Oleh: Ryan Rachman
MASYARAKAT Banyumas
merupakan masyarakat agraris yang akrab dengan alam.Dalam kesehariannya,
mereka tidak lepas dari peralatan (pegama/ gaman) untuk memudahkan
beraktivitas.
Kudi merupakan salah satu gaman yang sering dipergunakan masyarakat setempat.
Peralatan itu digunakan untuk membelah atau memotong benda keras seperti kayu atau bambu, sama fungsinya seperti parang atau bendho. Kudi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai kujang dari Jawa Barat namun lebih panjang dan besar.
Bagian pangkalnya menggembung, bagian atasnya melengkung agak kotak dan di pucuknya membentuk seperti paruh burung berbentuk lancip. Di sisi belakang dekat punggung terdapat lubang. Namun pada perkembangannya, lubang itu kini jarang ditemukan.
Bentuk yang unik itu disesuaikan dengan fungsinya. Bagian gemuk berfungsi untuk memotong dan membelah kayu atau batang bambu. Fungsi lekukan itu untuk ngoyoti atau menghaluskan kayu atau bambu yang dibelah tadi.
Ujungnya yang lancip digunakan untuk mencukil atau membuat lubang.
Bagian pucuk untuk memukul benda-benda yang sifatnya agak keras seperti tempurung kelapa. Sedangkan bagian punggung untuk memukul benda yang lebih keras seperti untuk memukul paku. Lubang di kudi pun memiliki fungsi sebagai pengungkit.
Sebagai sebuah peralatan, kudi memiliki bermacam fungsi yang tidak dimiliki oleh alat lain, seperti sabit, pisau, atau parang. Dan ini merupakan cerminan sifat dari masyarakat Banyumas yang simpel. Dalam artian, masyarakat Banyumas sangat fleksibel dalam mengerjakan sesuatu.
“Kudi diperkirakan sudah ada sejak abad ke-7. Ini terlihat dari pahatan yang terdapat di daerah Gunung Segara, Bantarkawung, Kabupaten Brebes,” kata Sugeng Priyadi, sejarawan Banyumas.
Kesamaan bentuk antara kudi dan kujang bukan menjadi suatu keanehan. Pakar asal Perancis untuk Asia Timur dan Tenggara, Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya mengatakan, Banyumas merupakan serambi budaya Jawa dan Sunda. “Jadi kudi yang dikenal sekarang merupakan persilangan antara budaya Sunda dan Jawa,” imbuhnya.
Kudi memiliki pasangan bernama lading. Lading biasanya digunakan untuk mencungkil daging kelapa dari batoknya. Dalam budaya banyumasan, lanjut Sugeng, kedua alat itu dilambangkan sebagai sosok laki-laki dan perempuan.
Tidak banyak daerah yang memproduksi kudi secara massal. Yang paling banyak ada di Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara dan Kecamatan Kedungbanteng dan Sokaraja, Kabupaten Banyumas.
Proses pembuatan kudi tidak berbeda dengan pembuatan senjata tajam lain, seperti arit, bendho, lading atau pisau.
Namun kudi sedikit lebih rumit karena bentuknya yang berlekuk. “Bahan untuk membuat biasanya menggunakan lempengan besi baja bekas per kendaraan roda empat,” kata Muhammad Sidik, pembuat kudi dari Desa Pasir Wetan, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas.
Dalam satu hari, Sidik mampu menghasilkan 20 buah. Biasanya kudi itu dipesan oleh pedagang dan dijual lagi di pasar.
Kesenian
Kudi lekat dengan kesenian tradisional ketoprak banyumasan dan wayang dalang jemblung.
Dalam wayang dalang jemblung, kudi menjadi satu-satunya benda tajam yang dipakai sebagai anak wayang. Kudi memiliki peran mewakili seluruh senjata yang dipakai oleh para tokoh dalam cerita wayang itu.
“Ini melambangkan bahwa kudi memiliki kegunaan yang bermacam-macam. Istilahnya, kudi merupakan alat yang paling mumpuni dibanding dengan alat sejenis,” kata Suparjo, dalang jemblung asal Desa Karangpetir, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas.
Meskipun milik wong tlatah Banyumas, kudi diadopsi oleh pemerintah Kabupaten Banyumas sebagai ikon melalui pembuatan tugu kudi di perbatasan kabupaten itu.
Ada tiga lokasi dibangunnya tugu tersebut yaitu di Desa Buniayu Kecamatan Tambak yang berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, Desa Karang Kemiri Kecamatan Pekuncen yang berbatasan dengan Kabupaten Brebes dan Desa Kedunggede Kecamatan Lumbir, berbatasan dengan Kabupaten Cilacap.
Secara arsitektur, tugu itu berbentuk kudi dalam citra kubus yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu gaman (kudi), karah (cincin antara gaman dengan gangang) dan garan (gagang kudi).
Di bagian gaman bagian atas kecil, bagian tengah berupa lekukan dan bagian bawah besar dengan lambang Kabupaten Banyumas di tengahnya.
“Tugu selamat datang itu secara siluet merupakan metamorfosis dari kudi. Bagian bawah antara bagian atas dan bawah terdapat pemisah seperti cincin pada kudi,” kata Ir. Sunardi, MT. arsitek Banyumas, yang juga menjadi Ketua Tim Penlai Lomba Desain Tugu Selamat Datang Kabupaten Banyumas.
