Senin, 26 Januari 2015

SISTEM DRAINASE BURUK, KIAN RAWAN BANJIR



Banjir lokal yang beberapa kali terjadi di kawasan Purwokerto saat curah hujan tinggi, dipicu karena sistem drainase (saluran air) yang buruk.  Perubahan peruntukan lahan di Purwokerto, dari kawasan lahan pertanian menjadi kawasan perumahan membuat air hujan tidak dapat meresap dan tersalurkan dengan baik. Pasalnya sistem pembuangan air yang seringkali digunakan oleh pengembang justru menggunakan saluran irigasi yang difungsikan memasok air ke sawah.
Pengamat tata ruang kota, Sunardi atau yang akrab disapa Eyang Nardi, menyatakan dengan pembuangan air yang masih bersifat irigasi maka ukuran drainase makin kehilir justru makin makin mengecil padahal semestinya untuk pemukiman justru sebaliknya, ukuran makin kehilir justru makin membesar. Akibatnya, saat curah hujan tinggi usaha pengurangan dan daya serap air mengalami masalah karena saluran irigasi justru bersifat menambahkan atau mengalirkan air ke lahan pertanian. Sistem drainase yang buruk inilah, ditambah curah hujan yang tinggi, menjadi wajar kalau banjir justru terjadi di kawasan perumahan.
"Dari persoalan semacam itu, wajar kemudian kalau  terjadi banjir," ujar Nardi saat ditemui Banyumas Ekspres di kediamannya, Minggu (25/1).
Akar persoalan ini, dikatakan Nardi, karena kurangnya pengawasan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas terhadap pengembang. Mestinya kontrol sudah dilakukan sejak gambaran perencanaan perubahan peruntukan lahan sampai pengawasan lapangan secara ketat. Padahal usaha-usaha mendirikan bangunan secara kolektif dan sistem drainase idealnya, secara regulasi sudah diatur atau mesti sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Menurut Nardi, semestinya pemkab tidak perlu ragu bertindak tegas jika ada pengembang yang menyalahi izin dan peruntukan wilayah.
"Dulu sewaktu kecil gak diatur. Sekarang sudah menjamur ya kerepotan jadinya. Padahal perkembangan kota bisa diprediksi dengan melihat ciri pertambahan populasi, tren pembangunan, daya dukung lingkungan. Misalnya begini, kita proyeksikan beberapa tahun ke depan perkantoran, pusat perbelanjaan semakin menjamur. Kawasan-kawasan baru itu justru lebih rendah daya serap airnya ketimbang pemukiman. Pandangan dan prediksi terhadap perubahan kota itu, sejak awal harus disertai dengan antisipasi pada sistem drainase agar banjir lokal tak semakin menjadi," tegas Nardi.
Untuk mengurai benang kusut persoalan drainase ini, Nardi menyatakan ada beberapa aspek yang perlu dioptimalkan. Mengingat pengembangan pemukiman akan terus meluas dengan pertambahan populasi, maka Pemkab Banyumas perlu pro aktif melakukan edukasi perawatan lingkungan. Pasalnya, pemukiman yang makin juga semakin meningkatkan limbah rumah tangga. Padahal faktanya, sistem pembuangan air limbah atau sampah dapur tak ada sehingga sebagian limbah rumah tangga dibuang ke drainase. Sedang, di segi birokrasi, pemetaan permasalahan kawasan-kawasan yang berpotensi banjir mesti segera dilakukan dan segera dicarikan solusi.
"Populasi, birokrasi, lingkungan dan tekhnologi itu tidak dapat dipisahkan. Untuk antisipasi banjir saja, menyoal perkotaan memang kompleks. Bupati harus bisa menjadi koordinator yang baik. Ambil saja contoh begini, pengembang pakai saluran irigasi, petugas SKPD terkait sebenarnya tahu tapi tak melaporkan karena ada main dengan pengembang. Atasan juga menerima laporan saja, tanpa disetai turun lapangan, karena yang penting beres. Sedang masyarakat di pemukiman itu lalu membuang sampah sembarangan. Ya sudah, potensi banjir jadi tinggi. Terus yang disalahkan, kesadaran masyarakat membuang sampah," urai Nardi.
Menyangkut solusi, ia menyarankan, perlunya emerintah mendesak para pengembang untuk membuat sumur resapan secara kolektif untuk menampung air hujan. Pasalnya dengan sumur resapan, akan mengurangi aliran permukaan dan mencegah terjadinya genangan air. Hal ini setidaknya memperkecil kemungkinan terjadinya banjir, karena air dapat memiliki waktu tinggal lebih lama di permukaan tanah sehingga sedikit demi sedikit aiar dapat meresap ke dalam tanah.
"Ini saya kira solusi tekhnis," ujar Nardi.
Sedangkan secara strategis, mumpung saat ini RDTRK Purwokerto sedang dikonsep oleh DPRD Banyumas untuk 20 tahun ke depan, Nardi mengharapkan pemetaan masalah mesti dijadikan dasar  untuk mematangkan  data, analisa dan rencana.  Untuk memetakan maslah ini keterlibatan masyarakat perlu diikutsertakan baik dari pengusaha, akademisi, juga elelmen masyarakat yang lain. Pemkab juga mesti lebih tegas pada izizn bangunan yang dibrikan yaitu harus sesuai RDTRK dan zonasi wilayah.
"Berindak tegas jika ada bangunan yang menyalahi izin peruntukan wilayah, seperti yang nantinya tertang dalam RDTRK wajin dilakukan. Karena dari situlah dasar proyeksi Purwokerto ke depan. Banjir lokal secara tekhnis lebih mudah ditangani, asal sektor drainase direncanakan matang," tutup Nardi. (ziz)

