Sabtu, 31 Agustus 2013

ASONGAN YANG TERASINGKAN


Tulisan ini saya tulis pada akhir bulan Januari tahun 2006 untuk menanggapi kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas yang tidak mengijinkan para pengasong (pedagang asongan) di Terminal Bus Tipe A Purwokerto yang baru selesai pembangunannya. Kasus serupa (larangan asongan untuk berjualan) baru saja terjadi di Purwokerto, tepatnya di Stasiun Besar Purwokerto. Berbagi upaya mereka (para pedagang asongan) lakukan, namun kelihatannya usaha mereka sia-sia, tanpa hasil yang nyata.


“Selamat dan Salut” layak disampaikan kepada Masyarakat Banyumas pada umumnya dan kepada Pemerintah Kabupaten khususnya, yang dengan gigih berjuang menyelesaikan mega proyek Pembangunan Terminal Bus Tipe A kota Purwokerto tepat waktu. Suatu prestasi yang luar biasa. Walau dalam pelaksanaannya mega proyek ini terdapat berbagai kendala, namun “show must go on”. Hasilnya dapat dilihat, bangunan terminal yang megah, demgan halaman yang sangat luas.
Selesainya pembangunan fisik bangunan bukan berarti telah tiada permasalahan. Permasalahan baru telah menghadang di depan hidung, yakni management atau pengelolaan. Bukan suatu hal yang mudah mengelola terminal bus sebesar itu. Dimulai dari memperbaiki halaman yang konon masih banyak genangan air, mengadakan sarana-sarana penunjang, melelang (yang konon terjadi pengulangan) hak pengelolaan atas toilet (yang konon belum lancar), sampai dengan kemungkinan terjadinya terminal bayangan.
Kesibukan lain terjadi pula di gedung Dewan. Mulai dari kemungkinan pembentukkan Badan Pengelola (yang terdiri dari berbagai unsur terkait), mengadakan public hearing dengan masyarakat terminal, pembahasan perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 5 tahun 1998 tentang Retribusi Terminal, Kunja studi banding ke Terminal Kampung Rambutan di Jakarta sampai dengan penegakkan hukum di terminal.
Tentang Badan Pengelola Terminal, masih menjadi wacana yang semakin pudar gaungnya. Dari public hearing dengan masyarakat terminal diperoleh informasi bahwa selain pungutan resmi juga berbagai pungutan liar yang ditarik oleh pejabat maupun oleh sebagian warga masyarakat terminal sendiri (preman). Walau telah ada pungutan tambahan, namun pelayanan yang diterima belum maksimal. Berangkat dari informasi dalam public hearing tersebut, maka DPRD Kabupaten Banyumas mengusulkan pungutan (baik resmi maupun tidak resmi) ditetapkan sebagai tarip baru restribusi berbagai kegiatan di terminal.
Dalam hal kunja studi banding ke Terminal Kampung Rambutan, masyarakat Banyumas mendapatkan oleh-oleh antara lain Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 tahun 1995, yang dengan tegas melarang adanya pedagang asongan berjualan di area Terminal Bus Tipe A, seperti halnya di Terminal Kampung Rambutan maupun Terminal Bus Purwokerto (yang baru). Aturan tersebut akan diberlakukan dan ditegakkan di Terminal Bus Purwokerto. Salut, dan angkat topi setinggi-tingginya. Harapan masyarakat, khususnya masyarakat terminal, termasuk awak bus maupun moda-moda transportasi lainnya, penegakkan hukum itu tidak hanya bagi pedagang asongan, tetapi juga berlaku buat para preman (baik yang berseragam maupun tidak berseragam).
Diyakini bahwa Menteri Perhubungan (waktu itu) belum pernah berprofesi sebagai pedagang asongan, dan kemungkinan pula belum pernah menjadi penumpang bus umum. Bagi penumpang bus umum (khususnya kelas ekonomi) sebetulnya pedagang asongan sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan darurat yang jumlahnya sangat kecil, seperti segelas air minum, permen, koran, tisu dan lain-lain. Apakah pihak pengelola terminal (Pemerintah) dapat menjamin bahwa penumpang sebelah yang sangat ramah adalah bukan calon pelaku kriminal, yang akan mengambil barang/tas sewaktu penumpang membeli kebutuhan di kios yang lokasinya belum diketahui atau jauh dari bus.
Dengan tidak adanya pedagang asongan di terminal bus Purwokerto, hanya ada tiga alternatif bagi penumpang yakni: (1) duduk dengan nyaman, aman tetapi kebutuhan daruratnya tidak terpenuhi, (2) kebutuhan darurat terpenuhi tetapi barang/tas hilang, atau (3) kebutuhan darurat terpenuhi tetapi kehilangan tempat duduk yang telah dipilihnya untuk ditempati orang lain.
