Selasa, 30 April 2013

HIJAU KOTAKU, LEGA NAPASKU



Disadari semua pihak bahwa dengan begitu pesatnya pembangunan yang berorientasi pada daerah perkotaan, justeru semakin menarik bagi penduduk perdesaan untuk datang dan mencari nafkah di daerah perkotaan. Tanpa disadari hal akan meningkatkan jumlah aktivitas yang berakibat semakin meningkat pula jumlah gas karbon (CO2) di udara perkotaan, di lain sisi ruang terbuka hijau semakin berkurang, berubah fungsi sebagai area terbangun. Terjadi ketidakseimbangan ekologis antara produksi gas karbon dengan gas oksigen (O2). Akibatnya suhu udara kerkotaan semakin panas.
Menyadari akan kekeliruan yang selama ini terjadi, maka sudah sewajarnya Pemerintah sebagai pengambil kebijakan berupaya untuk terjadinya keseimbangan antara jumlah gas CO2 yang terproduksi dengan kebutuhan gas O2 yang diproduksi oleh tumbuh-tumbuhan dalam bentuk ruang terbuka hijau. Upaya tersebut melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan yang diharapkan dapat efektif, sehingga dikenakan sanksi nagi yang tidak menaatinya.
Pasal 29 Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan tegas menetapkan bahwa Ruang Terbuka Hijau di daerah perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau publik (20 % luas wilayah kota) dan ruang terbuka hijau privat (10 % luas wilayah kota). Dalam pengertiannya, Pasal 1 angka 31 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Berbeda dengan Undang-undang Penataan Ruang sebelumnya (UU. No. 24 tahun 1992) yang tidak menyebutkan sama sekali kata-kata ”ruang terbuka hijau”, Undang-undang No. 26 tahun 2007 di dalam batang tubuh maupun penjelasan menyebutkannya 18 (delapan belas) kali. Hal ini menunjukan keseriusannya dalam mengelola lingkungan hidup, khususnya masalah ruang terbuka hijau di daerah perkotaan.
Walau UU. No. 26 tahun 2007 baru disahkan pada tanggal 26 April 2007, namun Menteri Pekerjaan Umum sebelumnya telah menerbitkan buku yang berjudul “Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota Taman” sebagai pedoman teknis pegadaan ruang terbuka hijau di perkotaan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P03/MENHUT-V/2004 tanggal 22 Juli 2004 melalui Lampiran I bagian keenam menetapkan Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Sedang Menteri Dalam Negeri pada tanggal 6 Oktober 1988 telah menerbitkan Instruksi No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Perkotaan yang ditujukan kepada seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota untuk: merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan sebagai bagian dan tindak lanjut pelaksanaan Rencana Umum Tata Ruang Kota di Ibukota Propinsi/Kotamadya, Ibukota Kabupaten, Kota Administratif dan kota-kota lain dengan pedoman sebagaimana tersebut dalam Lampiran Instruksi ini.
Selain itu, Menteri Dalam Negeri juga mengistruksikan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/ Waikota untuk: melaksanakan pengelolaan dan pengendalian dalam rangka meningkatkan fungsi dan peranan Ruang Terbuka Hijau Kota dengan melarang atau membatasi perubahan penggunaannya untuk kepentingan lain.
Menindaklanjuti ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, beberapa Pemerintah Kota, terutama kota-kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang dan lain-lain) telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Ruang Terbuka Hijau di wilayahnya.
Di dalam Perdanya, Pemerintah Kota Semarang antara lain menetapkan bahwa setiap lingkungan RT, RW dan kelurahan wajib memiliki taman lingkungan. Wilayah RT wajib mempunyai taman lingkungan minimal 250 meter persegi, taman lingkungan tingkat RW minimal seluas 1.500 meter persegi dan setiap kelurahan wajib mempunyai taman minimal luasnya 10.000 meter persegi.
