Soetedja, Komponis Kebanggaan
Banyumas Raya
Lagu "Di Tepinya Sungai Serayu" sangat familiar
bagi telinga masyarakat Indonesia. Terlebih bagi masyarakat Banyumas yang
tinggal di daerah aliran sungai Serayu, sungai yang menjadi inspirasi
terciptanya lagu legendaris ini.
Serampung SMA Negeri Purwokerto pada tahun 1960, saya
meneruskan kuliah di Akademi Pimpinan Perusahaan milik Departemen Perindustrian
Rakyat di Jakarta. Menjadi teman sebangku Abdul Latif, pemuda Padang yang belakangan
hari menjadi pengusaha dan pemilik departemen store ternama, yang pada waktu
itu bernama Sarinah Jaya. Beliau juga sempat menjadi Menteri Tenaga Kerja RI
pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Di Jakarta saya in de kost di rumah kakak kandung ibu saya
di Kepu Dalam, kawasan yang tak jauh dari Kemayoran. Nama kakak kandung ibu
saya, tak lain dan tak bukan adalah Soetedja.
Semasa saya menjalani liburan SMA di rumah Pak De di
Jakarta, masih terekam jelas di benak saya, rumah beliau menjadi markas seniman-seniman
senen yang pada waktu itu masih junior. Diantaranya: pelukis Soedjojono,
pemusik Syaiful Bahri, Bing Slamet yang pada waktu itu masih remaja, penyanyi
seriosa Pranajaya dan penyanyi Sam Saimun. Juga "Si Gembala Sapi"
Norma Sanger, pemilik perusahaan rekaman piringan hitam Mas Yos, gitaris jazz
Jack Lamers yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Jack Lesmana dan
ayahnda pemusik jazz Indra Lesmana, Mang Udel alias Drs. Purnomo yang
kemanapun selalu membawa ukulele dan
masih banyak lagi seniman senen yang berkumpul setiap sabtu malam.
Pada kesempatan liburan SMA itu saya sering diajak menonton
penampilan pak de bersama para pemusik junior yang sedang dilatih tampil di
muka umum. Mereka show di Princen Park, kawasan yang sekarang bernama Lokasari
Pecenongan. Juga pernah diajak nonton show-nya di Societet Harmony, sekarang
menjadi komplek Sekneg jalan Juanda. Diajak menyaksikan pentas beliau di Istana
Negara pada resepsi kenegaraan 17 Agustus 1957 adalah kenangan yang sulit
dilupakan. Pada saat itu beliau berkapasitas sebagai pimpinan korps musik
Angkatan Udara yang selalu mengisi acara musik pada event resepsi kenegaraan.
Lagu hasil gubahan beliau sebenarnya cukup banyak, namun
sebagian besar repertoir yang tersimpan di RRI Pusat Jakarta binasa, karena
dilanda musibah kebakaran pada tahun 1950-an. Maka, banyak gubahan beliau dalam
bentuk partitur note balok ikut musnah terbakar.
Beruntung, gitaris Jack Lesmana alias Jack Lamers sempat
meminjam beberapa partitur lagu-lagu gubahan beliau untuk direkam. Berkat Jack
Lesmana, sekitar 70 lagu sempat terselamatkan. Tapi, ratusan lagu lainnya
binasa. Na'asnya, justru partitur lagu-lagu lagendaris itulah yang ikut binasa.
Di antaranya lagu-lagu yang populer di Eropa seperti “Als d'Orchide Bluijen”
(Ketika Anggrek Berbunga) Lagu tersebut diciptakan di negeri Belanda ketika
beliau berjalan-jalan dengan pacar noni belandanya ke pasar lelang bunga. Dan
lagu “Waarom Huil Je tot Nona Manies”
(Mengapa Kau Menangis) diciptakan ketika harus berpisah dengan pacarnya.
Beliau harus pulang ke Indonesia karena telah menyelesaikan studi di
konservatori musik Roma Italia.
Masyarakat hanya mengenal sebagian lagu ciptaannya,
diantaranya “Tidurlah Intan” yang sempat menjadi closing song siaran bahasa
Indonesia radio Australia. “Hamba Menyanyi,” “Mutiaraku,” “Di Tepinya Sungai
Serayu dan “Kopral Jono.”
Lagu “Kopral Jono” digubah secara khusus untuk menyindir
keponakannya yang berpangkat kopral tapi sangat play boy. Sedangkan lagu
“Tidurlah Intan” diciptakan untuk meninabobokan buah hatinya.
Soetedja anak keempat dari sembilan bersaudara putra Asisten
Wedana Kebumen (kini Camat Baturaden) bernama R. Ibrahim Purwadibrata. Setelah
berumur satu tahun, beliau dijadikan anak angkat oleh kakak kandung ayahndanya
yang seorang pengusaha besar perkebunan di Purworejo Klampok Banjarnegara,
bernama R. Soemandar.