Permasalahannya adalah bukan ada tidaknya pedagang asongan di terminal. Keberadaan pedagang asongan tetap dibutuhkan sebagai salah satu bentuk pelayanan yang diberikan bagi penumpang, tetapi dengan catatan tidak mengganggu kenyamanan penumpang. Usahakan para pedagang (termasuk pengamen) tidak masuk ke dalam bus, cukup melalui jendela atau maksimal sampai pintu bus. Hal ini tinggal bagaimana pengelola terminal mengatur (melalui tata-tertib yang sebelumnya telah disepakati bersama) dan membina para pedagang asongan sebagai salah satu tugas Pemerintah.
Asongan dan/atau pengamen tetap menggangu kenyamanan para penumpang. Mengutamakan penumpang (sebagai pembeli jasa) dari pada pedagang asongan dan pengamen (sebagai parasit) merupakan kewajiban penyedia jasa. Tidak hanya sewaktu di terminal apa lagi hanya di terminal bus Purwokerto, tetapi sepanjang perjalanan. Kenyamanan di dalam bus juga menjadi tanggung jawab pemilik bus dengan seluruh awak bus yang bersangkutan, sebagai salah satu bentuk jasa pelayanan. Kenyamanan di terminal adalah kenyamanan semu, karena penumpang lebih lama di dalam bus dari pada di dalam area terminal.
Nasib pedagang asongan khususnya atau sektor informal pada umumnya (termasuk PKL, PSK maupun tukang becak) hampir di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berkembang adalah sama. Alan Gilbert dan Josef Gugler (1996) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa oleh para Pejabat dan sebagian kaum elit lokal biasanya mereka (sektor informal) dipandang sebagai gangguan yang membuat kota menjadi kotor dan tidak rapi; menyebabkan lalu-lintas macet, pesaing pedagang toko/kios yang terkena pajak besar. Sektor informal sering digambarkan sebagai pengangguran terselubung, atau setengah pengangguran. Mereka dianggap sebagai parasit dan sumber pelaku kejahatan atau menjadi satu jaringan pelaku kriminal.
Berangkat dari anggapan tersebut menurut para Pejabat asongan harus diasingkan, bukan dicari solusi secara win-win solution. Hubungan dengan sektor formal (pedagang kios, pengusaha bus) bukan secara parasitis, tetapi menjadi mutualistis, saling menguntungkan, seperti hubungan antara pemilik restoran dengan para pelayan yang mengantar makanan dari dapur ke meja pembeli.
Kiranya para Pejabat kurang memahami bahwa sektor informal dalam operasionalnya sangat positif yakni bahwa mereka: (a) operasinya dalam skala kecil; (b) bersandar pada sumberdaya lokal; (c) modal milik sendiri (bukan bantuan pemerintah); (d) padat karya dengan teknologi yang bersifat adaptif; (e) keterampilan diperoleh di luar sistem pendidikan formal, (f) tidak terkena langsung oleh regulasi dan (g) pasar bersifat kompetitif. Karenanya mudah untuk dimasuki sehingga akan menyerap tenaga kerja cukup besar, yang apabila dibina dengan baik akan dapat menjadi sumber pendapatan daerah yang potensial.
Bila dalam operasionalnya pedagang asongan dianggap/dipandang menggangu, maka untuk membatasi gerak dan perilaku para pedagang asongan sudah semestinya diatur dalam suatu aturan atau tata-tertib bagi pedagang kaki-lima. Dengan adanya tata-tertib yang diadakan sebelumnya, maka bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi yang setimpal.
Dari aspek hukum, bila dicermati lebih mendasar, Keputusan Menteri Perhubungan yang melarang keberadaan pedagang asongan di Terminal Bus Tipe A tersebut diterbitkan tahun 1995, yakni sebelum ditetapkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 maupun No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan tersebut ditetapkan pada masa pemeritahan dengan paradigma lama, dengan Pemerintah sebagai penguasa. Dengan paradima yang baru, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengamanahkan bahwa dengan fungsi Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan atau sebagai pelayan masyarakat, mempunyai wewenang membuat peraturan perundang-undangan sebagai sarana dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat (termasuk pedagang asongan).
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas tentang Terminal lingkup berlakunya tidak hanya bagi terminal Purwokerto tetapi berlaku pula bagi terminal lain di Kabupaten Banyumas. Perda tersebut akan lebih baik bila tidak hanya mengatur tentang Retribusi, tetapi segala aspek yang ada di terminal. Perda tentang Terminal mengatur seluruh hak dan kewajiban serta sanksi bagi semua pihak yang terkait dalam terminal, termasuk Pemerintah. Pedagang asongan adalah merupakan bagian dari terminal bus. Mengapa dalam konsep perencanaan pembangunan terminal tidak dipersiapkan atau direncanakan ruang wadah bagi mereka? Dengan demikian pedagang asongan tidak terasingkan.

