Sabtu, 28 September 2013

DI BALIK PAKELIRAN RAMA TAMBAK




Rama Tambak, lambang kemandirian bangsa/negara
Diakui oleh berbagai kalangan, khususnya para budayawan (nasional maupun internasional), bahwa wayang  merupakan budaya bernilai tinggi (adhiluhung) bagi masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Di dalam pewayangan ceritera (lakon) merupakan bayangan dari kehidupan berbangsa, dan bernegara. Karenanya oleh penguasa (pada jamannya), wayang dipergunakan  sebagai suatu media komunikasi yang efektif, untuk memberikan informasi, pesan dan ajaran positip dalam kehidupan masyarakat. Walaupun sekarang wayang hidup dan berkembang, namun nilai ajaran luhur dalam suatu lakon pakeliran telah luntur, dan  bergeser ke arah/tujuan: hiburan, komersial, dan basa-basi (pelestarian budaya). Nilai-nilai lambang ajaran/pendidikan, tinggal dalam angan-angan ki dalang, dan dalam litaratur hasil penelitian yang tersimpan di luar negeri.
Dalam Ramayana dikenal tokoh-tokoh yang amat terkenal antara lain: Prabu Dasamuka atau Rahwana (dari Alengka, yang angkara murka), Kumbakarna dan Sarpa-kenaka (adik-adik Rahwana yang amat setia membela negara dan bangsa), Gunawan Wibisana (adik Rahwana yang membelot ke musuh negara), Prabu Ramawijaya dari Ayodya; Dewi Sinta (istri Prabu Rama, yang cantik dan amat setia), Anoman (sebagai duta, sekaligus senapati setia Prabu Rama) yang banyak berjasa dengan pengorbanannya.
Konon pada suatu hari Prabu Rama berburu bersama istri dan adiknya. Dengan tipu muslihat Rahwana, dalam upaya memenuhi keinginan istrinya (berupa kijang kencana), Rama dan adiknya meninggalkan Sinta sendiri di tengah hutan. Pada saat itulah Rahwana dapat menculik Sinta puteri idaman hatinya. Dalam kepanikannya itu muncul Anoman, yang bersedia Prabu Rama untuk mencari tahu Dewi Sinta berada, dan berjanji untuk membawa Dewi Sinta pulang ke Ayodya. Melalui kesaktian dan kesombongannya, Anoman menyangupi untuk dapat menyelesai-kan tugas sebelum matahari terbenam.
Dengan kecerdasan otaknya, dan keahlian strateginya Anoman berupaya mengatasi berbagai permasalahan (ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan) yang dihadapinya dalam menjalankan tugas sebagai duta Rama itu. Langkah pertama, melalui "pendekatan" kepada penguasa, yang mengatur jalannya matahari (Bhatara Surya yang konon masih famili Anoman) untuk memperlambat atau bila perlu menghentikan (sementara) jalannya waktu peredaran matahari. Melalui rekayasa Batara Surya permintaan Anoman dikabulkan. Dapat dibayangkan penderitaan rakyat sebagai dampak negatip yang ditimbulkan dengan lambatan perputaran matahari itu.
Singkat ceritera, Anoman berhasil menemukan lokasi kerajaan Alengka, yaitu negara di seberang lautan. Anoman juga berhasil bertemu Dewi Sinta di taman kaputren. Cincin Prabu Rama diserahkan sebagai tanda duta terpercaya, dan meminta tusuk  konde Sinta sebagai tanda telah sampai, dan bertemu Sinta. Tanpa memperhatikan penderitaan rakyat Alengka yang tidak berdosa sambil pulang ke Ayodya Anoman memporak-porandakan taman Soka di kaputren Alengka, membumihanguskan kerajaan Alengka.
