Minggu, 29 Maret 2015

HARI JADI (KABUPATEN) BANYUMAS PERLU DILURUSKAN

Sugeng Priyadi Yakin 22 Februari
“Jadi konyol kalau melakukan perayaan-perayaan peringatan hari jadi, tetapi di tanggal yang tidak pas. Apalagi sudah ada temuan-temuan yang merujuk pada tanggal yang lebih bisa dipertanggung jawabkan,” -Profesor Sugeng Priyadi, Sejarawan Banyumas-

PURWOKERTO, SATELITPOST-Tanggal penetapan hari jadi Kabupaten Banyumas perlu direvisi dan diluruskan. Hingga saat ini, tanggal peringatan tersebut diperingati tiap 6 April. Menurut sejarawan Banyumas, Profesor Sugeng Priyadi, tanggal penetapan hari jadi diyakininya pada 22 Februari.
Beredar informasi dari Prof Sugeng Priyadi dan Saeran Samsidi, pegiat Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB), mulai 2016 mendatang, Pemkab Banyumas bakal merivisi tanggal tersebut menjadi 22 Februari. Meski demikian, kabar ini belum mendapat konfirmasi meyakinkan dari Bupati Banyumas, Ir Achmad Husein.
Prof Sugeng meyakini, masalah perubahan hari jadi Banyumas sudah tuntas dibahas dan tinggal dilakukan sosialisasi sebelum penerapan perubahannya. Persoalan penetapan hari jadi yang tertuang dalam Perda Nomor 2 Tahun 1990 itu, diakui Prof Sugeng tampak sepele. Tetapi, hal itu menjadi penting karena peringatan hari jadi yang selama ini (6 April, red) tidak dilandasi fakta atau landasan kuat.
“Jadi konyol kalau melakukan perayaan-perayaan peringatan hari jadi, tetapi di tanggal yang tidak pas. Apalagi sudah ada temuan-temuan yang merujuk pada tanggal yang lebih bisa dipertanggung jawabkan,” ujar Prof Sugeng ditemui SatelitPost di meja kerjanya di lantai III, Gedung Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Jumat (6/2).
Hal yang sama disampaikan Saeran Samsidi dalam naskah opini yang dimuat SatelitPost pada Kamis (5/2). Soal perubahan penetapan tanggal hari jadi dari 6 April 1582 menjadi 22 Februari 1571 sebagai kala berdirinya Kabupaten Banyumas ia menulis: ..gendhu-gendhu rasa dengan Pak Husein, Bupati Banyumas di ndalem alit di belakang Pendapa Si Panji bersama-sama dengan Tim Pokja Eling Budaya Banyumas seperti Dr Rawuh dari LPPM Unsoed, Jarot Setyoko, Bambang Widodo, Eyang Nardi, Badhor Kayu, dan Mas Ganjar, Kang Husein membenarkan. Namun pelaksanaannya mulai tahun 2016 nanti. Perubahannya sedang digodog dan direncanakan akan diselenggarakan diskusi, seminar, dan dialog dengan berbagai komponen masyarakat Banyumas.
Terkait rerubahan tangal itu menurut Prof Sugeng sudah fiks atau pasti.
“Penerapannya baru dilaksanakan tahun depan. Di Banyumas ini sudah terlau banyak yang tidak sesuai sejarah, akhirnya kehilangan nilai-nilai sakralnya,” katanya.
Selain menetapkan hari jadi Banyumas, Prof Sugeng juga merasa, beberapa ritual peringatan hari jadi juga dirumuskan lebih mendalam. Sehingga, tidak kehilangan esensi dan nilai sakralnya yang ke depan menjadi lebih kuat jika mau dijadikan sebagai potensi wisata budaya.
“Saya juga tidak tahu bagaiman fakta sejarahnya peringatan hari jadi itu mengarak pusaka yang dilepas dari pendopo wakil Bupati. Kenapa tidak dilakukan di Banyumas kota lama yang betul-betul tempatnya. Prosesinya perli dikaji juga dari naskah-naskah kuno Banyumas,” ujarnya. (dedyafrengki@yahoo.co.id)