Banyumas Ekspres, Senin Kliwon 26 Januari 2015  


Kamis, 22 Januari 2015

SIARAN WARUNG TARSUN RRI PURWOKERTO

"Ngurip-urip budhaya dhewek" Rabu, 21 Januari 2015

"Badaya Dhewek" sebagai kearifan lokal, setelah diinfentarisasi, diidentifikasi, didokomunentasi (baik dalam bentuk tulisan atau buku, foto maupun video) kedepannya mau kita apakan .... ?

 
 





Jumat, 16 Januari 2015

JALAN ALUN-ALUN PURWOKERTO

Jalan Alun-alun Purwokerto adalah sepotong jalur jalan yang membelah di tengah-tengah alun-alun kota Purwokerto. Membujur dari arah selatan ke utara menghubungkan jalur jl. Jenderal Soedirman dengan halaman pendapa kabupaten Banyumas, yang biasa disebut sebagai Pendapa Si Panji. Jalur jalan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan alun-alun Purwokerto. Karena alun-alun itu merupakan satu kesatuan dengan komplek bangunan kabupaten, maka keduanya (alun-alun dan kabupaten) dimungkinkan dibagun bersamaan saatnya, sekitar tahun 1832. Banyak macam dan ragam kegiatan yang dapat dilaksanakan di jalur jalan Alun-alun ini.


Pada tahun 1937 sebagai tempat upacara penerimaan kepindahan 
Bupati RAA. Sujiman Gandasubrata (bupati ke 20) dari Banyumas ke Purwokerto


Secara visual merupakan jalur jalan yang dapat menambah keagungan 
dan kewibawaan Pendapa Si Panji

Upacara bendera setiap tanggal 17 Agustus dan 
upacara-upacara peringatan hari-hari nasional lainnya

Pagelaran kesenian secara massal

Pagelaran Lomba Drum Band anak-anak Taman Kanak-Kanak

Panggung kesenian yang dilaksanakan hampir setiap malam Minggu

Demo menentang kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat

Tahun 2008 Bupati Mardjoko membuang kedua pohon beringin kurung 
yang berada di tengah-tengah alun-alun

Bupati Mardjokomengganti pohon beringin kurung dengan pohon beringin putih 
yang tidak lama kemudian juga dihilangkan

Bupati Mardjoko menutup atau meniadakan adanya jalur jalan Alun-alun

 Walaupun bupati Mardjoko sudan meniadakan (secara fisik) jalur jalan Alun-alun, namun bupati Achmad Husein tahun 2014 masih menyebut nama jalan Alun-alun di dalam Raperda RDTRK Purwokerto.