Keberhasilan pertemuannya dengan Dewi Sinta tersebut dilaporkan kepada Prabu Rama, dengan menyerahkan tusuk konde Dewi Sinta. Dari analisis terhadap laporan Anoman, Prabu Rama memutuskan untuk segera menyerbu Alengka. Agar  dapat mencapai seberang lautan maka diperlu-kan adanya upaya membendung (nambak) laut sebagai jalan untuk lewat para prajurit pasukan Rama. Karenanya episode ini disebut Lakon Rama Tambak.
Melalui kekuasaan Anoman, Prabu Rama mengerahkan beribu-ribu prajurit kera untuk menambak laut, sebagai proyek padat karya. Konon proyek tersebut sukses berkat manunggaling kawula lan gusti (bersatunya antra rakyat dan pimpinan). Namun di balik kesuksesan tersebut, konon banyak pula kera sebagai korban pelaksanaan mega proyek tersebut. Banyak pula binatang air (kepiting, ikan, buaya dan lain-lain) yang terganggu habitatnya, sehingga mensabot proyek itu. Oleh Anoman mereka tidak dipindah tetapi dibinasakan. Kasihan. Setelah bendung siap, maka Prabu Rama mulai menyerang Alengka.
Ajaran Ramayana masih relevan pada masa sekarang
Rama Tambak dalam dunia pewayangan merupakan awal dari perang antar bangsa/ negara dengan pengorbanan sangat besar dari rakyat yang tak berdosa, terutama rakyat Alengka. Dalam perang besar antara Ayodya dengan Alengka inilah terlihat pula perang batin dalam diri pribadi para tokoh, dengan kepentingan masing-masing. Rahwana dengan egonya yang amat besar. Rama haknya yang dirampas. Kumbakarna dan Sarpakenaka adiknya, berperang melawan prajurit Rama bukan karena membantu Rahwana (kakaknya), tetapi demi membela bangsa dan negaranya yang diinjak-injak kemerdekaannya. Jiwa patriot Kumbakarna besar. Banyak prajurit Rama yang mati karena kesaktian Kumbakarna dan Sarpakenaka. Gunawan Wibisana, adik Rahwana yang tidak senang akan peri laku kakaknya itu membelot ke Ramawijaya dan memberitahukan kelemahan-kelemahan rahasia kedua kakaknya. Anoman sebagai seorang senapati yang penuh tanggung jawab kepada atasannya. Beribu-ribu ekor kera sebagai prajurit Prabu Rama dikerahkan, dan terbunuh sebagai tumbal perang besar.
Dari lakon Rama tambak khususnya dan ceritera Ramayana pada umumnya, dapat dipetik pelajaran bahwa:
a) Dalam membangun suatu proyek raksasa (termasuk pembangunan bangsa) diperlukan adanya kesamaan persepsi dan aspirasi antara warga masyarakat dan pemimpinnya atau manunggaling kawula lan gusti, sehingga terjalin kemandirian sebagai bangsa.
b) Nepotisme dan kolusi (seperti terjadi antara Anoman dan Betara Surya) tetap diperboleh-kan, namun hanya sekedar dora sembada atau suatu kebijaksanaan demi kelancaran tujuan pembangunan.
c) Karena ambisi/kepentingan pribadi penguasa, dapat bulkan malapetaka bagi rakyat yang tidak berdosa.
Seperti pada umumnya, pengakhiran ceritera klasik ialah: becik ketitik ala ketara. Salah seleh. Artinya bahwa semua perbuatan benar pasti baik, dan yang salah harus dihilangkan. Hal tersebut tidak berlaku bagi ceritera Ramayana. Episode terakhir serial Ramayana adalah lakon Sinta obong atau ceritera Api suci. Setelah perang selesai Prbu Ramawijaya memboyong istrinya kembali ke Ayodya. Namun karena lamanya berpisah, Rama meragukan kesucian dan kesetiaan Dewi Sinta. Karenanya Dewi Sinta membakar diri, sebagai bukti bahwa dirinya masih suci dan tetap setia kepada suaminya.
