Rabu, 29 April 2015

Mesjid Nur Sulaiman

Critane Eyang Ratmini Soedjatmoko-Gandasubrata

Neng sebelah kulon alun-alun Banyumas, ana mesjid tua. Masjid Besar Nur Sulaiman. Miturut crita, mesjid mau degawe bareng karo umahe Bupati Banyumas sing kaping pitu, Yudanegara II, watarane taun 1725-1743. Dadi uga bareng karo Pendhapa Si Panji. Sing mandhegani gawe mesjid mau kuwe Demang Gumelem Daiman. Juru dakwah sing ngawali yakuwe Nur Sulaiman, mula banjur denggo nggo aran mesjide.
Nalikane Blabur Banyumas (1861) kaya dene payone Pendhapa Si Panji, payone mesjid uga denggo ngungsi. Agi nembe deplester, banjur taun 1929 deganti nganggo tegel kembangan sing apik. Neng kana uga ana "mihrab" sing biasane nggo bupati.
Liyane kuwe uga ana bedhug sing ukirane apik kumplit karo rangkane. Neng bedhug mau ana ukiran taun gawene, sing nudhuhna taun 1312 H.
Masjid Nur Sulaiman deapiki taun 1998. Tegel warna-warni, mihrab, mimbar, karo bedhuge tetep deuri-uri, ora deganti.
 

Selasa, 28 April 2015

Nasib Benda Diduga Cagar Budaya yang Ada di Kabupaten Banyumas



Ironis. Kata ini mungkin yang cocok untuk menggambarkan kondisi beberapa benda cagar budaya maupun yang diduga benda cagar budaya, yang ada di Kabupaten Banyumas. Pasalnya, beberapa cagar budaya sudah diubah bentuknya sehingga menghilangkan nilai budaya dan nilai sejarahnya.
Hal ini dikarenakan minimnya perhatian pemkab terhadap keberadaan cagar budaya, hingga benda yang diduga cagar budaya seperti alun-alun kini berubah bentuk. Tidak hanya itu, Pabrik Gula (PG) Kalibagor yang diduga benda cagar budaya pun kini menjadi milik swasta dan akan berubah bentuk.
Salah satu pengamat Sunardi mengatakan, minimnya perhatian pemkab terhadap benda cagar budaya hampir terjadi di semua periode kepemimpinan bupati. Dikatakan, pemerintahan sebelumnya justru mengubah sejumlah benda yang diduga cagar budaya seperti alun-alun, sehingga menghilangkan filosofi dari alun-alun tersebut.
Menurutnya, pemerintah seharusnya dapat mempertimbangkan seluruh rekomendasi yang ada, seperti dari Balai Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah, khususnya untuk benda-benda atau tempat yang diduga cagar budaya.
"Rekomendasi tersebut harusnya bisa dilaksanakan, tetapi bukan malah diubah bentuknya sehingga merusak nilai-nilai historisnya," katanya. Hal itu bisa berdampak pada cagar budaya di Kabupaten Banyumas secara keseluruhan.
Dengan adanya tindakan tidak mengindahkan rekomendasi dari provinsi maupun pusat, tuturnya, bisa berdampak kurangnya kepercayaan pemerintah provinsi dan pusat, sehingga nantinya cagar budaya akan semakin tidak diperhatikan.
Harusnya pemkab bisa menyusun kebijakan untuk mempertahankan benda-benda cagar budaya yang ada di Banyumas, karena kebudayaan Banyumas dinilai memiliki ciri khas. "Tapi Raperda tersebut justru datangnya dari legislatif. Padahal eksekutif sejauh ini belum maksimal dalam melakukan pemeliharaan terhadap benda-benda cagar budaya," jelasnya.
Ya, baru tahun ini Kabupaten Banyumas bakal memiliki Perda tentang cagar budaya. Sebab, baru tahun ini DPRD Kabupaten Banyumas berinisiatif untuk mengajukan raperda tentang cagar budaya. Sementara tahun-tahun sebelumnya, tak ada "upaya" apapun untuk melindungi cagar budaya yang ada. Akibatnya, banyak benda yang diduga cagar budaya "hilang".
Berdasarkan data tahun 2010 terkait daftar registrasi benda cagar budaya tak bergerak di wilayah Banyumas, setidaknya ada sekitar 59 benda cagar budaya yang masih harus dikaji. Untuk melakukan penelitian dan penetapan benda cagar budaya, pemkab masih menunggu perda yang masih dibahas.
Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Banyumas Muntorichin mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum bisa melangkah terutama untuk melakukan kajian dan penelitian terhadap sejumlah objek yang diduga merupakan benda cagar budaya. Pasalnya, hingga kini pihaknya belum memiliki dasar hukum untuk melakukan penelitian.
Dijelaskan, pihaknya belum bisa melakukan penelitian langsung terhadap dugaan cagar budaya karena membutuhkan tim ahli yang terdiri dari berbagai kalangan. Seperti arkeolog, budayawan, museologi, sejarawan, hingga beberapa ahli lainnya.
"Untuk pembentukan tim kita juga masih menunggu perda tentang cagar budaya selesai. Lagipula, PP terkait hal itu hingga kini belum turun," jelasnya.
Lebih lanjut, pendaftaran dan penetapan benda cagar budaya akan berkaitan dengan pemeliharaan benda-benda cagar budaya yang menjadi tanggung jawab pemerintah. "Jika sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, pemerintah nantinya akan mengalokasikan anggaran untuk pemeliharaannya," imbuh Muntorichin.
Kasi Tradisi Sejarah Purbakala Dinporabudpar Banyumas Carlan SSn mengatakan, berdasarkan data, hingga kini ada sekitar 59 benda cagar budaya dan 11 di antaranya merupakan milik pribadi. "Selama ini baru Semarang dan Solo yang sudah mempunyai perda tentang cagar budaya. Selanjutnya kita upayakan untuk Kabupaten Banyumas dan dikuatkan oleh peraturan dari Gubernur," ujarnya.
Dari data yang diperoleh dari Dinporabudpar, dia merinci, sebanyak tujuh cagar budaya merupakan peninggalan prasejarah, 41 peninggalan kolonial, delapan peninggalan Islam, dan tiga peninggalan klasik. "Data tersebut untuk tahun ini bisa saja bertambah atau berkurang, tergantung nanti dari tim yang kita bentuk. Kita mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya," katanya.
Dari benda cagar budaya yang ada di Kabupaten Banyumas, hingga kini baru ada satu yang sudah tercatat secara nasional, yakni Masjid Nur Sulaiman yang ada di alun-alun Kota Lama Banyumas.
Dari data yang ada, sejumlah benda cagar budaya yang ada di Banyumas masih didominasi oleh gedung (25 buah). Selain itu, sekitar 11 rumah tinggal juga terdaftar sebagai benda cagar budaya. Selain itu, sejumlah bangunan lain seperti Masjid (4), gereja (1), kelenteng (4), stasiun (2), pendopo (1), pabrik (1) dan rumah adat (1) juga menjadi beberapa benda cagar budaya peninggalan masa kolonial. Beberapa juga ada peninggalan prasejarah dan Islam seperti situs (8), candi (1), makam (1), hingga petilasan (1). (bay/sus)
Radar Banyumas , Senin Legi 27 April 2015
 Eks Pabrik Gula Kalibagor
Alun-aln PUrwokerto sebeleum direnovasi