Kemudian untuk lingkungan rumah, setiap rumah dengan luas di bawah 120 meter persegi harus menyediakan satu pohon lindung, rumah luas 120-500 meter persegi harus menyediakan 3 pohon dan rumah dengan luas di atas 500 meter persegi wajib menyediakan 5 pohon. Sedangkan pemilik bangunan bertingkat wajib membangun taman gantung di atap atau balkon. Selanjutnya bagi pengembang perumahan wajib menyediakan lahan Ruang Terbuka Hijau sebesar 20 % dari luas lahan yang dibangunnya. Dampak dari Perda ini, setiap pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) wajib dilengkapi dokumen perencanaan Ruang Terbuka Hijau, dan dikenai sanksi administrasi atau pidana bagi yang melanggar.
Sejalan dengan berbagai macam ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, Pemerintah Kabupaten Banyumas sementara ini sedangan mengajukan Perda tentang Pengendalian (Pengelolaan?) Lingkungan Hidup di Kabupaten Banyumas ke DPRD Kabupaten Banyumas untu mendapatkan persetujuannya.
Yang sangat menggembirakan bagi masyarakat Banyumas dengan adanya perda tersebut adalah bahwa di Kabupaten Banyumas lingkungan hidup akan dikelola dengan penuh tanggung jawab, berkelanjutan dan bermanfaat guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan demi kesejahteraan generasi masa kini dan generasi yang akan datang. Hal tersebut dilaksanakan dengan mencegah dan menanggulangi serta memulihkan akibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, serta memelihara dan melestarikan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi pembangunan berkelanjutan guna kesejahteraan generasi masa kini dan generasi yang akan datang. Untuk itu setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan.
Ruang terbuka hijau (sebagai bagian dari lingkungan hidup) baik yang merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok secara fisik berfungsi sebagai paru-paru kota. Ruang terbuka hijau merupakan tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam sebagai produsen gas oksigen (O2) yang sangat dibutuhkan manusia sebagai pengganti gas CO2 akibat dari dilakukannya berbagai macam kegiatan penduduk. Semakin luas ruang terbuka hijau, semakin banyak tanaman, semakin banyak gas O2 yang diproduksi. “Hijau kotaku, lega napasku”.
Adapun kegiatan penghasil gas CO2 terbanyak adalah transportasi dengan kendaraan bermotor. Karenanya adanya jalur hijau yang rindang merupakan suatu hal yang wajib hukumnya, di samping diimbangi dengan pembatasan jumlah kendaraan yang lewat pada jalur jalan tersebut. Menyadari akan hal tersebut, Pemerintah DKI Jakarta merencanakan menggusur 27 unit SPBU di sepanjang tepian jalur jalan utama sebagai upaya penambahan luas ruang terbuka hijau, di samping menggusur rumah-rumah liar di bantaran sungai.
Suatu hal yang sangat menarik adalah pembangunan ruang terbuka hijau sepanjang bantaran sungai sebagai taman rekreasi sebagaimana terjadi tepian Bengawan Solo Bengawan Solo Bengawan Solo di Kota Surakarta dan tepian Kali Code di Yogyakarta dengan pot-pot tanaman hiasnya.
Suatu hal yang sangat ironis terjadi di kota Ibukota Kabupaten Banyumas. Di satu sisi Pemerintah Kabupaten sedang mengajukan persetujuan Raperda tentang lingkungan hidup yang mewajibkan setiap orang untuk memelihara kelestarian lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan, serta merubah lahan di pusat kota yang mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi dengan anggaran miyaran rupiah menjadi area terbuka hijau, di sisi lain pohon-pohon di tepian jalur jalan yang usianya sudah puluhan tahun ditebang sebelum penggantinya siap. Secara nasional Presiden mencanangkan “Gerakan Penanaman Sejuta Pohon” sebagai gerakan nasional, di Purwokerto disambut dengan “gerakan penebangan puluhan pohon”.

