Jumat, 22 November 2013

Sifat Pola Pikir Sebagai Azas Arsitektur Tradisional



Suwondo Atmodjahnawi (1981) menyebutkan bahwa masyarakat tradisional Indonesia pada umumnya mempunyai sifat pola pikir yang: kosmos, religius, dan komunal. Namun bila dikaji lebih mendalam ketiga sifat pola pikir masyarakat tersebut tidak hanya terdapat dalam asyarakat tradisional, tetapi sampai sekarang masyarakat Indonnesia yang modern pun mempunyai sifat pola pikir yang kosmos, religius, dan komunal.
a.    Sifat pola pikir yang kosmos mengandung keyakinan bahwa manusia merupakan bagian atau unsur dari alam semesta. Berangkat dari sifat pola pikir yang kosmos maka masyarakat senantiasa berusaha untuk menyatu (baik secara langsung maupun tidak langsung) atau menyesuaikan diri dengan alam sekitar Lebih jauh dari hal tersebut masyarakat tradisional walau secara terselubung berupaya untuk menjaga keseimbagan dengan alam dengan menjaga kelestarian alam sekitar.
b.  Sifat pola pikir yang religius mengandung keyakinan bahwa manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan. Masyarakat percaya dan yakin bahwa di atas kekuatan dan kekuasaan manusia masih ada kekuatan dan kekuasaan yang lain, yatu kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Dari keyakinan itu maka dalam kehidupannya manusia akan selalu berusaha melaksanakan atau menyesuaikan diri dengan perintah-perintah Tuhan. Hampir semua kegiatan, terutama kegiatan-kegiatan yang dianggap penting (berhubungan dengan kehidupan masa depan) senantiasa diawali melalui acara ritual dengan permohonan (doa) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Fasilitas-fasilitas tempat beribadah terdapat baik secara individu maupun kelompok/lingkungan.
c. Sifat pola pikir yang komunal mengandung pengertian bahwa manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, karenanya kebersamaan lebih diutamakan dari pada kepentingan individu (perseorangan). Kewajiban lebih diutamakan dari pada hak. Gotong-royong, tolong-menolong, sumbangan, rembug atau musyawarah merupakan wujud nyata dari pola pikir yang komunal tersebut.
Dari hal-hal terurai di atas maka ada 3 (tiga) unsur yang mempengaruhi hidup dan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Jawa khususnya dan lebih khusus lagi pada masyarakat trdisional Jawa, yakni unsur-unsur: alam, agama, dan masyarakat sekitar termasuk pemerintahan. Berangkat dari sifat pola pikir masyarakat Indonesia yang religius, kosmos dan komunal itu, baik disadari maupun tidak kebutuhan hidup manusia lebih menekankan pada untuk menyatakan eksistensi manusia sebagai:
a.    mahluk sosial, yang menelurkan kebutuhan sosial, yakni keseimbangan dirinya terhadap lingkungan sosial (masyarakat) sekitar yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat kebersamaan demi kepentingan bersama;
b.  mahluk ciptaan Tuhan, yang menelurkan kebutuhan akan keseimbangan hubungan antara individu dengan Tuhannya, yang dilaksanakan melalui berbagai kegiatan beribadah sesuai ajaran agama yang dianut;
c.  unsur alam, yang membutuhkan adanya keseimbangan antara dirinya dengan alam sekitar, dan hal ini dikakukan dengan memasukkan dirinya (baik secara langsung maupun tidak langsung) ke dalam alam.
Dari ketiga kebutuhan akan keseimbangan tersbut di atas terlihat bahwa ketiga keseimbangan tersebut secara kumulatif diupayakan terpenuhi dengan manusia secara individu sebagai titik pusat terjadinya keseimbangan. Ketidak-seimbangan yang terjadi akan berakibat negatif terhadap kehidupan masyarakat.
Sebagai indikator adanya kebutuhan akan ketiga macam keseimbangan tersebut ialah adanya fasilitas-fasilitas untuk mewadahi kegiatan-kegiatan pemenuhnya, baik dalam skala mikro (rumah tinggal) maupun makro (lingkungan sekitar) yang antara lain:
a.  Ruang untuk berkomunikasi dengan sesama (tetangga) yang berupa pendapa atau ruang tamu dan sebagainya untuk skala rumah tinggal, balai pertemuan seperti balai desa, balai banjar dan sebagainya untuk lingkungan;
b.  Ruang suci (tempat ibadah) seperti: senthong tengah, pesholatan maupun pura untuk lingkup keluarga, maupun mushola, masjid, gereja untuk lingkup lingkungan (RT, RW, Desa/Kelurahan);
c.  Adanya pemilihan hari (yang disesuaikan dengan hari kelahiran pemilik), orientasi rumah ke arah mata angin atau unsur alam tertentu (gunung, lautan) halaman dan/atau pekarangan yang luas bagi rumah tinggal, adanya pohon atau mata air yang dikeramatkan di suatu desa menunjukkan adanya hubungan antara alam dengan penghuni atau masyarakat.
Kawasan alun-alun dengan dalem dan pendopo kabupaten, masjid, pusat perbelanjaan atau (pasar) dan alun-alun merupakan satu kesatuan sebagai bagian dari kota-kota tradisional di Jawa khususnya merupakan contoh konkrit adanya upaya menjaga keseimbangan antara individu dengan Tuhan dan lingkungan yang dilakukan secara bersama demi kepentingan bersama di dalam masyarakat.

Dari hal-hal terurai di atas jelas bahwa masyarakat tradisional Jawa tidak dengan begitu saja dalam membangun rumah, tetapi melalui pemikiran, perhitungan dan analisis yang mendalam. Banyak unsur yang harus dipertimbangkan mulai dari tempat atau lokasi bangunan, arah orientasi bangunan, ukuran, hari saat mulai yang berbeda untuk setiap jenis bangunan (pendopo, dalem, dapur dan lain-lain) dan tidak ketinggalan selamatan sebagai ujud permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semua itu hanya satu tujuan yakni demi keselamatan dan kesejahteraan pemilik atau penghuninya. “Lebih lama menempatinya dari pada membangunnya”.
Dengan adanya perhitungan terhadap hampir semua unsur bangunan mulai dari bentuk, kerangka, sampai dengan detail, ornamen/hiasan bangunan mempunyai arti dan maksud sesuai dengan kondisi dan aspirasi penghuni/pemilik. Atau dengan kata lain dapat disebutkan bahwa hampir semua unsur bangunan tradisional merupakan lambang. Setiap lambang mempunyai arti dan maksud tertentu.
Dalam hal bentuk bangunan, masyarakat tradisional Jawa membeda-bedakan sesuai dengan fungsi bangunan seperti: panggang pe untuk los pasar, tajug untuk peribadatan, kampung untuk hunian, joglo/ tikelan untuk ruang pertemuan, traju mas untuk cungkup (rumah nisan) dan masing-masing bentuk merupakan lambang dari kegiatan yang diwadahinya. Hal ini kiranya sesuai dengan ungkapan Horatio Greenough dalam teorinya: form follow function atau bentuk mengikuti fungsi, yang mengandung dua pengertian bahwa: (a) Bentuk bangunan akan berubah bila fungsinya berubah dan (b) Fungsi baru tidak mungkin diikuti oleh bentuk lama. Dengan demikian apabila pengertian tersebut tidak dipenuhi maka kegiatan yang diwadahinya tidak atau kurang efektif.
Ornamen atau hiasan bangunan tradisional yang pada umumnya beru-pa unsur alam baik flora maupun fauna, pada umumnya merupakan simbol atau lambang atas suatu peristiwa bersejarah (dengan candra sengkala memet), atau suatu harapan/doa atas suatu kondisi yang diharapkan. Hiasan atau ornamen ini tidak hanya terdapat di dalam bangunan, tetapi juga di luar bangunan yang juga berupa tanaman dan/atau hewan peliharaan. Setiap jenis tanaman dan hewan mempunyai arti dan maksud yang berbeda, termasuk menunjukkan status dari pemilik. Dengan kondisi yang demikian ini maka tepatlah Eko Budihardjo yang mengatakan: “Tunjukkan rumah anda, maka saya akan tahu siapa anda”.
Dalam alam pikiran masyarakat tradisional, antara manusia, rumah dan lingkungan selain terdapat hubungan yang sangat erat juga terdapat kesamaan antara ketiganya. Kesamaan tersebut adalah bahwa:
(a)   Baik manusia, rumah dan lingkungan terdapat unsur mikro kosmos (jagad cilik) sebagai isi dan makro kosmos (jagad gede) sebagai wadahnya.
(b)  Baik manusia, rumah dan lingkungan terdapat fungsi-fungsi kepala (lebih banyak berhubungan dengan dunia luar), tubuh (dengan kerangkanya lebih berorientasi ke dalam atau urusan internal), tangan sebagai sarana aktivitas berkarya dan kaki yang selain sebagai alat/kekuatan untuk berdiri juga berfungsi pelayanan.
Sebetulnya struktur sebagaimana tersebut di atas tidak hanya terdapat dalam lingkungan fisik, tetapi di dalam lingkungan sosial atau non fisik juga terdapat struktur fungsional yang terdiri dari kepala, tubuh, tangan dan kaki. Dengan demikian jelas bahwa arsitektur tradisional Jawa secara fisik menunjukkan sifat perilaku masyarakat yang bersumberkan pada sifat pola pikir yang abtrak.

Selasa, 12 November 2013

JALUR SELATAN SUATU IMPIAN ATAU TANTANGAN?



Transportasi prasyarat pembangunan dan pengembangan

Kata transportasi (perangkutan) di Indonesia sering dirancukan dengan komunikasi (perhubungan). Hal ini terlihat dengan adanya Departemen Perhubungan yang membawahi Ditjend. Perhubungan Darat, Perhubungan Laut, maupun Perhubungan Udara. Padahal yang dimaksud dengan perhubungan di sini adalah perangkutan atau transportasi. Keadaan demikian tidak akan terasa menggangu bagi bangsa Indonesia secara internal, namun akan sangat mengganggu dalam hubungan internasional atau kerjasama antar bangsa/negara.
Sejak jaman dahulu, transportasi merupakan kegiatan yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, atau dapat dikatakan pula bahwa tiada kegiatan manusia yang tanpa transporasi. Semakin berkembang (kuantitas dan/atau kualitas) kegiatan yang dilakukan masyarakat menuntut perkembangan (kuantitas dan/atau kualitas) transportasi. Sebaliknya dengan terkembangan transportasi tersebut akan dapat memancing pertumbuhan kegiatan (social-ekonomi) masyarakat. Di lain sisi, semakin berkembangnya kegiatan masyarakat akan menuntut perubahan fungsi atau guna lahan setempat, yang biasanya akan diikuti dengan naiknya nilai/harga lahan tersebut.
Dari hal-hal tersebut di atas maka terlihat bahwa dari berbagai aspek, transportasi merupakan cerminan budaya masyarakat setempat. Semakin tertib lalu-lintas kota semakin tinggi budaya masyarakatnya. Dan mestinya dalam skala regional, semakin lancar transportasi menunjukkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan penduduk atau masyarakat wilayah yang bersangkutan.
Disadari bahwa antara satu daerah dengan daerah lain terdapat perbedaan atau kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat. Yang menjadi masalah apakah kesenjangan antar daerah tersebut dikarenakan oleh adanya kesenjangan transportasi, ataukah kesenjangan kesejahteraan masyarakat tersebut menjadikan adanya kesenjangan transportasi antar daerah tersebut.

Kesenjangan utara – selatan

Di dalam era otonomi daerah ini semakin disadari oleh berbagai pihak bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar antara satu daerah dengan daerah lain. Secara nasional terdapat kesenjangan antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Sebagai negara kepulauan terdapat kesenjangan antara Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Sedang di Jawa sendiri terdapat kesenjangan antara daerah pantai utara dengan pantai selatan. Orang lebih akrab dengan istilah “pantura” sebagai kependekan dari pantai utara. Pantai selatan dapat dikatakan tidak pernah muncul dalam percakapan orang, sampai-sampai tidak terpikirkan apa kependekannya.
Ayat (2) pasal 1. UUPA antara lain menyebutkan bahwa: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang ada di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa ……………..….”. Dari kalimat ini jelas bahwa perbedaan kondisi, potensi alam antara satu daerah dengan daerah lain, termasuk perbedaan kondisi antara pantai utara dan pantai selatan P. Jawa merupakan karunia Tuhan sebagai suatu kondisi yang tidak perlu disesali atau menjadikan kecemburuan.
Ditinjau dari sumber daya alam yang ada, kesenjangan atara pantai utara dan pantai selatan P. Jawa dirasa tidak terlalu menonjol. Namun kondisi atau letak strategis antara pantai utara dan pantai selatan sangatlah berbeda. Pantai utara berhadapan langsung dengan suatu kawasan yang kaya dengan sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Namun pantai selatan berhadapan dengan tantangan yang besar. Samudera Indonesia yang ganas, letak negara atau benua Australia yang relatif jauh merupakan kondisi negatif atau kelemahan pantai selatan P. Jawa.
Kondisi strategis dari daerah pantai utara P. Jawa inilah yang merupakan daya tarik yang begitu kuat untuk mendatangkan orang-orang dari berbagai suku (daerah) dan bangsa (negara) dengan segala macam aktivitasnya (industri, perdagangan, budaya dan lain sebagainya). Semakin banyak aktivitas yang terjadi semakin besar daya tarik pantu-ra untuk mendapatkan uang. Karenanya di pantura P. Jawa tumbuh puluhan kota besar dan kecil dengan berbagai jenis kegiatan sebagai identitasnya. Di lain sisi di pantai selatan kegiatan penduduk hanya mengandalkan pada sektor pertanian yang dikelola secara tradisional. Perkembangan hanya di sektor pariwisata, khususnya ekoturisme atau wisata alam, baik laut, gunung/ pegunungan, maupun gua alam.
Keadaan sebagaimana terurai di atas telah berjalan lama, semenjak sebelum kedatangan bangsa barat sebagai penjajah di Indonesia umumnya atau di Jawa kususnya. Hal ini ditandai begitu banyaknya bandar-bandar atau pelabuhan (Merak, Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Jepara, Tuban, Surabaya dan lain-lain) dan kerajaan (Banten, Cirebon, Demak dan lain-lain) dengan beberapa kadipatennya di pantai utara Jawa. Dari aspek budaya (khususnya budaya Islam), kota-kota di pantura tersebut menjadi pusat penyebaran dan pengembangannya. Kondisi seperti ini tidak terjadi di pantai selatan Jawa.
Bangsa Belanda yang datang kemudian, melihat kondisi sebagaimana tersebut di atas dengan semangat kolonialisme berusaha menguasai dengan politik devide et impera atau pemecah belah persatuan dan kesatuan. Satu demi satu bandar-bandar di pantura dikuasai, dan akhirnya penguasa-penguasa setempat (adipati dan sultan) ditaklukan secara paksa melalui kekerasan senjata.

Jalur Pantura yang selalu padat terutama pada musim lebaran

Jalur tranportasi pantai selatan Jawa

Kebutuhan akan jalur prasarana transportasi di pantai selatan Jawa telah disadari oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Daendels sebagai Gubernur Jenderal waktu itu telah membangun tidak hanya jalur 1000 Km jalur Anyer – Panarukan melalui pantai utara Jawa, tetapi juga jalan Daendels di pantai selatan Jawa, yang kedua-duanya lebih diarahkan untuk kepentingan pertahanan-keamanan atau kepentingan politik pemerintah kolonial. Di samping jalur jalan raya, Pemerintah Kolonial Belanda juga untuk kepentingan pertahanan dan keamanan membangun beberapa pangkalan udara di daerah pantai selatan seperti Congot (Kulon Progo) dan pelabuhan laut Cilacap.
Pada masa Pemerintah Republik Indonesia jalur pantai utara sampai sekarang terus berfungsi dan berkembang tidak hanya untuk kepentingan pertahanan-keamanan, tetapi juga untuk kepentingan sosial, budaya dan ekonomi sejalan dengan perkembangan kota-kota pelabuhan dan kawasan industri di pantai utara P. Jawa. Pada saat sekarang jalan Daendels jalur selatan di beberapa tempat masih nampak bekas-bekasnya. Jalur ini tidak dapat berkembang kalah dengan jalur jalan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Dengan letaknya yang sangat dekat dengan pantai laut selatan ini kiranya jalur jalan Daendels memang kurang tepat untuk dikembang-kan untuk kepentingan pengembangan wilayah pantai selatan Jawa.
Keluhan yang sering terdengar dari para pejabat atau investor dari Jakarta atau Bandung bahwa Purwokerto dan/atau Cilacap dekat tetapi jauh, sehingga enggan untuk datang ke kedua kota/daerah tersebut. Kiranya keluhan tersebut dapat dimaklumi karena kecilnya aksesibilitas ke kedua kota/daerah tersebut, termasuk daerah lain di sekitarnya. Pencapaian hanya melalui perjalanan darat atau jalan raya, melalui jalur jalan yang relatif banyak hambatannya. Bandara Tunggul Wulung (Cilacap) kondisinya hidup enggan matipun tak mau.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang lebih dengan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah kiranya merupakan tantangan baik bagi Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten untuk memberdayakan masyarakat dan pemerintah di daerah melalui pemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di masing-masing daerah, menyiapkan lapangan kerja dari berbagai sektor ekonomi di daerah dengan mengundang pemilik modal.
Ibaratnya dilema antara telur dan ayam, mana yang lebih dahulu ada, demikian juga antara pengembangan sektor transportasi atau pengembangan sektor ekonomi yang lainnya. Antara keduanya mempunyai hubungan saling terkait yang sangat kuat sebagai sebab dan akibat. Pengembangan sektor ekonomi menuntut perkembangan sektor transportasi, sedang pengembangan sektor transportasi akan memacu perkembangan sektor ekonomi lainnya.
Disadari oleh berbagai pihak bahwa pengembangan sistem transportasi dalam pelaksanaannya dapat menciptakan berbagai jenis usaha pendahulu maupun usaha-usaha ikutannya. Atau dapat dikatakan bahwa transporasi juga merupakan industri jasa yang dapat menghasilkan keuntungan finansial, seperti yang dilakukan terhadap pelabuhan, bandar udara, maupun jalan tol. Sehingga masalahnya adalah keberanian para penentu kebijaksanaan pembangunan untuk menarik investor untuk berinvestasi di wilayah pantai selatan Jawa ini.