Minggu, 19 April 2015

Belasan Menara Seluler Disinyalir Belum Berizin



Perhatikan Aspek Sosial
PEMKAB diminta menindak tegas pengusaha yang melanggar izin pendirian menara telekomunikasi. Hal itu untuk memberikan efek jera, agar perbuatan serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
"Jika memang belum ada izinnya pemkab harus menindak tegas, kalau memang harus dibongkar ya bongkar saja. Jangan dibiarkan berlarut-larut nanti, nanti akan terulang kembali (pelanggaran yang sama)," kata Pengamat Tata Kota, Sunardi.
Menurutnya dalam rencana pembangunan menara telekomonikasi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah aspek sosial. Dalam hal ini persetujuan dari masyarakat di sekitar rencana pendirian menara telekomunkasi mutlak dikantongi pengusaha.
"Yang terpenting dan harus diperhatikan adalah aspek sosialnya, kalau masalah teknis itu gampang. Perang Diponegoro terjadi karena pemerintah kolonial membuat jalan dengan menerobos makam leluhurnya, tanpa izin terlebih dahulu," ujar dia.
Dia mengatakan persetujuan dari warga merupakan salah satu syarat untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Tanpa adanya surat persetujuan tersebut, pemkab tidak akan mengeluarkan IMB.
Sementara itu, terkait pola yang kerap dilakukan pengusaha dengan melakukan pembangunan sebelum izin keluar, menurutnya hal itu disebabkan keteledoran dari pemkab. Semestinya, kata dia, pemkab dapat mencegah hal itu terjadi.
"Kalau seperti itu pemkab kecolongan. Kalau ada indikasi akan dilakukan pembangunan (sebelum perizinan turun) seharusnya dapat dicegah sedini mungkin. Sebelum melakukan pembangunan harus dipastikan izinnya sudah ada atau belum," kata dia.
Dia menduga, praktik-praktik semacam itu masih terjadi karena warisan pola perizinan zaman dahulu dengan mempersulit proses perizinan. "Pengusaha tidak bisa menunggu lama-lama, karena waktu adalah uang. Seharusnya pemerintah sekarang tidak begitu," ujar dia. (Fadlan M Zain)