Rabu, 14 Januari 2015

RENOVASI ALUN-ALUN PURWOKERTO



Alun-alun sebagai jatidiri kota

Sejarah alun-alun memang cukup panjang. Sebelum kolonial Belanda datang, alun-alun telah ada. Alun-alun dibangun dengan konsepsi yang tinggi, penuh filosofi. Dalem dan pendopo kabupaten, atau keraton (pusat pemerintahan tradisional) dengan alun-alun di depannya, dibangun tidak di sembarang tempat atau arah. Pendopo kabupaten senantiasa membelakangi gunung/gunung, dan menghadap ke arah lautan. Lokasi alun-alun ditenetukan melalui suatu “laku” sebagai pengejawantahan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari proses pembangunan alun-alun dan fasilitas-fasilitas di sekitarnya terlihat adanya hubungan yang erat antara manusia dengan alam dan Tuhannya. Sedang dari fungsi atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di alun-alun, terlihat bahwa alun-alun dibangun bukan untuk kepentingan penguasa saja, tetapi lebih banyak untuk kepentingan warga masyarakat. Hal tersebut juga menunjukkan betapa tingginya perhatian pemimpin/penguasa terhadap kepentingan warga masyarakat.
Dari hal-hal tersebut di atas, terlihat betapa tingginya nilai budaya, nilai filosofi dalam pembangunan alun-alun suatu kota, yang oleh Prof. Eko Budihardjo disebut sebagai jatidiri atau identitas kota di Jawa. Karena menurut beliau bahwa jatidiri lingkungan atau kota diperoleh melalui penggalian dan penemuan kembali secara intensif dan ekstensif, kekhasan, keunikan, dan karakter spesifik yang telah berurat berakar menjiwai suatu lingkungan atau kota tertentu.
Dalam perkembangannya, amat disayangkan bahwa alun-alun, yang dibangun sesuai dengan jatidiri bangsa, didasarkan pada sifat pola pikir bangsa, oleh bangsa Belanda dirusak. Di sekitar atau bahkan kadang-kadang di depan alun-alun oleh Belanda dibangun gedung pusat pemerintahan kolonial, atau bahkan penjara yang terjadi hampir di semua kota.
Pembangunan berwawasan lingkungan diharapkan tidak hanya sekedar slogan pemerintah, dapat direalisasikan secara konsekuen. Lingkungan tidak hanya lingkungan fisik, namun termasuk juga lingkungan sosial, budaya sebagai isinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Eko Budihardjo, bahwa: lingkup kerja seorang arsitek tidaklah terbatas dalam perancangan bangunan yang kuat dan indah, tetapi termasuk lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, khususnya lingkungan masyarakat berpenghasilan rendah yang merupakan mayoritas di negara-negara berkembang termasuk negara Indonesia.

Alun-alun Purwokerto

Dengan kekalahan P. Diponegoro dalam perangnya melawan Belanda pada tahun 1830, maka daerah Banyumas oleh pemerintah Kasunanan Surakarta dijadikan daerah yang digadaikan ke pemerintah Belanda untuk meliru biaya perang. Melalui Keputusan Jendral Van Den Bosch tertanggal 18 Desember 1831 dibentuklah Karesidenan Banyumas yang terdiri dari lima wilayah kabupaten, yaitu: Banyumas, Ajibarang, Purbalingga, Banjarnegara, dan Majenang, dengan Bupati sebagai pejabat pemerintah kolonial Belanda. Namun karena bencana angin topan selama 40 hari yang melanda Kabupaten Ajibarang pada tahun 1832, maka ibukota Kabupaten pada tanggal 6 Oktober 1832 dipindahkan ke Paguwon, Purwokerto. Bupati Ajibarang saat itu adalah Adipati Aryo Mertodirejo II.
Dengan pindahnya kabupaten Ajibarang ke Purwokerto ini pemerintah Belanda membangun komplek pusat pemerntahan kabupaten Purwokerto. Komplek pusat pemerintahan ini dibangun dengan konsep arsitektur tradisional dengan modifiklasi arsitektur Barat. Orientasi bangunan dibuat dengan adanya garis imaginer sumbu yang menghubungkan antara gunung (di belakang) dan samudera (di depan), dengan unsur-unsur: alun-alun di bagian paling depan, halaman (plataran), pendapa, pringgitan, dalem dan plataran buri (belakang). Masjid, yang dikenal dengan sebutan Masjid Paguwon (di sebelah barat), kantor pengadilan (di sebelah timur) dan dengan terbatasnya lahan yang tersedia maka rumah penjara dibangun di sebelah selatan masjid.
Alun-alun dibelah menjadi dua bagian oleh jalan yang langsung menuju halaman pendapa, untuk memperkuat sumbu imajier dan menambah keagungan/kewibawaan pendapa. Dua batang pohon beringin kurung berada di tengah-tengah alun-alun, juga di keempat sudut alun-alun juga ditanami pohon beringin sebagai lambang pengayoman bagi masyarakat. Kandisi seperti ini dipertahankan sampai akhir masa pemerintahan bupati Aris Setiono.
Tahun 2008 saat masa pemerintahan bupati Mardjoko, pembongkaran alun-alun mulai dilakukan dengan: membangun videotron, membongkar kedua batang pohon beringin kurung, juga menutup jalu jalan di tengah alun-alun yang disebut jalan Alun-alun (panjang 100 meter, lebar 14 meter). Walau sebelumnya telah ditentang oleh masyarakat baik melalui dialog dengan bupati maupun demo para senimam. Demikian juga Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah melalui rekomendasinya menyarankan antara lain agar: (1) pohon beringin kurung dilarang dibongkar kecuali diganti dengan pohon sejenis; (2) jalan di tengah-tengah alun-alun dilarang ditutup, kecuali diganti dengan conblok atau paving blok. Namun rekomendasi dari BP3 Jawa Tengah tersebut tidak dihiraukan sama sekali.
Demikian juga pada tahun 2014 saat pemerintahan bupati Achmad Husein, alun-alun Purwokerto kembali direnovasi. Beberapa waktu sebelumnya kami sudah secara langsung mengingatkan, bahwa sekelompok masyarakat Banyumas, khususnya yang peduli terhadap budaya Banyumas menghendaki agar alun-alun Purwokerto dikembalikan kondisinya seperti yang direkomendasikan BP3 Jawa Tengah. Amat disayangkan bahwa hasil renovasi yang dilakukan oleh bupati Achmad Husein bukannya mengembalikan kondisi alun-alun seperti yang direkomendasikan oleh BP3 Jawa Tengah, tetapi mengganti jenis rumput dan membangun air mancur. Suatu hal yang amat aneh ialah bahwa walau jalan Alun-alun kenyataan sudah tidak ada, namun di dalam Raperda tentang RDTRK Purwokerto tahun 2014 – 2034 masih tetap disebutkan.