Mempelajari akhir ceritera Ramayana justru timbul pertanyaan mengapa oleh pujangga Jawa masih menghidupkan Anoman dan Rahwana. Rama dan Dewi Sinta hanya menitis ke tokoh ceritera Mahabarata. Rama menitis ke Arjuina, dan Sinta menitis ke Sembadra, sedang Anoman terus hidup sebagai pandita, musuh bebuyutan Rahwana. Dari hal-hal tersebut dapat diasumsikan bahwa menurut pemikiran pujangga Jawa:
a) Seorang pemimpin, yang mementingkan kepentingan dirinya dan keluarga/istri (dilam-bangkan dengan berburu bersama adik dan istrinya) bukanlah tipe pemimpin yang ideal. Demikian pula Dewi Sinta yang minta ditangkapkan kijang kencana, melambangkan seorang istri pejabat yang suka mementingkan kebutuhan (kijang/kendaraan dan emas lambang kekayaan/perhiasan) bagi dirinya bukanlah tipe ideal seorang istri pejabat. Namun perlu diingatkan bahwa sifat-sifat semacam itu akan dapat menurun/menitis kepada siapa saja dan kapan saja.
Sementara ini anggapan masyarakat Rama-Sinta merupakan pasangan yang serasi (secara fisik/lahiriah). Secara batiniah hubungan antara Rama-Sinta belum pernah bahagia/sejahtera (pengantin baru terus berpisah untuk selama-lamanya). Hal tersebut adalah suatu yang telah terbiasa di masyarakat. Yang terlihat atau diperhatikan terlebih dahulu adalah ujud lahiriah.
b) Masih tetap hidupnya Rahwana, memberikan pelajaran bahwa sampai kapanpun, masih tetap akan ada sebagian penguasa yang bersifat angkara murka, adigang adigung adiguna seperti sifat Rahwana. Dengan mengandalkan kekuatan, kekuasaan, kesaktian, kekayaan dan sebagainya, berupaya untuk mengabaikan hak orang lain. Egois. Serakah. Aji mumpung, kata orang Jawa. Penyakit itu akan datang secara bersamaan dengan datangnya: kekuasaan, kekuatan, kesaktian, maupun kekayaan itu sendiri. Untuk itu perlu eling (sadar), dan waspada.
c) Anoman memperlambangkan tiga unsur yang menyatu dalam satu kesatuan yang utuh dan bulat. Ketiga unsur tesebut yaitu: pemuda (anom berarti muda), prajurit/senapati pandita sebagai lambang dunia cendekiawan/ilmiah. Hanya dengan penyatuan ketiga unsur tersebut secara terpadu, maka sifat angkara murka pejabat/penguasa dapat dikalahkan. Karena itulah ketiga unsur tersebut dituntut untuk peka terhadap keadaan yang terjadi di masyarakat, sehingga mengetahui aspirasi masyarakat.
d) Gunawan Wibisana melambangkan pemuda pembelot atas kebijaksanaan penguasa yang dinilainya menyalah-gunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Reformasi di Indonesia digulirkan dan diperjuangkan oleh generasi muda, khususnya para mahasiswa menuntut hukum ditegakkan, menghapus KKN yang hanya mementingkan penguasa.
Ajaran-ajaran dalam ceritera Ramayana atau keadaaan seperti tersebut di atas kiranya masih ada dan tetap berlaku atau dijalankan pada masa sekarang dan masa-masa yang akan datang.