Suara Banyumas, Kamis 16 April 2015

Jumat, 17 April 2015

Cermin Banyumas itu Bernama Kudhi

Oleh: Ryan Rachman
 
MASYARAKAT Banyumas merupakan masyarakat agraris yang akrab dengan alam.Dalam kesehariannya, mereka tidak lepas dari peralatan (pegama/ gaman) untuk memudahkan beraktivitas.
Kudi me­rupakan salah satu gaman yang sering dipergunakan ma­sya­rakat setempat.
Peralatan itu digunakan untuk membelah atau memotong benda keras seperti kayu atau bambu, sama fungsinya seperti parang atau bendho. Kudi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai kujang dari Jawa Barat namun lebih panjang dan besar.
Bagian pangkalnya meng­gem­bung, bagian atasnya me­lengkung agak kotak dan di pucuknya membentuk seperti paruh burung berbentuk lancip. Di sisi belakang dekat punggung terdapat lubang. Namun pada perkembangannya, lubang itu kini jarang ditemukan.
Bentuk yang unik itu di­se­suaikan dengan fungsinya. Bagian gemuk berfungsi untuk memotong dan membelah kayu atau batang bambu. Fungsi lekukan itu untuk ngoyoti atau menghaluskan kayu atau bambu yang dibelah tadi.
Ujungnya yang lancip digunakan untuk mencukil atau membuat lubang.
Bagian pucuk untuk memukul benda-benda yang sifatnya agak keras seperti tempurung kelapa. Sedangkan bagian punggung untuk me­mukul benda yang lebih keras seperti untuk memukul paku. Lu­bang di kudi pun memiliki fung­si sebagai pengungkit.
Sebagai sebuah peralatan, kudi memiliki bermacam fungsi yang tidak dimiliki oleh alat lain, seperti sabit, pisau, atau parang. Dan ini merupakan cerminan sifat dari masyarakat Banyumas yang simpel. Dalam artian, masyarakat Banyumas sangat fleksibel dalam mengerjakan sesuatu.
“Kudi diperkirakan sudah ada sejak abad ke-7. Ini terlihat dari pahatan yang terdapat di daerah Gunung Segara, Bantarkawung, Kabupaten Brebes,” kata Su­geng Priyadi, sejarawan Banyu­mas.
Kesamaan bentuk antara kudi dan kujang bukan menjadi suatu keanehan. Pakar asal Perancis untuk Asia Timur dan Tenggara, Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya me­ngatakan, Banyumas merupakan serambi budaya Jawa dan Sunda. “Jadi kudi yang dikenal seka­rang merupakan persila­ngan antara budaya Sunda dan Jawa,” imbuhnya.
Kudi memiliki pasangan ber­nama lading. Lading biasa­nya digunakan untuk mencungkil daging kelapa dari batoknya. Dalam budaya ba­nyumasan, lanjut Sugeng, kedua alat itu di­lambangkan sebagai sosok laki-laki dan perempuan.
Tidak banyak daerah yang memproduksi kudi secara massal. Yang paling banyak ada di Kecamatan Susukan,  Kabu­paten Banjarnegara dan Keca­matan Kedungbanteng dan Sokaraja, Kabupaten Banyu­mas.
Proses pembuatan kudi tidak berbeda dengan pembuatan senjata tajam lain, seperti arit, ben­dho, lading atau pisau.
Namun kudi sedikit lebih rumit karena bentuknya yang berlekuk. “Bahan untuk membuat bia­sanya menggunakan lempengan besi baja bekas per ken­da­­raan roda empat,” kata Muha­mmad Sidik, pembuat kudi dari Desa Pasir Wetan, Kecamatan Ke­dungbanteng, Banyumas.
Dalam satu hari, Sidik mam­pu menghasilkan 20 buah. Bia­sanya kudi itu dipesan oleh pedagang dan dijual lagi di pasar.