Purwokerto, 14 Januari 2015



 

Selasa, 13 Januari 2015

RDTRK Tidak Boleh Asal-Asalan



Wajah Kota 20 Tahun Mendatang 

PURWOKERTO - Kacaunya naskah akademik dalam pembahasan Raperda RDTRK Purwokerto saat ini, menjadi salah satu faktor yang menghambat penetapan Raperda RDTRK menjadi Perda. Oleh karena itu, sejumlah kalangan mendesak segera dilakukan perbaikan naskah akademik Raperda RDTRK Purwokerto yang mendasar pada data teknis di lapangan.
Pengamat Tata Ruang Kota, Sunardi mengatakan, jika berkaca dari pelaksanaan RDTRK Purwokerto sebelumnya yang saat ini sudah tidak berlaku sejak tahun 2013 lalu, masih banyak penyimpangan tata ruang yang tidak sesuai dengan RDTRK yang ada.
Dia menilai, harusnya ada evaluasi terkait pelaksanaan RDTRK sebelumnya, sehingga bisa disinkronkan dengan keadaan Purwokerto saat ini dalam sebuah kajian akademik.
"Naskah akademik tidak boleh asal-asalan. Harus disesuaikan dengan data yang ada di lapangan. Selain itu juga harus dianalisis berdasarkan keadaan sekarang dan yang akan datang. Sehingga tidak didasarkan pada keinginan berbagai kepentingan," jelasnya.
Dikatakan, naskah akademik yang ada harus bisa menjawab semua pertanyaan masyarakat seperti bagaimana wajah perkotaan 20 tahun ke depan, prediksi jumlah penduduk, serta ketersediaan lahan yang ada pada masa yang akan datang.
Menurutnya, hal-hal teknis tersebut belum ada dalam naskah akademik yang ada saat ini. "Harusnya lebih mengedepankan teknik, bukan fokus ke pasal-pasalnya. Nantinya Raperda atau aturan yang ada harus mengikuti naskah akademik yang ada," tegasnya.
Terkait bangunan vertikal yang nantinya akan masuk dalam aturan RDTRK, Sunardi mengatakan, hal itu tidak menjadi masalah selama sudah sesuai dengan teknis yang ada.
Dikatakan, untuk ketinggian bangunan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan luas lahan yang ada. Pasalnya, semakin tinggi bangunan maka diperlukan ruang terbuka yang luas pula. "Hal itu untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan seperti penyakit karena lingkungan lembab, serta kekhawatiran bangunan roboh," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi B DPRD Banyumas Subagyo sebelumnya menjelaskan, dalam RDTRK nantinya akan diatur terkait gambaran perwajahan kota Purwokerto 20 tahun mendatang. Namun demikian, berbeda dengan beberapa kota lain yang sudah memiliki RDTRK, Kabupaten Banyumas khususnya Purwokerto saat ini sudah banyak dihuni oleh bangunan-bangunan.
Menurutnya, hal itu dinilai cukup menyulitkan untuk mengatur zonasi yang ada. Pasalnya, untuk aturan zonasi nantinya akan terbentur bangunan-bangunan yang sudah ada.
"Kalau masih berupa lahan kosong, konsep RDTRK akan bisa lebih mudah diterapkan, terutama untuk pemberlakukan zonasi. Namun di Purwokerto sudah banyak bangunan yang berdiri, dan lahan kosong juga sangat terbatas. Sehingga memang perlu penyesuaian," katanya. (bay/sus)

Radar Banyumas, Jum'at Pon 9 Januari 2015