Pengenalan kudi sebagai satu warisan budaya nenek moyang kepada generasi muda mutlak dilakukan sebagai bentuk nguri-uri. (71)
Kudi merupakan salah satu gaman yang sering dipergunakan masyarakat setempat.
Peralatan itu digunakan untuk membelah atau memotong benda keras seperti kayu atau bambu, sama fungsinya seperti parang atau bendho. Kudi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai kujang dari Jawa Barat namun lebih panjang dan besar.
Bagian pangkalnya menggembung, bagian atasnya melengkung agak kotak dan di pucuknya membentuk seperti paruh burung berbentuk lancip. Di sisi belakang dekat punggung terdapat lubang. Namun pada perkembangannya, lubang itu kini jarang ditemukan.
Bentuk yang unik itu disesuaikan dengan fungsinya. Bagian gemuk berfungsi untuk memotong dan membelah kayu atau batang bambu. Fungsi lekukan itu untuk ngoyoti atau menghaluskan kayu atau bambu yang dibelah tadi.
Ujungnya yang lancip digunakan untuk mencukil atau membuat lubang.
Bagian pucuk untuk memukul benda-benda yang sifatnya agak keras seperti tempurung kelapa. Sedangkan bagian punggung untuk memukul benda yang lebih keras seperti untuk memukul paku. Lubang di kudi pun memiliki fungsi sebagai pengungkit.
Sebagai sebuah peralatan, kudi memiliki bermacam fungsi yang tidak dimiliki oleh alat lain, seperti sabit, pisau, atau parang. Dan ini merupakan cerminan sifat dari masyarakat Banyumas yang simpel. Dalam artian, masyarakat Banyumas sangat fleksibel dalam mengerjakan sesuatu.
“Kudi diperkirakan sudah ada sejak abad ke-7. Ini terlihat dari pahatan yang terdapat di daerah Gunung Segara, Bantarkawung, Kabupaten Brebes,” kata Sugeng Priyadi, sejarawan Banyumas.
Kesamaan bentuk antara kudi dan kujang bukan menjadi suatu keanehan. Pakar asal Perancis untuk Asia Timur dan Tenggara, Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya mengatakan, Banyumas merupakan serambi budaya Jawa dan Sunda. “Jadi kudi yang dikenal sekarang merupakan persilangan antara budaya Sunda dan Jawa,” imbuhnya.
Kudi memiliki pasangan bernama lading. Lading biasanya digunakan untuk mencungkil daging kelapa dari batoknya. Dalam budaya banyumasan, lanjut Sugeng, kedua alat itu dilambangkan sebagai sosok laki-laki dan perempuan.
Tidak banyak daerah yang memproduksi kudi secara massal. Yang paling banyak ada di Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara dan Kecamatan Kedungbanteng dan Sokaraja, Kabupaten Banyumas.
Proses pembuatan kudi tidak berbeda dengan pembuatan senjata tajam lain, seperti arit, bendho, lading atau pisau.
Namun kudi sedikit lebih rumit karena bentuknya yang berlekuk. “Bahan untuk membuat biasanya menggunakan lempengan besi baja bekas per kendaraan roda empat,” kata Muhammad Sidik, pembuat kudi dari Desa Pasir Wetan, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas.
Dalam satu hari, Sidik mampu menghasilkan 20 buah. Biasanya kudi itu dipesan oleh pedagang dan dijual lagi di pasar.
Kesenian
Kudi lekat dengan kesenian tradisional ketoprak banyumasan dan wayang dalang jemblung.
Dalam wayang dalang jemblung, kudi menjadi satu-satunya benda tajam yang dipakai sebagai anak wayang. Kudi memiliki peran mewakili seluruh senjata yang dipakai oleh para tokoh dalam cerita wayang itu.
“Ini melambangkan bahwa kudi memiliki kegunaan yang bermacam-macam. Istilahnya, kudi merupakan alat yang paling mumpuni dibanding dengan alat sejenis,” kata Suparjo, dalang jemblung asal Desa Karangpetir, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas.
Meskipun milik wong tlatah Banyumas, kudi diadopsi oleh pemerintah Kabupaten Banyumas sebagai ikon melalui pembuatan tugu kudi di perbatasan kabupaten itu.
Ada tiga lokasi dibangunnya tugu tersebut yaitu di Desa Buniayu Kecamatan Tambak yang berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, Desa Karang Kemiri Kecamatan Pekuncen yang berbatasan dengan Kabupaten Brebes dan Desa Kedunggede Kecamatan Lumbir, berbatasan dengan Kabupaten Cilacap.
Secara arsitektur, tugu itu berbentuk kudi dalam citra kubus yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu gaman (kudi), karah (cincin antara gaman dengan gangang) dan garan (gagang kudi).
Di bagian gaman bagian atas kecil, bagian tengah berupa lekukan dan bagian bawah besar dengan lambang Kabupaten Banyumas di tengahnya.
“Tugu selamat datang itu secara siluet merupakan metamorfosis dari kudi. Bagian bawah antara bagian atas dan bawah terdapat pemisah seperti cincin pada kudi,” kata Ir. Sunardi, MT. arsitek Banyumas, yang juga menjadi Ketua Tim Penlai Lomba Desain Tugu Selamat Datang Kabupaten Banyumas.
Pengenalan kudi sebagai satu warisan budaya nenek moyang kepada generasi muda mutlak dilakukan sebagai bentuk nguri-uri. (71)
Harian Suara Banymas, 29 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar