Kamis, 27 Februari 2014

SUATU CATATAN TENTANG UUPA

Arti sebuah nama

Budaya Barat kurang atau bahkan tidak memperhatikan arti sebuah nama. Tetapi bagi budaya Timur, khususnya Indonesia, dan lebih khusus lagi bagi budaya Jawa, nama bukanlah sekedar membedakan antara yang satu dengan lainnya. Suatu nama mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan. Nama merupakan suatu doa, atau suatu harapan agar di kemudian hari sesuatu yang diberi nama tersebut dapat mempunyai kondisi yang sesuai dengan arti atau maksud nama yang diberikan tersebut.
Walau nama mempunyai arti yang sangat penting, namun di Indonesia bahkan di tingkat Pusat, suatu mana justeru sering menimbulkan kerancuan. Seperti istilah Dirjend. Perhubungan, yang mengelola perangkutan (darat, laut, dan udara). Kata perhubungan dalam kamus Bahasa Inggris diterjemahkan dalam communication yang berbeda dengan transportation sebagai terjemahan dari perangkutan (transportasi).
Hal-hal tersebut di atas kiranya sama dengan terminologi agraria dalam Undang-undang Nomor: 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang pada tanggal 24 September 2001 ini genap 41 tahun. Dari berbagai kamus, kata agraria diterjemahkan dengan “hal-hal yang berhubungan dengan pertanian”. Sedang obyek hukum dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 adalah tanah atau lahan. Disadari bahwa masalah pertanian (agraria) tidak akan dapat dilepaskan dari masalah tanah atau lahan (sebagai sumber penghidupan), tetapi masalah lahan (tanah) tidak mesti berhubungan dengan pertanian. Masalah tanah erat kaitannya juga dengan pertambangan dan sebagai wadah atau tempat melakukan aktivitas masyarakat (kegiatan jasa) dan lain-lain.
Kata agraria dipergunakan sebagai obyek hukum atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tersebut kiranya sesuai dengan politik hukum pemerintah pada waktu itu yaitu bagaimana menyediakan pangan (khususnya beras) bagi bangsa Indonesia yang saat itu masih sangat kekurangan, karena itu perlu diatur hubungan hukumnya.
Namun masalahnya ialah apakah politik pembangunan yang berorientasikan pada pertanian khususnya penyediaan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia ini tetap dijalankan, dan bagaimanakah kaitannya dengan upaya pemerintah mengundang investor asing untuk menanamkan modal di luar bidang pertanian, seperti manufaktur, properti, pertambangan, dan sebagainya. Semua itu jelas merupakan permasalahan yang akan ditemui di masa-masa yang akan datang.

Antara peraturan dan kenyataan

Suatu hal yang sangat prinsip dan secara tegas disebutkan dalam pasal 5 UUPA, yakni bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat …………”, dengan catatan bahwa hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan: (1) kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa; (2) sosialisme Indonesia; dan (3) peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Suatu pertanyaan yang sangat mendasar ialah apakah UUPA ini merupakan kodefikasi atas hukum adat, khususnya hukum adat tentang tanah, atau pembatasan terhadap berlakunya hukum adat. Sebagaimana diketahui bahwa menurut para ahli, hukum adat merupakan hukum, yang dalam bentuknya tidak tertulis, sifatnya fleksibel, tetapi ditaati oleh masyarakat dilawankan dengan UUPA sebagai hukum positif yang tertulis.
Beberapa pakar hukum adat mempertanyakan tolok ukur terhadap hukum adat sebagaimana tercantum dalam pasal 5 UUPA tersebut. Soewondo Atmodjahnawi (1981) berpendapat bahwa sifat pola pikir masyarakat yang mendasari berlakunya hukum adat adalah sifat-sifat: religius, kosmos, dan komunal/kebersamaan, sedang di lain sisi manusia merupakan individu yang mempunyai otonomi terhadap dirinya. Karenanya azas: selaras, serasi dan seimbang antara individu dengan: Tuhan, alam sekitar, dan sesama manusia benar-benar diterapkan di masyarakat hukum adat.
Menurut Soepomo (1978), kondisi tesebut di atas semakin berkurang bagi masyarakat perkotaan. Kesadaran akan kesimbangan, keselarasan dan keserasian sebagaimana dilakukan oleh masyarakat hukum adat bagi masyarakat perkotaan menjadi semakin menipis, sebagai akibat perkembangan ilmu dan teknologi yang dikuasai masyarakat. Kiranya penipisan ini diformalkan oleh pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk UUPA.
Penipisan sifat kebersamaan antara berbagai pihak di dalam masyarakat hukum adat tentang tanah tercermin dalam magersari, bagihasil, gadai tanah dan lain-lain. Di dalam hubungan hukum magersari (ngindung), dan bagi hasil terlihat hubungan yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Hubungan saling tolong-menolong antara kedua pihak. Hubungan antara si kaya (pemilik tanah) dan si miskin (si pengindung dan penggarap). Keadaan yang demikian (menurut Eko Budihardjo) sudah semestinya dipertahankan dan dikembangkan (sebagai cerminan budaya bangsa), namun menurut pasal 16 ayat (1) huruf (h) jo. Pasal 53 UUPA hak-hak tersebut merupakan hak sementara, yang dalam waktu singkat (sejak ditetapkannya UUPA) akan segera dihapuskan. Dalam kenyataan di lapangan, terutama di daerah perdesaan hak-hak tersebut sampai sekarang masih hidup.
Suatu hal yang sangat terasa betapa sulitnya bagi para pelaku pembangunan kota setelah berlakunya UUPA jika dibandingkan dengan sebelumnya (berdasar hukum adat) ialah pengeringan lahan persawahan menjadi lahan permukiman. Pada saat sebelum berlakunya UUPA, secara bermusyawarah para pemilik hak pekulen atau hak gogolan di desanya sepakat untuk mengeringkan sebagian dari sawahnya menjadi kapling-kapling permukiman yang tertata secara teratur sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Namun melalui pasal VII ayat (1) Ketentuan-Ketentuan Konversi dalam bagian kedua UUPA secara tegas hak gogolan dan pekulen tersebut dirubah menjadi hak milik perseorangan.
Menurut pasal 20 ayat (1) UUPA hak milik atas tanah adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, walau menurut ketentuan pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial. Dengan adanya hak milik sesuai pasal 20 tersebut menjadikan seseorang dapat mempertahankan haknya itu. Salah satu wewenang Pemerintah menurut pasal 2 ayat (2) UUPA adalah wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
Kenyataan di lapangan bahwa betapa sulitnya Pemerintah baik Pusat maupun Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) untuk membebaskan tanah hak milik untuk dijadikan fungsi pelayanan umum, seperti jalan, sekolah, terminal, waduk dan sebagainya. Dengan adanya ketentuan pasal 20 tersebut rasa keberasamaan (sesuai budaya nasional) semakin menipis, dan rasa individualis (dasar budaya Barat) semakin berkembang di masyarakat Indonesia.
Fungsi tanah dan tantangan masa depan bangsa
Di dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor: 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, secara tegas disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, ……. dan seterusnya .
Pernyataan tersebut, ditinjau dari obyeknya (tanah) kiranya tidak ada orang yang mau menolak atau membantahnya. Tetapi corak perekonomian masyarakat yang agraris dengan memfungsikan tanah sebagai sumber penghidupan masyarakat di masa depan masih akan dipertahankan dan dikembangkan, merupakan pertanyaan yang cukup mendasar dan perlu dikaji.
Disadari semua pihak bahwa secara kuantitas kondisi tanah tidak berubah atau berkembang, sedang secara kualitas kondisi tanah cenderung menurun. Di lain sisi manusia sebagai pengguna tanah baik secara kuantitas maupun kualitas terus berkembang. Perkembangan kuantitas manusia (penduduk) berjalan secara alami, sedang perkembangan kualitas manusia (masyarakat) berjalan karena tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Adanya perkembangan baik kuantitas maupun kualitas manusia akan berpengaruh pula terhadap fungsi dan manajemen pertanahan.
Perkembangan kuantitas maupun kualitas masyarakat akan menjadikan adanya perubahan pola pikir dan pola perilaku masyarakat, yang kesemuanya akan menuntut adanya perubahan atas fungsi tanah. Dengan adanya perubahan atau perkembangan pola pikir dan pola perilaku masyarakat berpengaruh pada tuntutan akan penyediaan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, yang juga berkembang baik secara kuantitas maupun kualitas. Diketahui pula bahwa kebutuhan hidup masyarakat yang primer adalah sandang, pangan, dan papan. Namun dengan perkembangan ilmu dan teknologi (kebudayaan) jenis dan sifat kegiatan terus berkembang yang secara kualitas harus dipenuhi pula.
Tuntutan akan perubahan dan perkembangan penyediaan wadah berkembangan jenis dan kualitas kegiatan ini tercermin dari betapa pesatnya pertumbuhan area perkotaan. Pertumbuhan area perkotaan yang selama ini terlihat di Indonesia khususnya dan di negara-negara berkembang pada umumnya berjalan secara organis-sporadis, tanpa suatu pola tertentu. Akibatnya kota-kota yang ada justeru menimbulkan banyak permasalahan baik bagi pemerintah sebagai pengelola, maupun masyarakat sebagai pengguna. Hal ini sangat terasa terutama di kota-kota besar, yang semakin besar kota akan semakin komplek permasalahannya. Untuk semua itu diperlukan berbagai peraturan sebagai perangkat lunak di bidang pertanahan, yang selain untuk menangani berbagai permasalahan yang sementara ini ada, dan mengantisipasi permasalahan yang akan timbul di masa depan.
Di dalam era globalisasi sekarang, yang kerjasama secara internasional dalam bidang investasi akan digalakkan dan ditingkatkan, jelas akan berpengaruh pula terhadap manajemen pertanahan. Dalam era otonomi daerah sekarang, diperkirakan usaha menarik investor (baik nasional maupun internasional) untuk masuk ke daerah akan dilakukan oleh pemerintah baik: Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten/Kota. Untuk menghidari adanya kompetisi yang tidak sehat antar daerah, dalam era komputerisai ini kiranya Management Information System (MIS) yang terpadu secara nasional amat sangat diperlukan.
 
Purwokerto, Selasa Wage 25 September 2001