Purwokerto,  Mei 2001
Penulis adalah pencinta wayang,
Radar Banyumas, Sabtu 19 Mei dan Senin 21 Mei 2001
 

Sabtu, 14 September 2013

PEMINDAHAN IBUKOTA REPUBLIK INDONESIA

Konon sepulang dari Kazakstan Bapak Presiden mewacanakan Pemindahan Ibukota. Salah satu tempat yang pernah di gagas menjadi Ibukota pada jaman dulu konon adalah Kota Purwokerto. Namun sebenarnya berita itu bukan barang baru, Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pertengahan bulan Mei 2011 saya pernah mencoba menanggapinya.
PURWOKERTO (KAB. BANYUMAS) SEBAGAI CALON IBUKOTA RI
Oleh: Sunardi

Beberapa waktu yang lalu Bupati Banyumas, Mardjoko memberitakan bahwa baru saja mendapat informasi dari Pusat bahwa Purwokerto merupakan peringkat ke 5 sebagai alternatif calon lokasi pindahnya Ibukota RI. Berita tersebut sebetulnya sudah lama beredar di masyarakat dengan berbagai tanggapan, baik yang serius maupun dengan guyonan khas wong Banyumas, baik pro maupun kontranya.
Bupati Mardjoko belum memberikan keputusan setuju dan tidaknya sebelum berembug dengan DPRD Kabupaten Banyumas. Mestinya bukan hanya DPRD Kabupaten Banyumas saja yang diajak berembug, tapi Pemerintah kabupaten sekitar yang tergabung dalam Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen) maupun Kabupaten Brebes dan Tegal khususnya maupun pemerintah Provinsi Jawa Tengah umumnya, perlu diajak berbicara, karena daerah-daerah itulah yang sekecil apapun kelak akan mendapat dampak baik positif maupun negatifnya.
Kiranya pemilihan alternatif lokasi pemindahan Ibukota RI ke Purwokerto bukannya tidak beralasan, jelas melalui suatu pengamatan dan analisis yang obyektif rasional, sehingga ditemukan untung dan ruginya baik bagi Pusat maunpun Daerah.
Dari aspek sosial budaya bahwa budaya masyarakat Banyumas mempunyai berbagai kekhasan yang sudah banyak dikenal di luar Banyumas adalah bahasa yang khas yakni logat Banyumas-an, makanan khas (medhoan, kripik, nopia, gethuk goreng), pakaian batik dengan corak Banyumasan, situs peninggalan pra sejarah dan benda cagar budaya yang tersebar hampir di seluruh wilayah.
Dalam aspek sosial politik, sudah lama masyarakat Banyumas dikenal sebagai benteng pertahanan Pancasila, hampir setiap penyusunan kabinet, ada tokoh dari Banyumas yang masuk dalam jajaran menteri, suasana politik di daerah yang sejuk kondusif, yang ditandai dengan tidak adanya huru-hara sejak tahun 1981.
Dalam bidang pendidikan, diketahui bahwa di wilayah Kabupaten Banyumas khususnya di kota Purwokerto dan sekitarnya terdapat tidak kurang dari 20 Perguruan TInggi baik Negeri (PTN) maupun Swasta (PTS), dengan para akademisi yang telah berkiprah tidak hanya di lingkup lokat tapi telah menyumbangkan karya dan pemikirannya baik tingkat nasional maupun internasional.
Secara sosial-ekonomi terdapat kesenjangan yang relatif besar atara kawasan perkotaan dan kawasan perdesan. Di kawasan perkotaan pendapatan per kapita dapat mencapai lebih dari Rp. 6 juta per tahun, dengan laju pertumbuhan dapat mencapai 5,5% per tahun. Di kawasan perdesaan pedapatan per kapita sekitar Rp. 3 juta dengan laju pertumbuhan sekitar 2,5% per tahun.
Tidak kalah pentingnya bahwa di Purwokerto terdapat tidak kurang dari 20 cabang dan perwakilan bank baik bank pemerintah maupun swasta. Data di Bank Indonesia Purwokerto hingga Juni 2007 menyebutkan, jumlah bank di wilayah BI Purwokerto, untuk bank umum ada 35 kantor cabang, 44 cabang pembantu, 30 kantor kas, dan 126 BRI Unit, yang jelas sampai sekarang sudah jauh meningkat jumlahnya.
Secara fisik wilayah Kabupaten Banyumas relatif baik. Konon tidak berada di jalur lempeng penimbul gempa bumi. Daerah banjir rutin berada di bagian selatan wilayah Kecamatan: Tambak, Sumpiuh dan Kemranjen. Banjir lokal justru berada di kawasan perkotaan kota Purwokerto. Suhu udara relatif lebih sejuk dibandingkan dengan kota-kota pantai.
Secara geografis letak wilayah Kabupaten Banyumas yang beribukota di Purwokerto, sangatlah strategis. Wilayah Kabupaten Banyumas berada di titik pertemuan jalur regional selatan – selatan (Yogyakarta – Bandung) dan penghubung utara – selatan (Tegal – Cilacap). Titik pertemuan kedua jalur regional tersebut berada di kota Ibukota Kecamatan Wangon, yang terletak sekitar 30 Km dari bandara Tunggulwulung (Cilacap) dan sekitar 30 Km dari kota Purwokerto. Jalur jalan kereta api (double track) dari Jakarta – Cirebon – Yogyakarta – Surabaya maupun sebaliknya melewati Stasiun Besar KA Purwokerto.
Berangkat dari hal-hal sebagaimana tergambar di atas, secara pribadi saya kurang setuju Purwokerto sebagai Ibukota RI. Biarkan kota Purwokerto sebagai kota wisata pendidikan dan kota wisata belanja. Bila dipaksakan, akan terlalu besar biaya yang ditanggung masyarakat untuk mempersiapkan penataan kembali kota Purwokerto yang layak sebagai Ibukota Negara.
Hal yang paling baik adalah kota Pemerintahan dibangun dengan membangun kota Wangon (dan sekitarnya). Dengan pembangunan kota Wangon sebagai kota Ibukota Negara, pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan ekonomi di bagian barat daya wilayah Kab. Banyumas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperkecil kesenjangan income per kapita antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan yang selama ini terjadi dan seolah diabaikan oleh pemerintah.
Banyumas ibaratnya Bali, seperti Tampaksiring, istana Presiden dibangun di Kawasan Cipendok  dan jalan dari Pekuncen ke Baturaden lewat Cipendok ditingkatkan, sebagai penarik pertumbuhan pembangunan, Baturaden dijadikan Nusadua-nya Banyumas. merealisasi gagasan BATDC tahun 1990an.

Purwokerto, 15 Mei 2011



Rabu, 11 September 2013

TAMAN REKREASI ANDANG PANGRENAN PURWOKERTO

TAMAN REKREASI ANDANG PANGRENAN (TRAP) PURWOKERTO yang dibagun di lahan bekas terminal bus Karangklesem Purwokerto. semula dikonsepsikan sebagai Ruang Terbuka Hijau Kota Purwokerto 










Selasa, 10 September 2013

AKHIR KEJAYAAN TERMINAL KARANGKLESEM PURWOKERTO











MENARA PURWOKERTO DI LAHAN BEKAS TERMINAL KARANGKLESEM




Hari Senin, tanggal 26 Desember 2005 yang lalu Balitbangtelarda (Badan Penelitian Pengembangan Telematika dan Arsip Daerah) Kabupaten Banyumas telah menyelenggarakan Seminar tentang Pemanfaatan Lahan Bekas Terminal Bus Purwokerto, hasil pengkajian dari Tim (?) Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Forum Seminar ini merupakan forum pertemuan ketiga yang dilaksanakan oleh Balitbangtelarda. Pertama pembahasan Laporan Pendahuluan oleh Tim Teknis, kedua pembahasan Laporan Antara, ketiga pembahasan Draft Laporan Akhir. Keempat forum pertemuan tersebut cukup mendapat perhatian dari peserta terindikasi dari cukup banyaknya kritik dan saran yang masuk dari peserta pertemuan.
Dari Executive Summary (sebagai materi seminar) dapat diketahui, pengkajian ini dengan latar belakang bahwa lahan bekas terminal bus perlu dimanfaatkan secara optimal untuk: (a) meningkatkan PAD Kabupaten Banyumas, (b) memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan aset untuk wadah aktivitas yang menguntungkan secara ekonomi, dan (c) menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di kota Purwokerto dan sekitarnya.
Data dan informasi dasar penyusunan laporan bersumber dari: (1) RTRW Propinsi Jawa Tengah, (2) RTRW Kabupaten Banyumas, (3) RUTRK-RDTRK Kota Purwokerto, (4) Pengamatan lapangan, dan (5) masukan (saran) dari peserta pertemuan. Walau tidak semua saran dapat dimasukkan namun terlihat ada perbaikan laporan yang cukup berarti, baik dalam substansi maupun dalam sistematika pembahasan.
Dari data, diketahui bahwa secara makro (1) kota Purwokerto akan dikembangkan secara cepat, terutama dalam sektor industri dan perdagangan, (2) Kota Purwokerto sebagai pusat pengembangan SWP I dengan potensi yang perlu dikembangkan antara lain: pariwisata, perdagangan dan jasa dan (3) lahan bekas terminal berada pada lokasi yang sangat strategis karena baik jalur jalan Gerilya maupun jalan K.H. Wachid Hasyim merupakan jalur jalan kolektor primer (fungsi pelayanan regional).
 Dari analisis terhadap kondisi tapak dapat diketahui bahwa pengembangan fungsi lahan bekas terminal seluas 1,80 Ha. diarahkan untuk fungsi perdagangan dan jasa dengan mengoptimalkan luas tapak yang ada, dengan Kepadatan Bangunan antara 65% (jalan K.H. Wachid Hasyim) sampai 85% (jalan Gerilya), dan Ketinggian Bangunan antara 8 lantai (jalan K.H. Wachid Hasyim) sampai 10 lantai (jalan Gerilya). Jaringan utilitas (listrik, telepon, drainase, air bersih dan air kotor) di lokasi cukup memadai (jaringan primer).