Purwokerto, 25 Januari 2006
Penulis adalah Dosen Arsitektur UNWIKU,
Pemerhati Pembangunan Daerah


Kamis, 29 Agustus 2013

DHONG INYONG ORA DHONG ....

Dhong egin sekolah neng es er,
inyong dewulang bu guru
empat sehat lima sempurna
angger madhang aja kelalen
lawuh tahu apa tempe


 Dhong latihan dadi pandhu
inyong deajari nembang karo ngibing
dorong putar tarik .. dorong putar tarik ..
saya sudah tahu kedele jadi tahu
kaya kuwe kon karo nggeolna bokong

Dhong dadi pemuda pemimpin pesen ….
“Hei pemuda .. harapan bangsa ….
jangan kamu bermental tempe ....
esuk kedhele sore dadi beda rupa lan rasa ….”

Dhong madan dhewasa maning
inyong krungu Bung Karno pidato neng radio
“Negara kita negara gemah ripah loh jinawi ….
subur kang sarwa tinandur …
murah kang kudu tinuku ….”

Siki inyong dadi tambah dhong
jebule kedhele dadi panganan paling lezat
kanggone rakyat gutul para pejabat
sekang mendhoan gutul susu sari dhele
ora esuk ora sore rasane nikmat neng ilat

Siki inyong tambah ora dhong
jebulane kedhele anu kulakan sekang manca negara
tukune ora gampang lan regane ya cukup larang
merga regane wis detumpang-tumpang
kit sekang kuli, bupati gutul menteri

Dhong jamane bapa kaki urung mati
ngerti pranatan mangsa petungan wong kuna
nadyan butuh tapi duwe rasa pekewuh
nandur kedhele mesthi dadi
merga wani nolak kersane pak mantri tani
sing butuh uang komisi tuku kedhele luar negeri

Inyong dadi lewih dhong ..
jebule akeh pejabat ati dhon .. dhong
jabane alus jeroane rakus kaya wedhus
senenge nedhak pekarangan tangga ….