Soetedja kecil gemar memukul-mukul perangkat dapur
ibundanya. Bunyi-bunyian yang dihasilkan mungkin terdengar indah di kupingnya,
tapi tidak untuk ayahndanya, karena terdengar berisik. Walaupun begitu, beliau
sempat menangkap bakat musik Soetedja kecil.
Maka, sewaktu beliau berlayar ke negara-begara Eropa untuk
urusan dagang, beliau membelikan biola stadivarius paganini untuk putera
kinasihnya. Sejak itu Soetedja kecil tidak lagi menciptakan bunyi-bunyian
perkusi dari perangkat dapur milik ibundanya. Pada setiap ada kesempatan selalu
memainkan alat musik gesek hadiah ayahndanya. Di kemudian hari, Soetedja kecil
mendapat hadiah instrumen musik berikutnya, yaitu alat musik pencet bernama
piano.
Sewaktu mengenyam pendidikan AMS (SMA jaman Belanda) di
Bandung beliau in de kost di rumah seorang guru piano berkebangsaan Belanda.
Berkat guru piano Belandanya itulah beliau menguasai teknik permainan piano
secara sempurna.
Setelah menyelesaikan AMS-nya, R. Soemandar ayah angkat
beliau memberi dua pilihan studi di Eropa, yaitu hukum dan kedokteran. Tapi
beliau memilih jurusan musik daripada kedokteran dan hukum. Betapa kecewanya
sang ayah karena beliau lebih memilih studi musik. Karena keinginan ayahndanya
diabaiakan, maka beliau berpura-pura menggertak mengusirnya. Soetedja
benar-benar minggat. Beliau ngeger pada keluarga Sultan Hamid di Kutai Borneo
atau kini Kalimantan.
Minggatnya Soetedja muda ke Kalimantan membuat ayahndanya
ringkih karena keyungyun kepergian anak kinasihnya. Ayahndanya sebenarnya hanya
menggertak sambal belaka. Tapi oleh Soetedja diartikan serius.
Setelah berjalan beberapa tahun merantau di Borneo, Soetedja
muda dipanggil pulang ke Purworejo Klampok. Dan diijinkan bersekolah di
konservatori musik Roma Itali. Sebelum berangkat ke manacanegara, ayahndanya
mengajak anak kinasihnya menyusuri daerah sepanjang aliran sungai Serayu dari
Klampok sampai Gambarsari. Untuk memamerkan perkebunan serehnya di daerah
Kanding dan Kemawi yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Somagede.
Pada saat menyusuri aliran Sungai Serayu itulah, beliau
mendapat inspirasi menciptakan lagu legendaris “Di Tepinya Sungai Serayu.”
Soetedja dikenal sebagai pendiri Orkes Studio Jakarta, yang
merupakan orkes simphony pertama di Indonesia. Tapi sayang, Orkes Studio
Jakarta ditinggalkan, karena diangkat sebagai Direktur Korps Musik Angkatan
Udara. Sedangkan untuk mengisi acara-acara di RRI beliau menggunakan Orkes
Melati yang melantunkan irama musik barat yang dikeroncongkan.
Soekarno Agung, Bupati Banyumas pada saat itu merubah nama
bekas gedung bioskop Indra menjadi gedung kesenian Soetedja. Sebagai bentuk
penghargaan kepada Soetedja yang telah mengharumkan nama Banyumas. Dan
sekaligus sebagai balas jasa pada para seniman muda Banyumas di bidang musik.
Karena mereka telah berjasa besar menghimpun banyak dana lewat berbagai acara
show musik untuk mendampingi para artis ibukota di gedung Isola. Penjualan
harga tanda masuknya dipergunakan untuk membangun obyek wisata Baturraden. Maka
pada tanggal 14 Maret 1970, resmilah nama Soetedja diabadikan menjadi nama
gedung kesenian kebanggan masyarakat Banyumas yang terletak di samping Pasar
Manis Purwokerto itu.
Komponis legendaris putra Banyumas itu wafat pada usia yang
ke 51 tahun pada tanggal 12 April 1960. Setelah beberapa bulan sebelumnya
memimpin rombongan misi kesenian Indonesia ke India. Beliau meninggalkan
seorang istri dan sembilan putra. Jasad beliau sekarang terbaring damai di
pemakaman Karet Jakarta. Untuk mengingatkan bahwa beliau pernah memimpin misi
kesenian Indonesia ke India, maka putra bungsunya yang lahir pada saat beliau
berada di India diberi nama Krisno Indiarto.
Untuk mengenang jasa beliau yang telah mengharumkan Banyumas
Raya, sampai tahun 1992 RRI Purwokerto selalu memperingati hari kelahiran
beliau. Dengan cara memperdengarkan lagu-lagu ciptaan beliau di radio pada
setiap tanggal 15 Oktober.
Kalau masih berada di tengah-tengah kita, beliau akan
mencapai usia 104 tahun pada tanggal 15 Oktokber 2013. Semoga keharuman nama
Soetedja menjadi inspirasi kebangkitan seniman Jawa Tengah pada umumnya dan
Banyumas Raya pada khususnya.
(Diceritakan oleh Bapak Sugeng Wijono pada Hari Widiyanto)