Kesenian
Kudi lekat dengan kesenian tradisional ketoprak banyumasan dan wayang dalang jemblung.
Dalam wayang dalang jemblung, kudi menjadi satu-satunya benda tajam yang dipakai sebagai anak wayang. Kudi memiliki peran mewakili seluruh senjata yang dipakai oleh para tokoh dalam cerita wayang itu.
“Ini melambangkan bahwa kudi memiliki kegunaan yang bermacam-macam. Istilahnya, kudi merupakan alat yang paling mumpuni dibanding dengan alat sejenis,” kata Suparjo, dalang jemblung asal Desa Karang­petir, Kecamatan Tambak, Ka­bupaten Banyumas.
Meskipun milik wong tlatah Banyumas, kudi diadopsi oleh pemerintah Kabupaten Banyu­mas sebagai ikon melalui pembuatan tugu kudi di perbatasan kabupaten itu.
Ada tiga lokasi dibangunnya tugu tersebut yaitu di Desa Buniayu Kecamatan Tambak yang berbatasan dengan Kabu­paten Kebumen, Desa Karang Kemiri Kecamatan Pekuncen yang berbatasan dengan Kabu­paten Brebes dan Desa Kedung­gede Kecamatan Lum­bir, berbatasan dengan Kabu­paten Cilacap.
Secara arsitektur, tugu itu berbentuk kudi dalam citra kubus yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu gaman (kudi), karah (cincin antara gaman de­ngan gangang) dan garan (ga­gang kudi).
Di bagian gaman bagian atas kecil, bagian tengah berupa lekukan dan bagian bawah besar dengan lambang Kabupaten Banyumas di tengahnya.
“Tugu selamat datang itu secara siluet merupakan metamorfosis dari kudi. Bagian bawah antara bagian atas dan bawah terdapat pemisah seperti cincin pada kudi,” kata Ir. Su­nardi, MT. arsitek Banyu­mas, yang juga menjadi Ketua Tim Penlai Lomba Desain Tugu Selamat Datang Kabupaten Banyumas.
Pengenalan kudi se­bagai satu warisan buda­ya nenek moyang kepada generasi muda mutlak dilakukan se­bagai bentuk nguri-uri. (71) 
Harian Suara Banymas, 29 Mei 2011