PENGANTEN RUNGAL



Jaman gemiyen (inyong ya egin menangi) neng tlatah Banyumas ana tradisi sing desebut Penganten Rungal utawa Rungalan. Penganten Rungal utawa rungalan kuwe detindakna angger penganten wadon egin duwe kakang sing urung tau nikah utawa dadi penganten. Kejaba dheweke (si Rungal) olih gawan penganggo sepengadeg, uga pas jejer penganten, penganten rungal kuwe ya dejagongna neng tengah-tengah antara penganten lanang karo penganten wadon. Acara ritual kuwe kanggo bukti pengormatan sekang penganten maring kakange sing durung dadi penganten tuwe .....

Sabtu, 17 Agustus 2013

SEPUTAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI

 Ibu Fatmawati sedang menjahit Bendera Pusaka

 Upacara pengibaran Bendera Pusaka

 Upacara pengibaran Bendera Pusaka

Pembacaan Do'a

Lagu Wajib Nasional:

HARI MERDEKA

Karangan / Ciptaan : H. Mutahar

Tujuh belas agustus tahun empat lima 
Itulah hari kemerdekaan kita 
Hari merdeka nusa dan bangsa 
Hari lahirnya bangsa Indonesia 
Merdeka
Sekali merdeka tetap merdeka 
Selama hayat masih di kandung badan 
Kita tetap setia tetap setia 
Mempertahankan Indonesia 
Kita tetap setia tetap setia 
Membela negara kita

Jumat, 16 Agustus 2013

BERKIBARLAH BENDERAKU


Karangan / Ciptaan : Ibu Sud

Berkibarlah benderaku 
Lambang suci gagah perwira 
Di seluruh pantai Indonesia 
Kau tetap pujaan bangsa
Siapa berani menurunkan engkau 
Serentak rakyatmu membela
Sang merah putih yang perwira 
Berkibarlah Slama-lamanya

Kami rakyat Indonesia 
Bersedia setiap masa
 Mencurahkan segenap tenaga 
Supaya kau tetap cemerlang
Tak goyang jiwaku menahan rintangan 
Tak gentar rakyatmu berkorban 
Sang merah putih yang perwira 
Berkibarlah Slama-lamanya





Selasa, 13 Agustus 2013

SELEMBAR TISUE

Walau hanya selembar tisue, 
namun dia dapat bermanfaat buat membersihkan daki kotoran yang melekat di tubuh kita

Jumat, 09 Agustus 2013

BRUG GANTUNG BATURADEN AMBROL



Suara Merdeka, Jumat, 27 Oktober 2006
Tujuh Pengelola Diperiksa
Baja Sling Sudah Lama Rusak