Walaupun sejak awal (pembahasan Laporan Antara) telah diingatkan bahwa dalam Metode dan diagram Metode Penyusunan Pengkajian Tim Peneliti akan menyajikan pendekatan dan Survei Substansial dalam aspek-aspek: sosial, ekonomi dan budaya (hal ini juga banyak dipertanyakan dalam Seminar). Namun dalam Executive Summary aspek-aspek tersebut tidak nampak. Karenanya dalam analisis SWOT hanya aspek Teknis Planologis dan aspek Pasar yang dijadikan variabel atau kriteria penentuan hasil/kesimpulan.
Analisis SWOT diterapkan bukan untuk menentukan jenis bangunan, tetapi untuk menentukan hirarkhi atau peringkat penilaian terhadap empat jenis fungsi bangunan yakni: Mixed Used Building (Bangunan Fungsi Campuran), Taman Kota, Pasar Tradisional, dan Pasar Modern. Pemunculan keempat jenis fungsi bangunan tersebut didasarkan pada aspirasi (keinginan) yang beredar di masyarakat, jadi bukan hasil analisis kebutuhan. Dari sini terlihat bahwa Tim Peneliti (DRD Jawa Tengah) sudah terpengaruh opini publik. Menurut RUTRK kota Purwokerto (yang telah ditetapkan menjadi Perda) kebutuhan/kekurangan fasilitas-fasilitas di kota Purwokerto tahun 2011 adalah: gedung SLTP (20 unit), gedung SLTA (11 unit), BKIA dan RS Bersalin (15 unit), dan Pusat Perdagangan (5 unit).
Dari hasil analisis SWOT terhadap keempat jenis bangunan tersebut diperoleh nilai dengan urutan (1) Mixed Used Building, (2) Pasar Tradisional, (3) Taman Kota, dan (4) Pasar Modern. Dalam rekomendasinya Koordinator Penyaji, Ir. Gunarto (penyaji lainnya: Ir. Ari Purwanto dan Ir. Rahman Ismail) menjelaskan bahwa keempat alternatif fungsi bangunan tersebut dapat dipilih, terserah Pemerintah Kabupaten, mau memilih yang mana, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Studi Kelayakan dan studi-studi yang lain (AMDAL, UKL, UPL dan lalulintas). Rekomendasi yang demikian ini kiranya sama saja tidak ada kajian/penelitian.
Mixed Used Building disimpulkan sebagai alternatif dengan nilai tertinggi. Mixed Used Building (bukan Area) atau bangunan dengan penggunaan campuran, yang dahulu sering disebut dengan istilah “Gedung Serba Guna”. Secara arsitektural hal tersebut sulit dilaksanakan, dan kalau dilaksanakan efektivitas kegiatan yang dilaksanakan di dalamnya  tidak atau kurang bisa optimal. Dalam teori “form follow function” Horatio Greenough menjelaskan bahwa: (a) bentuk bangunan akan berubah bila fungsinya berubah, dan (b) fungsi baru tidak mungkin diikuti oleh bentuk lama (Sutrisno, 1983).
Sebelum teori Horatio Greenough masuk ke Indonesia/Jawa, para arsitek tradisional Jawa telah membedakan bentuk-bentuk bangunan (atap) sesuai dengan fungsi atau kegiatan yang diwadahi. Kita mengenal berbagai bentuk (atap) bangunan tradisional dengan fungsi yang berbeda, seperti: joglo untuk bale (tempat musyawarah), tajug untuk peribadatan,  kampung untuk tempat tinggal, panggang-pe untuk pasar, traju-mas untuk cungkup dan lain-lain, yang kesemuanya merupakan simbol/lambang atau mempunyai arti khusus/spesifik. Sungguh bijaksana.