Kamis, 16 April 2015

Kudhi Gamane Wong Banyumas



Inyong egin kelingan. Jaman gemiyen, dhong inyong egin dadi bocah detukokna dolanan kudhi cilik. Kudhi cilik dudu kudhi-kudhian. Kudhi cilik kuwe ya pancen kudhi sing degawe sekang wesi, angger deasah ya kena nggo nyacag, tapi angger kudhi-kudhian kuwe barang dudu kudhi tapi wujude memper kudhi, bisa degawe sekang kayu, kaya kudhine Bawor neng wayang wong.
Kanggone wong desa, kudhi kuwe dudu barang aneh, wong neng dsa ya egin gampang nemoni wong nganggo utawa duwe kudhi. Beda karo neng kota apa maning neng daerah seliyane tlatah Banyumas, nggolet wong sing ngerti apa kuwe kudhi kayonge wis angel pisan nemune, mesthine kejabane neng pasar.
Akeh wong sing ngarani kudhi kuwe senjatane wong Banyumas. Sejatine kudhi kuwe dudu sejatane wong Banyumas, tapi salah sijin pedhama utawa alat kerjane wong Banyumas. Dene senjatane wong Banyumas kuna kuwe arupa penthungan, sing bisa degawe sekang penjalin, ruyung utawa galih asem, sing jaman siki penthungan kuwe degawe sekang karet, dadi pentungane pulisi utawa satpam. Dadi senjatane wong Banyumas kuwe ora mateni, mung nglumpuhaken, merga sing biasa depenthung (biasane maling) kuwe dudu sirahe ningen gares sikile.
Angger dedeleng sekang sejarah, kit jaman kuna makuna kudhi wis denggo nggo ala kerja neng masyarakat Jawa kit Jawa kulon gutul ngetan neng Jawa wetan, kanti sebutan sing beda-beda ningen wujude meh padha ya kuwe mblendhuk neng tengah, kaya wong wadon lagi meteng tuwa kae. Nganti seprene wong Banyumas egin nganggo kudhi nggo pedhama, senajan neng tlatah sejen wis langka sing nganggo kudhi kuwe.
Inyong egin kelingan, gemiyen dhong egin dadi nom-noman saben dina Ahad Pon inyong duwe tugas kon ngetutna paman Wiryani, ngrewangi met klapa neng kebon karo neng sawah. Inyong tugase ora kon menenk wit klapa, mung kon nuturi karo ngumpulna klapa-klapa sing depet neng man Wiryani. Man Wiryani kuwe tukang ngrumat wit klapa sing wis kondhang neng desa inyong (Pabuwaran). Gole ngreseki ya bersih, pinter milih klapa sing tuwa. Dene pedhamane man Wiryani kejaba andha, ya mung kudhi, ningen kudhine man Wiryani kuwe beda karo kudhine wong-wong liyane. Kepara lewih cilik, landhep merga saking awete lan sering deasah neng wungkal, dadi angger nggo menclas apa-apa kayong gampang pisan.
Kudhi sing kumplit, wujude ana 4 (patang) perangan yakuwe: gaman, garan, karah, karo kethoprak.
1.  Gaman, degawe saka wesi sing delapisi utawa desepuh waja ben angger deasah dadi landhep.  Bagian gigir utawa mburine lewih kandel ketimbang bagian ngarepe. Bbagian mburi kepara lewih lempeng ketimbang bagian ngarepe, sing ana blendhukan utawa lengkung karo lancip bagian pucuke, Bagian sing mblendhuk biansa nggo nyacag utawa nugel barang-barang sing kepara atos lan gedhe. Bagian sing lebkun neng ndhuwur blendhukan biasane nggo ngoyoti utawa ngirat barang-barang sing lemes (tali) dene bagian pucuk sing kepara madan lancip biasane nggo gaweni lubang utawa bolongan. Bagian mburi utawa gigire sing kepara lewih kandel kuwe biasa nggo nggethik utawa nuthuk barang sing atos ben pecah. Bagian gigi krpara nduwur cokan ana bolongan cilik sing ukurane beda-beda ngemu maksud kena nggo njongket (ngungkit) endhas paku. Bagian sekang gaman sing cilik lancip neng bagian ngisor jenenge paksi biasa nggo sambungan karo garane.
2.    Garan, degawe sekang kayu sing madan atos, degilig madan dawa maksude nggo cekelan. Ben ora lunyu cekelane biasane garan degawe ora polos, ningen degawe rigik-rigik alus. Paksi gaman detancepna maring garan kanti kenceng, ora gampang oklek angger nggo nyacak utawa nggethik.
3.   Ben garane ora gampang pecah merga deiseni paksi gaman, neng pucuk garan dewei karah sekang pipa wesi.
4.  Kethoprak kuwe wadhah kudhi, sing cakerise ya warangkane.  Kethoprak degawe saka kayu kaya blabag sepasang (rong lebar) degowaki gowakane deadhepna terus degandheng dadi siji (depaku). Kethoprak dewei tali nggo njiretna kethoprak kuwe neng beyekan, Angger degawa mlaku obahing kudhi nabraki kayune dadi moni kethoprak-kethoprak.
Kanti ndeleng kahanan sing kesebut ndhuwur kuwe, jelas lamona kudhi kuwe dudu senjata utawa alat perang, ningen arupa pedhama utawa alat kerja tradisinonal Banyumas sing serba-guna, nggo nggarap pegawean apa baen, kasar alus utawane gawe bolongan ya teyeng.

 