Semoga hal ini merupakan pelajaran yang berharga bagi masyarakat Banyumas, serta Tuhan YME memaafkan umat-Nya yang telah merusak alam ciptaan-Nya. Amien, amien, amien
 
Purwokerto, 23 Juni 2009

Minggu, 28 April 2013

JEMBATAN SERAYU

 Jembatan Banyumas

 Jembatan Maos

 Jembatan Banyumas

 Jembatan Banyumas

JAMAN EDAN …… KAPAN DATANG


Kita menyadari bahwa pada jaman sekarang kemajuan teknologi telekomunikasi sudah begitu canggihnya. Selama dua puluh empat jam penuh kita dapat mengetahui peristiwa yang sedang terjadi di seluruh pelosok dunia. Baik informasi tentang perang, bencana alam, maupun informasi tentang ekonomi, budaya, politik dan sebagainya. Bukan hanya peristiwa yang sedang terjadi tetapi juga ramalan peristiwa atau kondisi, dengan kemajuan teknologi dapat segera diprediksi dan diinformasikan ke seluruh dunia dalam tempo yang sesingkat-singkatnya..
Dalam hal memprediksi atau ramal-meramal suatu kondisi di masa yang akan datang, kiranya kita bangsa Indonesia tidak terlalu kalah dengan bangsa lain di dunia ini. Paranormal kita kiranya juga cukup handal, ngerti sadurunge winarah atau mengetahui sebelum diberitahu orang lain. Suatu kebetulan atau memang kelebihan paranormal. Hanya hati kita yang tahu, dan untuk meyakininya.
Tidak sedikit buku primbon yang diterbitkan dan dijual di toko buku. Pada dasarnya buku primbon mengemukakan adanya hubungan yang sangat erat antara manusia dengan alam (mata hari, bulan, bumi). Dengan mengetahui saat (jam, hari, tanggal, bulan dan tahun) akan dapat diketahui sifat manusia yang bersangkutan. Untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan hidup, dapat diantisipasi dengan lokasi, arah menghadap rumah atau juga saat mulai membangun rumah. Hal yang sangat penting pada saat kondisi Negara yang memprihatinkan sekarang ini adalah ramalan akan datangnya Ratu Adil. Siapa Ratu Adil dan kapan datangnya masyarakat tetap menunggunya.
Selain masalah Ratu Adil, konon kabarnya, dulu pujangga besar Ki Ranggawarsita pernah mengatakan: “Ing tembe buri manungsa bakal menangi jaman edan”, yang artinya  kira-kira bahwa di kemudian hari manusia akan mengalami datangnya “jaman edan”. Kita sudah tahu arti kata edan atau gila. Hampir semua orang takut sama orang gila. Dengan demikian “jaman edan” merupakan jaman yang menakutkan semua orang, kecuali sesama orang gila. Masalahnya kira-kira kapan datangnya jaman yang sangat menakutkan tersebut. Apakah sekarang sudah datang, dan kita tidak menyambutnya? Mudah-mudahan belum, dan kita wajib syukur bila jaman yang sangat menakutkan itu tidak datang ke Indonesia tercinta ini.
Untuk mengetahui apakah jaman edan itu sudah datang atau belum, pujangga Ki Ranggawarsita memberikan petunjuk atau tanda-tanda adanya jaman edan yakni:
1.    Panguwasa den bandhani durjana
Panguwasa yang berarti penguasa, dalam hal ini dimaksudkan para pejabat pemerintah sebagai pemegang kebijakan umum. Den bandhani artinya diberi harta benda/kekayaan. Durjana artinya pencuri. Kita mengetahui bahwa pencuri adalah orang yang profesinya mengambil dengan tanpa ijin atas harta orang lain untuk menjadi miliknya. Bahkan kadang-kadang dengan paksaan dan kekerasan, atau pembunuhan.
Dengan demikian ungkapan tersebut di atas mengandung pengertian bahwa di jaman edan para penguasa (pejabat pemerintah) diberi harta kekayaan oleh pencuri, atau mendapatkan kekayaan dengan metode atau cara-cara yang dipergunakan oleh para durjana. Bila kondisi seperti ini benar-benar terjadi, maka secara moral para pejabat yang demikian kiranya lebih jahat dari pada pencuri. Mudah-mudahan kondisi yang demikian tidak terjadi di negeri kita, atau di daerah kita, atau minimalnya tidak terjadi pada diri kita.
2.    Durjana memba pandhita
Memba artinya menyerupai, bertindak dan berkapasitas menyerupai. Dengan demikian memba lebih tepat diartikan berpura-pura, bukan hal yang sebenarnya. Pandhita adalah orang yang berilmu sangat tinggi, berbudi pekerti yang sangat luhur, dengan mental dan moral yang baik. Karenanya pandhita diibaratkan seorang guru teladan dalam ilmu maupun sebagai panutan (teladan) berbudi pekerti yang luhur dalam kehidupan duniawi untuk mencapai kehidupan di alam akhir yang sempurna.
