berperanserta secara aktif dalam membangun diri dan daerahnya termasuk pembangunan perumahan dan permukiman, sehingga akan sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat.
Saran Alternatif
Berangkat dari kondisi dan permasalahan sebagaimana terurai di depan, maka saran alternatif dalam proses pembangunan perumahan dan permukiman diharapkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perencanaan perumahan dan permukiman secara makro didasarkan pada RTRW dan RUTRK yang disesuaikan dengan kondisi dan aspirasi masyarakat.
2. Secara teknis pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman didasarkan standar teknis yang berlaku dan disesuaikan dengan kondisi setempat.
3. Dalam pelaksanaan pembangunan melibatkan dan mempergunakan lembaga sosial yang telah ada dan efektif di masyarakat.
4.  Orientasi pengembang tidak berorientasi keuntungan belaka.
5.  Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Teknis terkait lebih berfungsi sebagai fasilitator yang mendampingi masyarakat.
6. Pemerintah Kabupaten perlu berusaha untuk dapat menurunkan proyek-proyek perumahan dan permukiman dari Pusat, khususnya Ditjend. Perkim.