 Harian Banyumas, Kamis Kliwon, 16 April 2015

Rabu, 15 April 2015

Underpass Jensoed Lewat Jalur Selatan Selesai 2018

PURWOKERTO – Bupati Banyumas Ir Achmad Husein mengundang beberapa pihak untuk “urun rembug” (berdiskusi) rencana pembangunan underpass jalan Jenderal Soedirman, belum lama ini, di Sasana Wilis Rumah Dinas Bupati.
Pihak-pihak yang diundang antara lain Perwakilan akademisi dari Fakultas Teknik Universitas Jenderal Sudirman, Universitas Wijaya Kusuma, dan Universitas Muhammadiyah Purwokerto, serta tokoh Masyarakat Ir. Sunardi, MT dan Suyatman. Turut hadir pada kesempatan ini, Asekbang dan Kesra, Staf Ahli Bupati Bidang Pembangunan, Dinas SDA&BM, Dishubkominfo, Bappeda, DCKKTR, BLH, Dinsosnakertran, Dinperindagkop, DPPKAD, Bagian Hukum, Bagian Perekonomian, Bagian Pembangunan, Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Banyumas, Camat Purwokerto Barat, Lurah bantarsoka dan Lurah Pasirmuncang.
Bupati memaparkan pembangunan perlintasan tidak sebidang antara rel Kereta Api dengan Jalan Jenderal Sudirman Purwokerto sudah diidamkan sejak lama oleh masyarakat Purwokerto mengingat sudah sekian lama kondisi kemacetan panjang kendaraan yang terjadi ketika penutupan pintu perlintasan Kereta api dilakukan, apalagi dengan intensitas perjalanan Kereta Api yang tiap tahun bertambah volumenya, sehingga sangat menghambat kelancaran lalu-lintas dan kegiatan perekonomian sekitar perlintasan.
“Untuk itu saya sudah berdiskusi dan melakukan pembahasan tentang pembangunan Underpass cukup intensif dilakukan dengan Pemerintah Pusat maupun Propinsi Jawa Tengah mudah-mudahan segera dilaksanakan,” katanya.
Bupati mengatakan, pada tahun 2013 telah selesai dilaksanakan penyusunan DED Underpass oleh Dishubkominfo Propinsi Jawa Tengah dengan lokasi memakai jalur eksisting (jalur lurus mengikuti jalan Jenderal Sudirman). Namun demikian pada tahun 2014 setelah dikaji kembali DED tersebut memiliki beberapa kelemahan.
“Kelandaian maksimal jalan yang direncanakan hanya bisa mencapai 7%, sehingga menyulitkan kendaraan non motor untuk melewatinya, mematikan kegiatan ekonomi sekitar underpass, karena adanya perbedaan tinggi yang cukup besar antara jalan dengan tempat usaha, banyak terjadi konflik arus lalu-lintas antara jalan Jenderal Sudirman dengan Jalan Lokal, arus lalu lintas jalan Stasiun hanya bisa dibuat satu arah, lahan yang dibebaskan lebih mahal, karena jenis lahan yang dibebaskan adalah pertokoan dan permukiman dengan status hak milik dan pada saat pelaksanaan pembangunan underpass, Jalan jenderal Sudirman harus ditutup total,” jelas Bupati.
Untuk itu Bupati memerintahkan kepada Dinas SDA&BM untuk membuat usulan alternatif jalur baru disebelah Selatan Jalan Jenderal Sudirman. “Alternatif baru tersebut belok ke arah selatan kurang lebih 200 meter.
Jalur ini mempunyai kelebihan, antara lain kelandaian maksimal jalan bisa dikurangi menjadi sekitar 4 %, sehingga kendaraan non motor mudah melewati, kegiatan perekonomian disekitar perlintasan masih bisa berjalan seperti biasa, karena tidak ada perbedaan tinggi anatar tempat usaha dengan jalan, konflik lalu-lintas antara underpass dengan jalan lokal bisa diminimalisir, arus lalu-lintas Jalan Stasiun bisa dibuat 2 arah, lahan yang dibebaskan lebih murah karena berupa persawahan, dan selebihnya milik PT. KAI dan pada saat pelaksanaan pembangunan Underpass Jalan Jenderal Sudirman tidak perlu ditutup total” terang Bupati.
Namun demikian jalur ke Selatan mempunyai kelemahan dari segi waktu, karena memerlukan waktu lebih lama.
Ada beberapa saran dari peserta rapat, antara lain dari Ir. Sunardi, MT menyarankan agar faktor waktu jangan menjadi kendala untuk membangun dengah hasil terbaik, karena sejatinya lebih lama menggunakan bangunan Underpass dibanding pelaksanaan pembangunaannya, untuk itu dibutuhkan perencanaan yang tepat dan benar dari segi manfaat dan sesuai peraturan yang ada.
“Saya lebih setuju dengan jalur Selatan dan agar segera dimasukan ke RDTRK” kata Sunardi.
Tokoh masyarakat yang lain Suyatman mengingatkan agar kondisi Underpass di Kebocoran menjadi pelajaran bagi perencanaan underpass selanjutnya. Untuk itu faktor-faktor seperti dimensi dan ukuran serta kelengkapan jalan harus dipenuhi dengan maksimal. “Contoh misalnya jumlah lajur dibuat 4 lajur dengan lebar yang cukup, juga kelengkapan seperti trotoar dan kalau perlu dibuat taman agar asri dan tidak pengap kesannya ketika memasuki underpass” kata Suyatman.
Hal senada disampaikan oleh perwakilan akademisi dari Fakultas Teknik Perguruan Tinggi di Purwokerto, Nastain Unsoed, Chrisna Unwiku dan Juanita UMP yang menyoroti pertimbangan dari segi teknis seperti pertimbangan hidrologi, posisi ketinggian banjir maksimal sungai Banjaran dengan Underpass juga dengan air permukaan supaya memperhatikan kenyamanan, keselamatan lalu-lintas seperti meminimalkan titik konflik.
Selain itu, mempertanyakan apakah rencana Underpass sudah masuk dalam RDTRK belum. Tapi pada prinsipnya semua menyepakati Underpass dengan jalur Selatan.
Berdasarkan dari hasil sumbang saran diatas maka Bupati Banyumas memutuskan untuk segera membuat Dokumen Feasibilty Studi pada tahun ini, dan Dokumen DED pada tahun 2016 dengan lokasi Underpass di Sebelah Selatan Jalan \Jenderal Sudirman.
“Dinas SDA & BMH harus segara membuat dokumen Studi Kelayakan (2015), membuat dokumen DED (2016), pembebasan lahan (2017), baru pada tahun 2018 pelaksanaan konstruksi” perintah Bupati kepada Kepala SDA & BM Ir Irawadi CES
Irawadi meminta agar peserta rapat yang diundang nantinya bisa menjadi Tim Teknis Penyusunan Dokumen FS maupun Dokumen DED. “Karena sudah mengawali dengan duduk bersama diharapkan usulan-usulan yang ada bisa ditampung dalam dokumen-dokumen yang akan disusun, sehingga menghasilkan dokumen perencanaan yang terbaik” kata Irawadi. Parsito : Pemberitaan dan Dokumentasi