PURWOKERTO - Menyusul ambrolnya jembatan gantung Lokawisata Baturraden, Polres Banyumas telah memeriksa tujuh orang yang bertanggung jawab atas pengelolaan jembatan itu. Mereka diperiksa dengan kapasitas sebagai saksi.
Ketujuh orang itu adalah karyawan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Banyumas yang bertugas sebagai pengontrol jembatanTarikun dan Tarso, Kepala Bidang Objek dan Pemasaran Wisata Disparbud Darwis Cahyono, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lokawisata Baturraden Joko Haryanto, serta karyawan bagian tata usaha dan petugas kebersihan Lokawisata Rustam, Rohadi, dan Surono.
Kapolda Jateng Irjen Drs Dody Sumantyawan HS SH didampingi Kapolwil Banyumas Kombes Drs Emron Putra Agung dan Kapolres Banyumas AKBP Drs Suherman, kemarin meninjau jembatan gantung yang ambrol itu.
Dody menyatakan setiap ada peristiwa apalagi sampai menimbulkan korban jiwa, polisi sudah pasti akan menggelar penyelidikan. Hal itu dilakukan untuk mengetahui kenapa peristiwa tersebut bisa terjadi.
Saksi Ahli
Saat ini, penyelidikan masih berjalan. Polisi tak hanya memeriksa pihak pengelola, tetapi juga memerintahkan Laboratorium Forensik (Labfor) Mabes Polri Cabang Semarang untuk melakukan penelitian. Polisi pun akan meminta keterangan dari saksi ahli dari Dinas Pekerjaan Umum.
"Penyelidikan itu untuk mengetahui apakah terdapat unsur pidana dalam peristiwa tersebut. Meski bukan karena faktor kesengajaan, tetap harus digali apakah ada kelalaian atau tidak. Kalau ada, siapa yang lalai," ujar dia.
Hingga kemarin, jajaran Polres Banyumas telah memeriksa empat orang yang ikut bertanggung jawab atas pengelolaan jembatan gantung, serta tiga orang yang mengetahui saat jembatan itu ambrol.
Kasat Reskrim AKP Widada menambahkan, empat pengelola yang diperiksa sebagai saksi mengaku selama ini jembatan gantung tidak dikontrol dan diawasi secara baik dan benar.
Polisi yang melakukan pemeriksaan di lokasi juga mendapati baja sling jembatan sudah bertahun-tahun rantas, banyak satuan kawat baja yang putus. Namun kondisi ini dibiarkan saja dan tak pernah dikontrol.
"Polisi sudah mengambil potongan baja sling yang rantas. Baja sling itu rantas bukan hanya saat jembatan ambrol. Sling sudah bertahun-tahun rantas dan dibiarkan, tanpa upaya perbaikan," ujar dia.
Jembatan gantung Lokawisata Baturraden itu yang memiliki panjang 25 meter dan lebar satu meter itu membentang di atas Sungai Gumawang dengan ketinggian 20 meter dari permukaan sungai. Jembatan itu juga sudah berusia 23 tahun. Menurut mantan Kepala Badan Pengelola Objek Wisata Baturraden (1967-1990) Soegeng Wijono, ide membangun jembatan itu muncul pada tahun 1974 atau saat era kepemimpinan Bupati Pujadi Jaring Bandayuda.
Saat itu diputuskan Baturraden bakal menjadi "gula" bagi pengembangan Banyumas wilayah utara. Karena itu, fasilitas Baturraden harus ditambah agar mempermudah wisatawan. Sebuah jembatan gantung dirancang sebagai penghubung antara kawasan lokawisata dan bumi perkemahan. Dengan jembatan itu, wisatawan tidak perlu memutar jauh. Saat dibangun, jembatan itu memang dirancang hanya untuk 10 orang, sehingga ada rambu-rambu dan dijaga oleh petugas pengawas. Orang juga tidak boleh berhenti di jembatan karena beban akan terkonsentrasi di satu titik. Pembangunannya baru terealisasi saat kepemimpinan Bupati Rudjito pada tahun 1983.
Saat kejadian, di atas jembatan terdapat 50 pengunjung lebih. Memang ketika Lebaran, tidak hanya jembatan yang kelebihan muatan. "Baik jalan maupun lapangan parkir di Baturraden pasti kelebihan muatan. Karena itu, jembatan harus selalu dikontrol sebelum Lebaran. Jembatan juga pernah ditutup karena rusak. Namun terkadang, pengunjung tidak peduli dengan peringatan petugas," ujar dia.