Tercantum dalam Naskah Kuno Kalibening
PENETAPAN hari jadi Banyumas tanggal 6 April 1582 terjadi di era kepemimpinan Bupati (alm) Djoko Sudantoko. Saat itu, kata Prof Sugeng, bupati memerintahkan untuk melakukan pengkajian sejarah terkait hari jadi Banyumas. Saat ditetapkan tanggal tersebut sebagai hari jadi, Prof Sugeng tahu persis, Bupati Djoko merasa tidak cukup yakin dengan hasil itu.
“Bupati Djoko waktu itu merasa kurang yakin, karena tidak ada sumber sejarah yang valid mengenai tanggal itu,” katanya mengingat penetapan hari Jadi Banyumas yang diputuskan saat seminar hari jadi tanggal 14 Nov tahun 1989 silam.
Sejak tahun 1988, Prof Sugeng sebetulnya sudah memulai penelitian penelusuran hari jadi Banyumas. Tetapi, hingga akhirnya ditetapkan dalam Perda pada tahun 1990, dia belum juga menemukan fakta sejarahnya. Begitu mendapat perintah dari Bupati Djoko, Prof Sugeng diminta membuat proposal untuk lakukan penelitian mendalam.
“Dengan senang hati saya lakukan penelitian mendalam. Perlu diketahui, proyek penelitian itu Nol Rupiah. Alias tanpa dana,” ujarnya.
Prof Sugeng akhirnya menemukan fakta yang membuatnya lebih yakin mengenai hari jadi Banyumas. Dalam naskah kuno Kali Bening yang ditulis dengan huruf Jawa kuno abad 16-17-an itu, disebutkan bahwa pada hari Kamis Wage atau Rabu Pon sore tanggal 27 Ramadhan, Djoko Kahiman diangkat oleh Sultan Hadiwijaya sebagai Adipati Wirasaba. Fakta itu juga sinkron dengan yang disebutkan dalam Naskah Babad Banyumas dari Kedung Wuluh, bahwa Djoko Kahiman diangkat menjadi Adipati tahun 1571.
“Saya kemudian mengurai fakta dari dua naskah tertua Banyumas itu. Setelah di terjemahkan ke penanggalan Masehi, maka ditemukan tanggal 22 Februari 1571,” kata Prof Sugeng. (dedy afrengki)

 Prof. Dr. Drs. Sugeng Priyadi, M.Hum.

Rabu, 18 Maret 2015

RUANG SALON KABUPATEN BANYUMAS GANTI NAMA

Ruang Salon akan diganti dengan nama Sasono Joko Kaiman

Ruang salon yang menyatu dengan Rumah Dinas Bupati Banyumas yang biasa digunakan untuk penerimaan tamu Bupati, Rapat Kordinasi, dan berbagai kegiatan lainnya akan diganti namanya menjadi Sasono Joko Kaiman, demikian salah satu hasil kesepakatan sarasehan Bupati dan Wakil Bupati Banyumas dengan tokoh agama dan budayawan Banyumas seperti  KH. Taefur Arofat M.Mpdi, Drs.H. Achmad Kifini, Ir. Sunardi MT, Drs. Bambang Widodo, M.Par, Drs. Hadi Wijaya, Titoet Edi Purwanto, Ki.H. Daulat Darmo Carito dan Suwardi.sarasehan dilaksanakan pada Senin ( 16/3) kemarin turut hadir Asekbang dan Kesra, Kepala Dinas Pemuda dan Olah Raga dan beberapa pejabat dilingkungan Diporabudpar dan lingkungan Setda. 
Mengawali sarasehan Bupati Achmad Husein menyampaikan, nama ruang salon yang sejarahnya tidak banyak yang tahu dan terkadang membingungkan para undangan karena terkesan sebagai ruang rias perlu ada identitas nama yang lebih memudahkan " Kadang banyak orang yang bingung mencari ruang salon, tahunya yang ruang rias dan sejarahnya mengapa diberi nama ruang salon juga sampai sekarang tidak banyak yang tahu sehingga perlu ada nama yang dapat memotivasi semuanya, dan kalau disetujui diberi nama ruang Joko Kaiman" jelasnya
Menurutnya pemberian nama Joko Kaiman adalah untuk memberikan penghormatan dan mengenalkan  kepada masyarakat dan generasi penerus tentang pendiri Kabupaten Banyumas serta untuk mencontoh prilaku yang dimiliki yaitu adil dan bijaksana untuk dicontoh dan ditiru oleh para pemimpin dan masyarakat Banyumas.
Menganggapi usulan Bupati para budayawan dan tokoh agama diawali dari Drs. Hadi Wijaya menyatkaan dirinya setuju penggantian nama ruang salon menjadi ruang atau sasono Joko Kaiman sebagai bentuk penghormatan dan memotivasi masyarakat Banyumas, demikian Bambang Widodo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bambang Dodit juga sangat menyetujui bahkan mengusulkan jangan hanya ruang salon tetapi ada jalan dan gedung yang dinamai Joko Kaiman, demikiann juga budayawan yang lain seperti Titoet Edi Purwanto, Daulat Darmo Carito, Suwardi, Ir. Sunardi dan juga Ketua Dewan Kesenian Kab. Banyumas.
Sementara dari kalangan Ulama yaitu KH Achmad Kifni dan  KH. Taefur Arofat juga tidak berkeberatan  bahkan mencontohkan ada beberpa gedung yang menggunakan nama para tokoh agama seperti gedung ahmad Dahlan maupun Hasim Asyhari. (dicopy dari: www.banyumaskab.go.id)