Selasa, 14 April 2015

Beberapa Cagar Budaya "Hilang"

Pemkab Dinilai Kurang Tanggap Cagar Budaya

PURWOKERTO-Belum adanya aturan yang menaungi cagar budaya di Banyumas, sehingga menyebabkan beberapa benda cagar budaya "hilang". Selain belum adanya aturan sebagai payung hukum, juga karena pemkab dinilai kurang tanggap terhadap bangunan maupun kawasan yang dianggap sebagai cagar budaya.
Budayawan Ir. Sunardi, MT. mengatakan, beberapa cagar budaya sudah berubah bentuk meskipun fungsinya sama. Namun yang menjadi persoalan, seharusnya bentuk benda maupun kawasan tersebut jika menjadi cagar budaya tidak berubah. Dia mencontohkan beberapa benda maupun kawasan cagar budaya di Banyumas berubah bentuk yakni alun-alun Purwokerto, rumah sakit geriyatri yang dulunya rumah sakit zending, kawasan stasiun timur yang kini menjadi pertokoan, vila kranji zaman belanda kini menjadi Buntos Chicken dan beberapa kawasan lagi. "Komplek kabupaten lama juga didalamnya dibangun sumur, jelas itu merusak filosofi cagar budaya," jelasnya.
Dengan adanya perda cagar budaya, Sunardi yang akrab disapa Eyang Nardi bersyukur. Dia berharap pemkab bisa lebih memelihara cagar budaya yang ada di Banyumas. Terkait PG Kalibagor dia berharap tidak terjadi. Memang, diakui dia provinsi belum melakukan sosialisasi. Namun, seharusnya pemkab lebih aktif dengan mengintarisir benda maupun kawasan yang diduga cagar budaya.
Belum adanya perbup tentang cagar budaya, memang pemkab belum bisa membentuk tim cagar budaya. Namun, bukan berarti pemkab tidak bisa berbuat apa-apa. Pemkab bisa mengiventarisir benda maupun kawasan yang diduga cagar budaya. Sehingga, jika sudah ada tim bisa melakukan proses selanjutnya. "Jadi tidak harus menunggu, iniasitif tersebut juga penting," ujarnya.
Selain pemkab, masyarakat juga diminta untuk aktif dalam melestarikan cagar budaya. Misal jika mempunyai keris yang memenuhi persyaratan cagar budaya bisa melapor. "Nanti kepemilikan memang masih milik pribadi, namun pemkab mempunyai data cagar budaya yang dimiliki oleh pemkab," jelasnya.(ida)


Kamis, 09 April 2015

BALE TIKELAN



Jaman gemiyen daleme eyang inyong kuwe ana balene. Bale tikelan maning marahi dadi daleme keton gedhe pisan. Kayong keton madan merbawani, tapi ora medeni. Meh saben bengi ana dhayoh, lan dhayohe kuwe seringe ya ora mung siji tapi malah kaya rombongan. Mbuh apa sing padha decrita utawa derembug inyong bocah ora ngerti. Mung sengertine inyong wong-wong padha ngomong jere eyang inyong kuwe dadi lid.
Ora kalah karo wong tuwa, inyong karo putu-putu liya utawa karo kanca batir ya seneng dolanan neng kono. Angger sore, lewih-lewih angger udan sore, inyong sekanca-batir pada dolanan neng balene eyang. Bocah lanang wadon padha dolanan bareng. Seringe dolanan gobag padon, rame pisan awake nganti padha kringeten. Bocah siji manggoni saka siji, gentenan balapan nggoleti saka sing urung dadi panggonan bocah liyane.
Bale tikelan pancen pas nggo dolanan gobag padon merga sakane pirang-pirang. Ana saka guru sing ana 4 gunggunge, saka rawa ana 12 karo biasane ya ana saka emper sing gunggunge ana 12. Dadi umah tikelan sing gedhe kuwe sakane kabeh ana 28 saka. Kadhang-kadhang jubin neng nggon saka-saka kuwe dhuwure ya beda-beda, Neng nggo saka guru paling dhuwur, lan nggon saka emper sing paling endhep, Ben sakane ora gampang depanga rayap, saben sikil saka depasang umpak watu.
Saka guru sing panggonane neng tengah-tengah wangunan, ukurane ya paling gedhe uga debandhingna karo saka-saka liyane, lan saka emper kuwe sing ukurane paling cilik. Saka guru sing ana 4 (papat) kuwe bagian ndhuwure degandhengna nganggo balok tumpangsari, sing detumpang siji karo sijne. Neng pucuke degawe gowakan ben padha cokot-cokotan antara balok siji karo sijine. Neng dhuwur balok tumpangsari depasang bolok pengeret nggo lungguhan balok andher, sing pucuk andher kuwe nggo papan balok molo. Inyong ora ngerti kenang apa pendapa bupati karo pendapa wakil bupati ora ana molone.
Balok tumpangsari sing mujur ngiwe-nengen biasane lewih dawa ketimbang balok tumpangsari sing mujur mengarep-mburi. Balok tumpang sari sing gunggunge bisa 12, 16 utawa 20, gemantung kahanan ekonomi sing duwe umah. Balok tumpangsari pancen degawe abot merga nggo bandhul saka ben leweih kekeh, ora gampang owah mingser, utawa dhoyong (stabilitas bangunan).
Dene saka rawa utawa saka emper siji karo sijine degandheng nganggo penglari yakuwe penglari saka rawa karo penglari saka emper, lan antarane penglari saka rawa karo penglari saka emper neng saben padon degandhengna karo kayu/balok dudur.  Ben sakane bisa ngadeg jejeg karo sambungane maring penglari kuwe dadi kekeh, kuat, saben saka desogi siku sing saben sakane ana rong siku. Mulane jaman gemiyen cokan ana capean utawa bedhekan “kaji kuro” sing maksude “saka siji sikune loro”.
Wangunan bale tikelan biasane payone kuwe arupa payon rangken utawa empyak (atap bidang) dudu payon usuk (atap kerangka), senajan rangken (empyak) kuwe ya degawe sekang usuk sing dedhempet-dhempet derangkai lan depleped nganggo reng lan dejiret nganggo duk. Mulane angger balungan (kerangka bangunan) wis ngadeg jejeg lan decagaki, rangkene terus deunggahna lan depapana. Dari ora usuk depasang cur seler depaku neng penglari. Bar kuwe tembe seng utrawa gendheng deunggahna lan depasang rapet ora borot nggo nutupi wangunan kuwe ben ora gampang bodhol utawa rusak.
Babagan pager, bale tikelan umume kuwe wangunan bukakan. Maksude biasane bagian ngarep kuwe bukakan alias ora nganggo pager, malah sering uga ora nganggo lawang. Dene sisih kiwe lan/utawa tengen biasane pager separo dhuwur sing sering desebuk “khek”. Kanti kaya kuwe njero bale tetep bias padhang lan angin sekang jaba teyeng mlebu-metu, mulane neng jero bale hawane tetep seger.
Kanti ndeleng kahanan sing kewaca neng ndhuwur kuwe mau wangunan bale tikelan ngemu perlambang lamona:
1.    bale tikelan kuwe arupa panggonan utawa wadhah kanggo musawarah utawa kena dearani ketemune pemimpin karo sing depimpin, ndhuwuran karo ngisoran utawa manunggaling kawula lan gusti utawa gusti lan kawula;
2.   balungan wangunan (saka, penglari, tumpangsari, andher karo molo) perlambang warga masarakat sing beda-beda tingkatan lan tanggungjawabe;
3.    penglari, tumpangsari, andher, karo molo perlambang penggawa/pamong sing kudu teyeng nggandhengaken warga siji karo sijine ben dadi sawijining kekuatan, lan molo lambang pimpinane;
4. empyak utawa rangken karo tutupe (seng, gendheng utawa liyane) nglambangna pamrentahan sing kudu bisa ngayomi kabeh wargane, klebu para penggawane, sing ora kena nganti borot, merga angger borot bisa marahi dadi ngrusak lan nyuda kekuataning masarakat.
 Masang balok tumpangsari

Joglo (Jogjakarta)