Bila dikaji lebih cermat maka sebenarnya yang dimaksud Tim Peneliti adalah bukan Mixed Used Building, tetapi Mixed Used Area, yang di dalam area tersebut akan dibangun berbagai fasilitas sesuai aspirasi masyarakat, yakni: (1) fasilitas perdagangan dari Ruko sampai los-los terbuka untuk pedagang kecil, (2) public space yang di dalamnya terdapat fasilitas-fasilitas: theatre terbuka (tempat pementasan kesenian tradisional dan modern, baca puisi atau mungkin juga pidato ungkapan ketidak-puasan atas kebijakan pemerintah), play ground, hutan kota serta pusat informasi potensi Kabupaten Banyumas. Semua fasilitas itu akan diwadahi dalam area seluas 1,53 Ha (bukan 1,80 Ha). Sungguh ideal.
Eko Budihardjo (1986) mengingatkan bahwa: “Arsitek dalam melaksanakan tugasnya maka, keahlian dan kepekaannya terhadap lingkungan sekitarnya, baik lingkungan fisik (ekosistem) maupun lingkungan non fisik (sosial sistem), dedikasi terhadap tugasnya, sangat menentukan apakah ruang-ruang dan lingkungan hidup yang dibangunnya menjadi tempat yang menyenangkan atau tidak. Arsiteklah penggubah permukaan bumi kota. Sekali Arsitek membuat kesalahan, seumur hidup akan terlihat. Melenyapkan suatu bangunan dari muka bumi ini tidak semudah memindahkan lukisan yang dianggap jelek”. Karenanya Goethe mengingatkan: “….. maka pembangun/Arsitek seharusnya tidak meraba-raba dan mencoba-coba apa yang seharusnya tetap berdiri harus tetap berdiri, dan jika tidak untuk abadi, untuk waktu yang cukup panjang. Orang boleh berbuat kesalahan, tetapi tidak dalam membangun”.
Akhirnya, dengan teori mengandai-andai, bagaimana kalau area/lahan bekas terminal bus Purwokerto didirikan suatu bangunan menara atau sebut saja “Tower Purwokerto”, dengan penataan fungsi ruang sebagai berikut: (1) basement dan lantai pertama untuk parkir, (2) lantai kedua sampai kelima untuk mall, (3) lantai keenam dan ketujuh untuk restoran, diskotik, dan souvenir, (4) lantai kedelapan untuk ruang pertemuan, (5)  lantai kesembilan dan kesepuluh untuk hotel, (6) atap untuk roof garden sebagai taman kota yang dari sana orang dapat menikmati keindahan kelap-kelipnya lampu kota Purwokerto sampai Baturaden, (6) di sekitar halaman bangunan ditanami pohon rindang yang di bawahnya terdapat PKL dan abang becak mangkal secara tertib melayani masyarakat sekitar dan para karyawan yang bekerja di Tower Purwokerto tersebut.
Dengan pola sharing modal antara Pemerintah Kabupaten Basnyumas dengan pemodal (investor), kiranya berbagai permasalahan dapat teratasi, seperti penerimaan PAD (dari bagi hasil keuntungan, pajak dan retribusi), pengurangan pengangguran (sebagai karyawan) dan sector informal khusunsnya untuk pemindahan PKL Alun-alun yang dirasa kurang menunjang fungsi alun-alun sebagai pusat kegiatan formal (Pemerintahan), serta kurangnya fasilitas rekreasi alam bagi masyarakat (taman kota). Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Mudah-mudahan.

Purwokerto, akhir Desember 2005

GENDU-GENDU RASA
SUARA MERDEKA, .5 Januari 2006