Soegeng mengalami sendiri, pengunjung tidak menggubris peringatan petugas. "Anak laki-laki sering menggoyang-goyang jembatan gantung yang sedang terbebani pengunjung. Saat saya peringatkan, mereka malah bilang, biarin kami kan sudah bayar," tutur dia.
Kapolda Jateng mengungkapkan penyesalannya atas musibah yang menelan korban jiwa itu. Dia meminta peristiwa tersebut menjadi pelajaran agar pada masa mendatang, pengelola objek wisata atau tempat rekreasi lebih mempersiapkan sarana serta fasilitas agar tidak terjadi kecelakaan. 
Salah satu saran dia sampaikan, ketika sudah diperbaiki, di mulut jembatan gantung itu dipasangi tulisan kapasitas muatannya dan dilakukan pengawasan serta pemeliharaan secara rutin.
Sementara itu, satu lagi korban yang dirawat di rumah sakit, kemarin pagi meninggal. Korban terakhir itu adalah Slamet Wahyudi (30) warga Desa Kedunglegok, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga.
Dengan demikian, hingga semalam, korban meninggal akibat jembatan ambrol menjadi tujuh orang. Mereka adalah Endang (16) warga Kadokan Agung Kecamatan Kadokan Bunder Kabupaten Indramayu, Suzana (30) warga Jl Sampangan Gang 2 No 1 Pekalongan, Yuli Puspasari (32) yang sedang hamil lima bulan asal Jl Sampangan Gang 2 No 1 Pekalongan, Sudiyati (24) warga Cikarang Jawa Barat, Safitri (18) asal Kadokan Agung Kecamatan Kadokan Bundar Indramayu, Vina (5) asal Jl Sampangan Gang 2 No 1 Pekalongan, Slamet Wahyudi (30) asal Kemangkon Purbalingga.
Selain tewas akibat jembatan ambrol, seorang lagi Miftahudin meninggal karena tenggelam di kedung Sungai Sungai Gumawang. Dengan demikian, dalam tragedi yang terjadi di Baturraden, jumlah korban tewas mencapai 8 orang. Untuk korban luka-luka, dari 14 orang yang semula dibawa ke RSU Wijayakusuma, kini tersisa enam orang yang masih harus dirawat. Seorang pasien, Kris Nataniel (5) asal Pekalongan yang tulang pahanya patah, dirujuk ke Solo. Sementara dari 9 korban luka-luka yang dirawat di RSUD Margono Soekarjo, lima di antaranya sedang menjalani persiapan bedah tulang dan syaraf. Empat orang lainnya berangsur-angsur membaik dan pada hari Jumat (27/10) ini diizinkan pulang.
Sekda Banyumas Singgih Wiranto mengatakan, seluruh biaya pengobatan dan perawatan korban ditanggung Pemkab Banyumas. Korban meninggal juga akan menerima santunan, Rp 5 juta/orang. Jenazah mereka pun sudah diantar hingga rumah masing-masing.
Menyusul peristiwa tragis tersebut, personel pengamanan terpadu di kawasan wisata Baturraden, kemarin ditambah. Selain aparat Brimob dari Polwil, juga dilibatkan polwan dan LSM untuk memandu para wisatawan saat berada di dalam lokawisata Baturraden.
Sejumlah polwan memakai megaphone saat meminta pengunjung untuk tidak mendekati lokasi-lokasi yang rawan, seperti tebing sungai, sungai, kolam renang, dan lokasi perbukitan. Hal itu dilakukan karena pengunjung terus membeludak sedangkan jumlah petugas Dinas Pariwisata terbatas.
Bupati Banyumas HM Aris Setiono mengatakan, atas kejadian itu, Gubernur Jateng Mardiyanto mengintruksikan kepada semua kepala daerah yang wilayahnya memiliki objek wisata untuk memantau dan meminta para wisatawan agar tidak mendekati tempat-tempat yang rawan kecelakaan.
Ahli planologi Fakultas Teknik Unwiku Ir. Sunardi, MT. menjelaskan, putusnya sling jembatan gantung itu merupakan cerminan umum masyarakat Indonesia. "Masyarakat kita memang bisa membangun, tetapi sering mengabaikan pemeliharaan," ujar dia, kemarin.
Ketua Harian Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Didi Rudwianto mengatakan, rehabilitasi terakhir jembatan gantung dilakukan pada tahun 2005 lalu. Hal itu dilakukan untuk mempercantik wajah bangunan. Yakni, dicat dan dicek kondisi kawat-kawat slingnya.
"Sejak dibangun hingga sekarang, sudah dua kali diperbaiki, antara lain pada tahun 1988. Namun itu hanya untuk perawatan dan pemeliharaan," ujar dia. Pemkab pun berencana membuat jembatan permanen sebagai pengganti jembatan gantung. (G23,G22,shs,P16-42,46m)