Mengikuti pertemuan di Ruang Salon Kabupaten Banyumas



Kamis, 12 Maret 2015

MUSIBAH BATURADEN

Baja Sling Sudah Lama Rusak

Tujuh Pengelola Diperiksa 

PURWOKERTO - Menyusul ambrolnya jembatan gantung Lokawisata Baturraden, Polres Banyumas telah memeriksa tujuh orang yang bertanggung jawab atas pengelolaan jembatan itu. Mereka diperiksa dengan kapasitas sebagai saksi.
Ketujuh orang itu adalah karyawan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Banyumas yang bertugas sebagai pengontrol jembatanTarikun dan Tarso, Kepala Bidang Objek dan Pemasaran Wisata Disparbud Darwis Cahyono, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lokawisata Baturraden Joko Haryanto, serta karyawan bagian tata usaha dan petugas kebersihan Lokawisata Rustam, Rohadi, dan Surono.
Kapolda Jateng Irjen Drs Dody Sumantyawan HS SH didampingi Kapolwil Banyumas Kombes Drs Emron Putra Agung dan Kapolres Banyumas AKBP Drs Suherman, kemarin meninjau jembatan gantung yang ambrol itu.
Dody menyatakan setiap ada peristiwa apalagi sampai menimbulkan korban jiwa, polisi sudah pasti akan menggelar penyelidikan. Hal itu dilakukan untuk mengetahui kenapa peristiwa tersebut bisa terjadi.
Saksi Ahli
Saat ini, penyelidikan masih berjalan. Polisi tak hanya memeriksa pihak pengelola, tetapi juga memerintahkan Laboratorium Forensik (Labfor) Mabes Polri Cabang Semarang untuk melakukan penelitian. Polisi pun akan meminta keterangan dari saksi ahli dari Dinas Pekerjaan Umum.
"Penyelidikan itu untuk mengetahui apakah terdapat unsur pidana dalam peristiwa tersebut. Meski bukan karena faktor kesengajaan, tetap harus digali apakah ada kelalaian atau tidak. Kalau ada, siapa yang lalai," ujar dia.
Hingga kemarin, jajaran Polres Banyumas telah memeriksa empat orang yang ikut bertanggung jawab atas pengelolaan jembatan gantung, serta tiga orang yang mengetahui saat jembatan itu ambrol.
Kasat Reskrim AKP Widada menambahkan, empat pengelola yang diperiksa sebagai saksi mengaku selama ini jembatan gantung tidak dikontrol dan diawasi secara baik dan benar.
Polisi yang melakukan pemeriksaan di lokasi juga mendapati baja sling jembatan sudah bertahun-tahun rantas, banyak satuan kawat baja yang putus. Namun kondisi ini dibiarkan saja dan tak pernah dikontrol.
"Polisi sudah mengambil potongan baja sling yang rantas. Baja sling itu rantas bukan hanya saat jembatan ambrol. Sling sudah bertahun-tahun rantas dan dibiarkan, tanpa upaya perbaikan," ujar dia.
Jembatan gantung Lokawisata Baturraden itu yang memiliki panjang 25 meter dan lebar satu meter itu membentang di atas Sungai Gumawang dengan ketinggian 20 meter dari permukaan sungai. Jembatan itu juga sudah berusia 23 tahun. Menurut mantan Kepala Badan Pengelola Objek Wisata Baturraden (1967-1990) Soegeng Wijono, ide membangun jembatan itu muncul pada tahun 1974 atau saat era kepemimpinan Bupati Pujadi Jaring Bandayuda.
Saat itu diputuskan Baturraden bakal menjadi "gula" bagi pengembangan Banyumas wilayah utara. Karena itu, fasilitas Baturraden harus ditambah agar mempermudah wisatawan. Sebuah jembatan gantung dirancang sebagai penghubung antara kawasan lokawisata dan bumi perkemahan. Dengan jembatan itu, wisatawan tidak perlu memutar jauh. Saat dibangun, jembatan itu memang dirancang hanya untuk 10 orang, sehingga ada rambu-rambu dan dijaga oleh petugas pengawas. Orang juga tidak boleh berhenti di jembatan karena beban akan terkonsentrasi di satu titik. Pembangunannya baru terealisasi saat kepemimpinan Bupati Rudjito pada tahun 1983.
Saat kejadian, di atas jembatan terdapat 50 pengunjung lebih. Memang ketika Lebaran, tidak hanya jembatan yang kelebihan muatan. "Baik jalan maupun lapangan parkir di Baturraden pasti kelebihan muatan. Karena itu, jembatan harus selalu dikontrol sebelum Lebaran. Jembatan juga pernah ditutup karena rusak. Namun terkadang, pengunjung tidak peduli dengan peringatan petugas," ujar dia.
Soegeng mengalami sendiri, pengunjung tidak menggubris peringatan petugas. "Anak laki-laki sering menggoyang-goyang jembatan gantung yang sedang terbebani pengunjung. Saat saya peringatkan, mereka malah bilang, biarin kami kan sudah bayar," tutur dia.
Kapolda Jateng mengungkapkan penyesalannya atas musibah yang menelan korban jiwa itu. Dia meminta peristiwa tersebut menjadi pelajaran agar pada masa mendatang, pengelola objek wisata atau tempat rekreasi lebih mempersiapkan sarana serta fasilitas agar tidak terjadi kecelakaan.
Salah satu saran dia sampaikan, ketika sudah diperbaiki, di mulut jembatan gantung itu dipasangi tulisan kapasitas muatannya dan dilakukan pengawasan serta pemeliharaan secara rutin.
Sementara itu, satu lagi korban yang dirawat di rumah sakit, kemarin pagi meninggal. Korban terakhir itu adalah Slamet Wahyudi (30) warga Desa Kedunglegok, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga.
Dengan demikian, hingga semalam, korban meninggal akibat jembatan ambrol menjadi tujuh orang. Mereka adalah Endang (16) warga Kadokan Agung Kecamatan Kadokan Bunder Kabupaten Indramayu, Suzana (30) warga Jl Sampangan Gang 2 No 1 Pekalongan, Yuli Puspasari (32) yang sedang hamil lima bulan asal Jl Sampangan Gang 2 No 1 Pekalongan, Sudiyati (24) warga Cikarang Jawa Barat, Safitri (18) asal Kadokan Agung Kecamatan Kadokan Bundar Indramayu, Vina (5) asal Jl Sampangan Gang 2 No 1 Pekalongan, Slamet Wahyudi (30) asal Kemangkon Purbalingga.
Selain tewas akibat jembatan ambrol, seorang lagi Miftahudin meninggal karena tenggelam di kedung Sungai Sungai Gumawang. Dengan demikian, dalam tragedi yang terjadi di Baturraden, jumlah korban tewas mencapai 8 orang. Untuk korban luka-luka, dari 14 orang yang semula dibawa ke RSU Wijayakusuma, kini tersisa enam orang yang masih harus dirawat. Seorang pasien, Kris Nataniel (5) asal Pekalongan yang tulang pahanya patah, dirujuk ke Solo. Sementara dari 9 korban luka-luka yang dirawat di RSUD Margono Soekarjo, lima di antaranya sedang menjalani persiapan bedah tulang dan syaraf. Empat orang lainnya berangsur-angsur membaik dan pada hari Jumat (27/10) ini diizinkan pulang.
Sekda Banyumas Singgih Wiranto mengatakan, seluruh biaya pengobatan dan perawatan korban ditanggung Pemkab Banyumas. Korban meninggal juga akan menerima santunan, Rp 5 juta/orang. Jenazah mereka pun sudah diantar hingga rumah masing-masing.
Menyusul peristiwa tragis tersebut, personel pengamanan terpadu di kawasan wisata Baturraden, kemarin ditambah. Selain aparat Brimob dari Polwil, juga dilibatkan polwan dan LSM untuk memandu para wisatawan saat berada di dalam lokawisata Baturraden.
Sejumlah polwan memakai megaphone saat meminta pengunjung untuk tidak mendekati lokasi-lokasi yang rawan, seperti tebing sungai, sungai, kolam renang, dan lokasi perbukitan. Hal itu dilakukan karena pengunjung terus membeludak sedangkan jumlah petugas Dinas Pariwisata terbatas.
Bupati Banyumas HM Aris Setiono mengatakan, atas kejadian itu, Gubernur Jateng Mardiyanto mengintruksikan kepada semua kepala daerah yang wilayahnya memiliki objek wisata untuk memantau dan meminta para wisatawan agar tidak mendekati tempat-tempat yang rawan kecelakaan.
Ahli planologi Fakultas Teknik Unwiku Ir Sunardi MT menjelaskan, putusnya sling jembatan gantung itu merupakan cerminan umum masyarakat Indonesia. "Masyarakat kita memang bisa membangun, tetapi sering mengabaikan pemeliharaan," ujar dia, kemarin.
Ketua Harian Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Didi Rudwianto mengatakan, rehabilitasi terakhir jembatan gantung dilakukan pada tahun 2005 lalu. Hal itu dilakukan untuk mempercantik wajah bangunan. Yakni, dicat dan dicek kondisi kawat-kawat slingnya.
"Sejak dibangun hingga sekarang, sudah dua kali diperbaiki, antara lain pada tahun 1988. Namun itu hanya untuk perawatan dan pemeliharaan," ujar dia. Pemkab pun berencana membuat jembatan permanen sebagai pengganti jembatan gantung. (G23,G22,shs,P16-42,46m) 