Sangat disayangkan bahwa kondisi dan sifat sang pandhita yang sangat baik tersebut dimanfaatkan oleh para durjana untuk melaksanakan profesinya. Sebaliknya pada jaman edan para durjana mempunyai kapasitas keilmuan seperti para pandhita. Para durjana menguasai dan menerapkan perkembangan teknologi, dan teori-teori ilmu social kemanusiaan. Karenanya bukan mustahil bila banyak warga masyarakat yang terpikat, pada kemampuan, penampilan dengan tipu muslihat serta bujuk rayu yang meyakinkan.
3.    Pandhita ngupaya upa
Ngupaya upa artinya adal;ah berikhtiar untuk mendapatkan upa (sebutir nasi). Hal ini dimaksudkan bahwa pada jaman edan para pendidik dalam pikiran dan kehidupannya tidak terfokuskan pada tugas utamanya yakni memberikan bekal ilmu dan budi pekerti yang baik kepada anak didiknya, tetapi lebih terarah pada bagaimana mendapatkan sesuap nasi bagi dirinya. Kiranya bukan sekedar mendapatkan sesuap nasi, tetapi dimungkinkan kegiatan pendidikan baik secara legal maupun illegal lebih diarahkan untuk mendapatkan materi demi kebahagiaan duniawi.
Oleh media masa baik cetak maupun elektronik setiap hari kita dijejali dengan berita-berita bahwa tentang kasus-kasus mulai dari dugaan, sampai dengan pengadilan perkara pidana tentang komisi, suap, korupsi sampai dengan penyelewengan anggaran. Sebagian besar kasus tersebut dilakukan oleh para pejabat dari tingkat RT. sampai dengan tingkat Pusat. Berita lain dari media masa bahwa Indonesia merupakan Negara terkorup di dunia. Namun kini telah menurun jadi nomor enam, itupun konon karena menyuap panitia. Sedang berita yang terlewatkan oleh media masa adalah bahwa pejabat kita meraih juara pertama dalam lomba memeras handuk antar benua. Namun para peserta dan penonton lainnya tidak memberikan tepuk tangan karena berita yang tersebar di luar negeri bahwa pejabat kita telah lama latihan dengan memeras uang rakyat.
Berbagai modus operandi diterapkan penjahat untuk menjerat mangsanya. Orang mengatakan bahwa iklan menuju neraka jauh lebih gencar dan lebih menarik dari pada iklan menuju sorga. Karenanya orang sering atau mudah tergiur pada hal-hal yang sifatnya instan. Beberapa saat kemudian baru sadar bahwa mereka tertipu bujuk rayu iklan gomba, dan melapor ke kepolisian. Pihak kepolisian pun sering dibuat kewalahan oleh ulah para penjahat. Teknologi modern dikuasai dan diterapkan oleh para penjahat. Kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi (HP, komputer, internet), teknologi tranportasi, ramuan zat kimia sampai dengan teknik seni peran dipergunakan untuk tujuan kejahatan.
Penguasaan dan penerapan kecanggihan teknologi dan seni berperilaku yang meyakinkan para penjahat jauh lebih tinggi dari pada seorang guru besar perguruan tinggi. Pendapatan para penjahat jauh lebih tinggi dari pada seorang guru besar (apa lagi seorang dosen atau seorang guru). Padahal mereka disebut sebagai pahlawan tetapi pahlawan yang tanpa tanda jasa. Dosen, gajinya satu dos tapi isinya sen melulu. Sebagai pendidik, guru diartikan digugu lan ditiru (dipercaya dan diteladani), namun kondisi tingkat kesejahteraan tidak laik untuk ditiru.
Berangkat dari ketidak-seimbangan tersebut, para pendidik (sebagai manusia biasa) merasa terjepit oleh gebyarnya kehidupan di dunia. Tekanan dan dorongan baik dari dalam maupun dari luar untuk menjaga keseimbangan, para pendidik baik secara probadi maupun kelembagaan berusaha untuk menambah pendapatan. Waktu demi waktu, keseimbangan itu semakin sulit untuk dipertahankan. Karenanya upaya menambah pendapatan di bidang pendidikan semakin diformalkan melalui lembaga pendidikan yang bersangkutan, sehingga muncul bisnis pendidikan atau pendidikan yang dibisniskan. Biaya pendidikan semakin tinggi. Hanya orang-orang yang berduit yang dapat sekolah atau menyekolahkan anaknya.
Dengan memperbandingkan antara tanda-tanda jaman edan dengan berikta-berita di media masa tersebut di atas terlihat ada kesamaannya. Dengan demikian apakah jaman sekarang merupakan jaman edan, yang konon bila ora melu edan ora keduman yang atau bila tidak ikut gila tidak kebagian. Namun pesan Ki Ranggawarsita bahwa sak begja-begjane menungsa isih begja wong kang eling lan waspada, yang artinya bahwa orang yang akan menemukan kebahagiaan adalah orang yang selalu ingat (pada Allah) dan waspada terhadap pengaruh dari luar yang biasanya justru menyesatkan kita. Dan orang yang sangat saya hormati pernah berpesan pada diri saya: “Pilih harta apa nama”. Bila pilih harta namanya akan rusak, atau sebaliknya. Selanjutnya tersertah anda.