JADI TONTONAN:Lokasi jembatan gantung yang ambrol menjadi tontonan para pengunjung Lokawisata Baturraden, Kamis (26/10). Para pengunjung kebanyakan melihat lokasi jembatan yang ambrol itu dari Sungai Gumawang yang mengalir di bawahnya.(30a)

Senin, 05 Agustus 2013

BADA ORA MUDIK

Bada tahun kiye bang Andi Mamiri ora balik mudik maring Sulawesi Selatan tepate kota Makasar. Ora merga kekurangan sangu kuwe ora, wong bang Andi bar nampa THR sekang kantore, tapi merga bojone, yu Kaitem sing mopo po ora gelem dejek balik mudik ketemu wong tuwane apa dene sedulur-sedulur . Pokoke si Kaitem wis kapok, apa maning angger kelingan dhong sepisanan maring nggone mertuane neng Makasar kana.
Bang Andi Mamiri, sing pawakane madan gedhe dhuwur kuwe pancen asal lan asli sekang Daerah Makasar Sulawesi Selatan lan maune kuliah neng Fak. Ekonomi Unsoed Purwokerto. Dhong pas KKN neng desa Tinggarjaya Jatilawang bang Andi Mamiri kenalan karo si Kaitem prawan desa kono. Bocahe ayu nemen si ora, tapi keton resik kerumat, wektu semana nembe klas III neng SMEA Wijaya Kusuma Jatilawang. Rampung KKN bocah loro, bang Andi karo Kaitem padha pacaran, lan gole pacaran ya derestoni neng wong tuwane si Kaitem.
Kira-kira telung tahun kepungkur, sewise bang Andi lulus lan cekel gawe, bocah loro banjur padha nikahan. Ora let suwe si Kaitem meteng lan awal tahun kepungkur si Kaitem nglahirna jabang bayi lanang glempo pisan. Bada tahun kepungkur bayi umur 8 wulan degawa mudik meng desane bang Andii neng Makasar.
Bang Andi ngrumangsani lamona perkawinane deweke karo Kaitem kuwe perkawinan antar 2 rumpun budaya dadi akeh adat tradisi sing madan beda. Mulane sedurunge mangkat mudik bang Andi wis wanti-wanti maring bojone, aja nganti nglanggar adat tadisi wong tuwane neng Makasar mengko. Mulane bang Andi prentah bojone kon manut baen anggere arep deapak-apakna, lan si Kaitem ya mung manut baen. Sing penting slamet ora ana alangan apa-apa.
Temenan, neng Makasar neng nggone mertuane. si Kaitem persis kaya si Onong, kon ngapa-apa ya manut, kon mangan panganan apa-apa ya ora nolak. Sedina, rong dina, telung dina meh gutul seminggu, aman ora ana masalah apa-apa. Tapi mbareng gutul dina sing ping sepuluh, bar adzan asar, bang Andi pas bali sekang pasar tuku persiapan nggo balik meng Jawa, bang Andi kaget sangkete.
Karo tudhing-tudhing maring Kaitem bojone karo moni-moni: “Kaitem .. ko ya manut baen dekaya kuekna neng Bapake inyong”. “Lha jerene inyong kon manut baen, mbok nglanggar adat tradisi” semaure Kaitem karo mbopong anake sing umur 6 wulanan. Bang Andi, raine abang mangar-mangar karo cung-cung maring bapake karo moni-moni: “Dasar orang tua tak tahu diri ..”.
Pak Bonang, bapake bang Andi kanti tenang semaur: “Yang nggak tahu diri kan kamu .. “. Pak Bonang banjuran ngungkit jamane bang Andi esih bayi, jere nganti 2 taun Andi ngenyoti susune bojone pak Bonang dejorna baen, ningen bareng siki pak Bonang urung nganti 2 menit ngenyot susune bojone Andi, si Andi wis moni-moni ora karuan. Karo ngloyor pak Bonang moni: “Dasar anak tidak tahu diuntung ….”.

MAAF, KIYE ANU MUNG GUYON LHO