 Lokasi jembatan gantung yang ambrol menjadi tontonan para pengunjung Lokawisata Baturraden, Kamis (26/10). Para pengunjung kebanyakan melihat lokasi jembatan yang ambrol itu dari Sungai Gumawang yang mengalir di bawahnya.(30a)

Minggu, 08 Maret 2015

Filosofi Alun-Alun Hilang Pasca Direnovasi

 

 Purwokerto - Cahunsoed, Kamis (15/1), Filosofi alun-alun hilang setelah direnovasi. Pasalnya jalan tengah pada alun-alun yang berarti pemisah hal baik dan buruk serta pohon beringin kurung yang berarti simbol pengayoman sudah tidak ada.  Eyang Nardi selaku pengamat tata kota dalam diskusi LKB (Lingkar Kajian Banyumas) pada Kamis (15/01) sore membenarkan hal tersebut.

 “Harusnya jalan tengah nggak boleh dihilangkan, dan pohon beringin kurung juga harus tetap ada. Kalo keduanya nggak ada ya hilang filosofinya” Katanya.
 Eyang Nardi menambahkan bahwa ia juga tak setuju adanya renovasi tersebut. Alasanya, alun-laun sudah merupakan ruang terbuka hijau dan tidak perlu setiap pergantian bupati harus merenovasinya. “Orang membangun kota itu tidak seperti memasang lukisan yang kalau tidak suka bisa dicopot kapan saja.”
 Menurut penuturan Sekretaris DCKKTR Junaidi, direnovasinya alun-alun mengacu pada UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Di awal diskusi Junaedi pun menjelaskan bahwa perubahan alun-alun diperbolehkan sepanjang tidak merubah filosofi. 
 Menurutnya alun-alun Purwokerto yang sekarang ini jauh lebih bagus dari pada alun-alun daerah lain. Hal ini dibuktikan dengan penambahan fasilitas yang semakin mempercantik alun-alun. “Alun-alun Purwokerto sekarang kan bisa jadi patokan, itu loh yang ada air mancurnya,” kata Junaidi. (TRI)