Purwokerto,  Agustus 2005


Riyanto Pahlawan Tak Dikenal



(Dicuplik dari buku Cukilan Sejarah Pertempuran Prompong)

Masyarakat kelurahan Sumampir khususnya dan Purwokerto Utara pada umumnya telah mengenal benar bahwa jalan dari Pasar Cerme Purwosari ke arah timur sampai dengan simpang tiga jalan HR, Bunyamin adalah jalan Riyanto. Namun siapa sebenarnya Riyanto yang dijadikan nama jalan tersebut tidak banyak yang mengenalnya.
Riyanto adalah seorang pemuda asal Kelurahan Pabuwaran Purwokerto Utara, yang sekarang tepatnya di wilayah RT. 02 RW. 03. Pada waktu mudanya (umur 14 – 15 tahun atau usia kelas 2 – 3 SMP) bersama teman-temannya, yang antara lain Suparto dan Moh. Besar bergabung dengan kelompok Tentara Pelajar IMAM. Semula (September 1945) IMAM adalah kependekan dari Indonesia Merdeka Atau Mati, namun kemudian (Desember 1945) dengan penuh semangat mereka merubahnya menjadi Indonesia Merdeka Atau Merdeka.
Riyanto merupakan salah seorang putra dari 4 (empat) orang putra dan seorang putri dari bapak Sujonoparto, yang pada jaman pemerintah kolonial Belanda adalah seorang guru yang sering dicari-cari oleh Belanda karena dengan tulisannya di beberapa majalah membakar semangat para pemuda untuk melawan Belanda.
Sebagai pelajar yang bergabung menjadi anggota Tentara Pelajar, sudah barang tentu sering memolos sekolah untuk ikut bertempur. Beberapa palagan perang yang pernah diikuti oleh Tentara Pelajar IMAM antara lain: Ambarawa, Semarang Barat, Jakarta Tenggara, Bandung Timur, Cirebon dan di daerah Banyumas sendiri. Palagan terakhir yang diikuti Riyanto adalah Palagan Prompong pada hari Jum’at Paing tanggal 8 Agustus 1947 bertepatan dengan tanggal 21 Ramadhan 1366 H.
Dalam pertempuran Prompong (diperingati dengan pembangunan monumen tugu batu di desa Kutasari Kec. Baturaden) telah gugur antara lain Suparto dan Muhammad Besar, yang sekarang diabadikan namanya sebagai nama jalan masing-masing Suparto di desa Purwosari dan Muhammad Besar di desa Kutasari. Sedangkan anggota Tentara Pelajar IMAM yang lain termasuk pemuda Riyanto, kembali ke rumah masing-masing.
Pada hari Sabtu Pon, tanggal 9 Agustus 1947, dari rumahnya yang berjarak kira-kira 100 meter dari jalan raya Purwokerto – Baturaden, Riyanto dapat mengetahui bahwa banyak kendaraan militer Belanda yang patroli hilir mudik di jalan itu. Mengetahui akan hal tersebut, Riyanto berinisiatif untuk memasang ranjau-ranjau darat di jalan itu,
Malam harinya Riyanto dengan bantuan penduduk setempat memasang ranjau, tepatnya di dekat simpang tiga di grumbul Sokawera desa Rempoah. Pada esok harinya Riyanto bersama beberapa anggota tentara menunggu di bawah rumpun bambu. Sekitar jam 11.00 Minggu, 10 Agustus 1947 datang iring-iringan kendaraan militer Belanda dari arah Baturaden menuju ke selatan. Kendaraan pertama selamat, namun kendaraan di belakangnya ya penuh tentara Belanda melanggar ranjau, hancur dan masuk sungai Galur di sebelah barat jalan.
Mengetahui hal ini Riyanto bersama teman-temannya segera mendekat untuk mengambili senjata. Tanpa diketahuinya datang bantuan tentara Belanda yang langsung membabi-buta menembaki mereka. Riyanto tidak sempat melarikan diri dan terkena tembak peluru Belanda. Riyanto gugur. Jenasahnya dimakamkan di pemakaman umum Pabuwaran. Sedangkan namanya di abadikan sebagai nama jalan di wilayah kelurahan Sumampir.
Makam Riyanto di TPU Pabuwaran Purwokerto Utara (dok. Eyang Nardi)
 
Memperhatikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, maka pemberian nama jalan Riyanto untuk jalaur jalan yang sekarang, kiranya kurang tepat. Nama Riyanto akan lebih tepat kalau dipergunakan untuk menamai jalur jalan antara Pabuwaran sampai Rempoah. Berawal dari desa kelahirannya sampai desa tempat kematiannya.




MASA-MASA AKHIR TERMINAL BUS KARANGKLESEM PURWOKERTO















Sabtu, 27 April 2013

PROSTITUSI SEBAGAI PIONIR PENGEMBANGAN KOTA



Prostitusi, penyebab dan dampaknya

Dikatakan bahwa prostitusi merupakan profesi tertua di dunia. Semenjak ada kehidupan manusia, telah ada prostitusi, dan akan terus ada selama masih ada kehidupan manusia. Hal ini didasarkan anggapan bahwa secara naluriah, manusia baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial, melalui berbagai cara dan usaha dalam bentuk budaya, mempunyai kehendak yang antara lain: (1) mempertahankan dirinya dari gangguan dan tantangan yang ada; (2) mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya; (3) mempertahankan hidup generasinya melalui perkawinan; (4) mengadakan hubungan seksual antara kedua jenis kelamin untuk memenuhi kebutuhan biologis; dan lain-lain

Dari pendapat beberapa ahli melalui hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa di dalam praktek prostitusi terdapat unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Para pelaku atau subyek prostitusi adalah orang laki-laki dan orang perempuan di luar hubungan pernikahan. 
  2. Peristiwa yang dilakukan adalah hubungan seksual atau hubungan persetubuhan, yang dilakukan atas kesepakatan bersama antara kedua pihak, atau bukan karena paksaan. 
  3. Tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan biologis (bagi laki-laki), dan kebutuhan uang (bagi perempuan).

Dari aspek ekonomi, yang bekerjanya atas dasar hubungan supply and demand, jelas bahwa di dalam praktek prostitusi terlihat sebagaimana tersebut dalam butir (3) di atas. Tekanan ekonomi sebagai akibat ditinggal suami merupakan alasan klasik untuk timbulnya prostitusi, yang akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan keadaan (kuantitas dan kualitas kehidupan) manusia khususnya di daerah-daerah perkotaan.

Disadari bahwa prostitusi ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang berdampak tidak baik (negatif). Dampak negatif tersebut antara lain: (a) secara sosiologis prostitusi merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat; (b) dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi; (c) dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan yang merendahkan martabat wanita; (d) dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasanm tenaga kerja; (e) dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya; (f) dari aspek kamtibmas, praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan kriminal; dan (g) dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan.

Namun tanpa memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan, serta haram dan halalnya uang yang mereka peroleh, suatu kenyataan bahwa dari praktek prostitusi mereka dapat menghidupi dirinya dan keluarganya, dan bahkan dapat menyekolahkan anak atau dirinya, serta membangun rumahnya.

Sudah banyak upaya menghapuskan praktek prostitusi dari lingkungan pergaulan masyarakat. Namun kenyataannya prostitusi masih tetap ada. Beberapa usaha dan tindakan pemerintah dalam menangani permasalahan dan dampak negatif prostitusi adalah:

  1. secara represif, yang antara lain: (a) merealisasi ketentuan hukum pidana terhadap pelanggarnya, (b) tidakan pengawasan, pengaturan dan pencegahan penyakit yang ditimbulkan karena praktek prostitusi; 
  2. secara preventif, yang antara lain: (a) penyelenggaraan pendidikan seks di sekolah, (b) penyuluhan bahaya penyakit yang diakibatkan oleh praktek prostitusi, (c) pertolongan psikhologis-psikhiatris terhadap para gadis yang menunjukkan gejala kedewasaan kehidupan seksual dan bantuan perawatan anak-anak di sekolah.

Namun kiranya kegiatan-kegiatan tersebut belum menampakkan hasilnya, sehingga perlu ditingkatkan baik secara intensif maupun ekstensif.

Faktor-faktor pengembang prostitusi

Perkembangan teknologi merupakan tuntutan jaman, tuntutan kehidupan manusia dalam memnuhi kebutuhannya. Dengan perkembangan teknologi pula menjadikan kota (terutama di negara-negara sedang berkembang) dibangun sedemikian, sehingga terjadi perbedaan yang sangat mencolok bila dibandingkan dengan kondisi di perdesaan. Semua itu merupakan magnit urbanisasi yang sangat kuat.

Urbanisasi (secara demografi, dalam arti perpindahan penduduk dari desa ke kota) mereka lakukan dengan maksud untuk mempertahankan hidup dan mempercepat proses pengembangan kehidupan. Melalui media televisi, terlihat gebyarnya perkotaan, betapa mudahnya orang mendapatkan kemewahan di perkotaan (terutama kota-kota besar). Semua itu menjadikan kecemburuan bagi waga perdesaan. Terjadilah perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota besar, dengan satu tujuan yakni mencari pekerjaan demi uang.

Dari berbagai pengamatan dan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa sebagai akibat urbanisasi yang tanpa diikuti urbanisasi secara sosial (perubahan pola pikir dan peri laku urbanisan) antara lain adanya beberapa dampak negatif dalam aspek fisik lingkungan, aspek ekonomi, maupun aspek sosial dan hukum, yang salah satunya adalah timbulnya prostitusi.

Dengan modal pengetahuan dan keterampilan yang seadanya, tanpa mengetahui perbedaan yang sangat kontras antara perdesaan di kota-kota kecil dengan perkotaan merupakan kendala utama dalam memperoleh pekerjaan yang diimpikan sebelumnya. Keadaan terpaksa oleh kegagalan demi kegagalan untuk mendapatkan pekerjaan legal, keengganan untuk kembali ke desa, ditunjang dengan tipuan dan rayuan para lelaki hidung belang merupakan langkah awal menuju dunia prostitusi.

Dengan menerapkan teori Swab, maka faktor-faktor yang menyebabkan timbul dan berkembangnya prostitusi antara lain:

  1. Kondisi kependudukan, yang antara lain: jumlah penduduk yang besar dengan komposisi penduduk wanita lebih banyak dari pada penduduk laki-laki. 
  2. Perkembangan tenologi, yang antara lain: teknologi industri kosmetik termasuk operasi plastik, alat-alat dan/atau obat pencegah kehamilan; teknologi dalam telekomunikasi dan transportasi. Dalam hal ini yang jelas adalah penyalahgunaan terhadap produk-produk perkembangan teknologi di bidang industri. 
  3. Lemahnya penerapan, dan ringannya sanksi hukum positif yang diterapkan terhadap pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum tersebut dapat dilakukan oleh pelaku (subyek) prostitusi, mucikari, pengelola hotel/penginapan, dan lain-lain. Mahalnya biaya (resmi) pernikahan, sulitnuya prosedur perceraian juga merupakan faktor pengembangan praktek prostitusi secara kuantitas. 
  4. Kondisi lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungann alam (fisik) yang menunjang. Kurangnya kontrol di lingkungan permukiman oleh masyarakat sekitar, serta lingkungan alam seperti: jalur-jalur jalan, taman-taman kota, atau tempat-tempat lain yang sepi dan kekurangan fasilitas penerangan di malam hari, sangat menunjang untuk terjadinya praktek prostitusi.


Prostitusi dan pengembangan kota

Dalam teori/konsepsi perkotaan, prostitusi dapat diibaratkan sebagai jaringan riool kota atau jaringan pembuang kotoran. Riool kota yang berbau busuk, namun bila riool kota tersebut ditutup, maka bau busuk tersebut akan menjalar ke seluruh penjuru kota. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan kesadaran para warga kota, agar dalam membangun rumah dilengkapi pula dengan adanya kakus, septic tank, dan sumur peresapan yang memenuhi persyaratan, dengan lokasi yang tidak mengganggu tetangga sebelah.

Bila keadaan kurang memungkinkan sumur peresapan, tempat pembuangan akhir kotoran keluarga dapat dimanfaatkan secara kolektif beberapa keluarga, atau bahkan untuk seluruh warga kota. Lokasi pembuangan akhir tersebut terpencil sehungga bau kotoran tidak mengganggu lingkungan sekitar. Bila perlu limbah  tersebut diproses sedemikian agar kotoran dapat diterima masyarakat dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.

Seperti halnya pengatasan air kotor (linbah) keluarga, prostitusi pengatasannya dimulai dari lingkup terkecil yakni keluarga. Dengan pondasi rumah tangga yang kuat berupa pendidikan, baik pendidikan formal (pengetahuan ilmiah dan teknologi) maupun pendidikan budi pekerti dan keagamaan bagi suatu keluarga merupakan dasar yang kuat untuk dapat menghindari agar tidak terjerumus ke dalam lembah prostitusi.

Suatu dilema, bahwa telah disadari dari aspek apapun prostitusi merupakan suatu hal yang negatif, namun sangat sulit atau bahkan mungkin tidak dapat dihilangkan dari kehidupan masyarakat atau merupakan penyakit mayarakat. Karenanya permasalahan prostitusi bukan hanya merupakan permasalahan pemerintah kota khususnya dinas/instansi terkait, tetapi juga permasalahan mayarakat secara umum. Agar dampak negatif prostitusi tidak menyebar atau menular ke lingkungan sekitar, maka diperlukan berbagai pembatasan dalam prakteknya, yang antara lain melalui lokalisasi prostitusi.

Lokalisasi sebagai tempat penampungan dan praktek prostitusi merupakan tempat pembinaan dan pengentasan prostitusi, yang keberhasilannya sangat tergantung pada peranserta berbagai pihak (lembaga dan instansi pemerintah dan swasta) terkait, termasuk masyarakat. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan di lokalisasi prostitusi antara lain:

  1. Pendidikan budi pekerti/moral dan agama, dengan harapan agar peserta dapat memahami dan menyadari akan etika, dan norma-norma yang ada di dalam mayarakat. Adapun pesertanya adalah: gadis, germo/mucikari, dan penjaja seks. 
  2. Pendidikan ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan kerja, dengan tujuan agar peserta dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna sebagai modal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pesertanya adalah: gadis desa, germo dan penjaja seks. 
  3. Pengetahuan kesehatan, dengan tujuan agar peserta mengetahui dan menjaga diri dari terjangkitnya penyakit sebagai akibat hubungan seks bebas. Pesertanya adalah germa dan penjaja seks. 
  4. Permodalan dengan tujuan agar peserta (germo dan penjaja seks) dapat mengetahui cara/ prosedur memperoleh kredit modal kerja. 
  5. Sosial/kemasyarakatan, dengan tujuan agar peserta mengetahui hak dan kewajiban warga mayarakat dalam hidup bermasyarakat secara rukun damai, dan dapat menerima mantan germo dan penjaja seks.

Kegiatan-kegiatan tersebut oleh berbagai pihak yang terkait secara terpadu dilaksanakan dan dievaluasi/ dimonitor secara berkesinambungan keberhasilannya.

Selain hal-hal tersebut di atas, kewajiban lain dari pemerintah adalah menentukan lokasi lokalisasi prostitusi, yaitu tempat yang terpencil, ke arah mana kota tersebut akan dikembangkan. Dengan lokasi yang terpencil tersebut diharapkan akan dapat mengurangi/ memperkecil kunjungan tujuan laki-laki hidung belang untuk praktek prostitusi.

Diyakini bahwa dengan adanya lokalisasi di daerah terpencil tersebut, di sekitar area lokalisasi akan tumbuh berbagai fasilitas pelayanan, dan terus akan berkembang, seperti kata pepatah: ada gula ada semut. Setelah hidup berkembang sebagai layaknya suatu daerah hunian, lokalisasi dipindahkan ke tempat baru yang terpencil juga, dan akan berkembang lagi. Demikian seterusnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prostitusi merupakan pionir pengembangan kota.

Purwokerto, akhir Mei 2001

 Radar Banyumas: Rabu Kliwon, 13 Juni 2001