Arti sebuah nama
Budaya Barat kurang atau bahkan tidak memperhatikan arti sebuah nama.
Tetapi bagi budaya Timur, khususnya Indonesia, dan lebih khusus lagi
bagi budaya Jawa, nama bukanlah sekedar membedakan antara yang satu dengan
lainnya. Suatu nama mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan. Nama
merupakan suatu doa, atau suatu harapan agar di kemudian hari sesuatu yang
diberi nama tersebut dapat mempunyai kondisi yang sesuai dengan arti atau maksud
nama yang diberikan tersebut.
Walau nama mempunyai arti yang sangat penting, namun di Indonesia bahkan di tingkat Pusat,
suatu mana justeru sering menimbulkan kerancuan. Seperti istilah Dirjend. Perhubungan,
yang mengelola perangkutan (darat, laut, dan udara). Kata perhubungan dalam
kamus Bahasa Inggris diterjemahkan dalam communication yang berbeda dengan transportation sebagai terjemahan dari perangkutan
(transportasi).
Hal-hal tersebut di atas
kiranya sama dengan terminologi agraria dalam Undang-undang Nomor: 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), yang pada tanggal 24 September 2001 ini genap 41 tahun.
Dari berbagai kamus, kata agraria diterjemahkan dengan “hal-hal yang
berhubungan dengan pertanian”. Sedang obyek hukum dari Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 adalah tanah atau lahan. Disadari bahwa masalah
pertanian (agraria) tidak akan dapat dilepaskan dari masalah tanah atau lahan
(sebagai sumber penghidupan), tetapi masalah lahan (tanah) tidak mesti
berhubungan dengan pertanian. Masalah tanah erat kaitannya juga dengan
pertambangan dan sebagai wadah atau tempat melakukan aktivitas masyarakat
(kegiatan jasa) dan lain-lain.
Kata agraria
dipergunakan sebagai obyek hukum atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tersebut
kiranya sesuai dengan politik hukum pemerintah pada waktu itu yaitu bagaimana
menyediakan pangan (khususnya beras) bagi bangsa Indonesia yang saat itu masih
sangat kekurangan, karena itu perlu diatur hubungan hukumnya.
Namun masalahnya ialah
apakah politik pembangunan yang berorientasikan pada pertanian khususnya
penyediaan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia ini tetap dijalankan, dan
bagaimanakah kaitannya dengan upaya pemerintah mengundang investor asing untuk
menanamkan modal di luar bidang pertanian, seperti manufaktur, properti,
pertambangan, dan sebagainya. Semua itu jelas merupakan permasalahan yang akan
ditemui di masa-masa yang akan datang.
Antara peraturan dan kenyataan
Suatu
hal yang sangat prinsip dan secara tegas disebutkan dalam pasal 5 UUPA, yakni
bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah
hukum adat …………”, dengan catatan bahwa hukum adat tersebut tidak bertentangan
dengan: (1) kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa;
(2) sosialisme Indonesia; dan (3) peraturan perundang-undangan yang berlaku,
serta harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Suatu pertanyaan yang
sangat mendasar ialah apakah UUPA ini merupakan kodefikasi atas hukum adat,
khususnya hukum adat tentang tanah, atau pembatasan terhadap berlakunya hukum
adat. Sebagaimana diketahui bahwa menurut para ahli, hukum adat merupakan
hukum, yang dalam bentuknya tidak tertulis, sifatnya fleksibel, tetapi ditaati
oleh masyarakat dilawankan dengan UUPA sebagai hukum positif yang tertulis.
Beberapa pakar hukum adat
mempertanyakan tolok ukur terhadap hukum adat sebagaimana tercantum dalam pasal
5 UUPA tersebut. Soewondo Atmodjahnawi (1981) berpendapat bahwa sifat pola
pikir masyarakat yang mendasari berlakunya hukum adat adalah sifat-sifat:
religius, kosmos, dan komunal/kebersamaan, sedang di lain sisi manusia
merupakan individu yang mempunyai otonomi terhadap dirinya. Karenanya azas:
selaras, serasi dan seimbang antara individu dengan: Tuhan, alam sekitar, dan
sesama manusia benar-benar diterapkan di masyarakat hukum adat.
Menurut Soepomo (1978),
kondisi tesebut di atas semakin berkurang bagi masyarakat perkotaan. Kesadaran
akan kesimbangan, keselarasan dan keserasian sebagaimana dilakukan oleh masyarakat
hukum adat bagi masyarakat perkotaan menjadi semakin menipis, sebagai akibat
perkembangan ilmu dan teknologi yang dikuasai masyarakat. Kiranya penipisan ini
diformalkan oleh pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan,
termasuk UUPA.
Penipisan sifat
kebersamaan antara berbagai pihak di dalam masyarakat hukum adat tentang tanah
tercermin dalam magersari, bagihasil, gadai tanah dan lain-lain. Di dalam
hubungan hukum magersari (ngindung), dan bagi hasil terlihat
hubungan yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Hubungan saling
tolong-menolong antara kedua pihak. Hubungan antara si kaya (pemilik tanah) dan
si miskin (si pengindung dan penggarap). Keadaan yang demikian (menurut Eko
Budihardjo) sudah semestinya dipertahankan dan dikembangkan (sebagai cerminan
budaya bangsa), namun menurut pasal 16 ayat (1) huruf (h) jo. Pasal 53 UUPA
hak-hak tersebut merupakan hak sementara, yang dalam waktu singkat (sejak
ditetapkannya UUPA) akan segera dihapuskan. Dalam kenyataan di lapangan, terutama
di daerah perdesaan hak-hak tersebut sampai sekarang masih hidup.
Suatu hal yang sangat
terasa betapa sulitnya bagi para pelaku pembangunan kota setelah berlakunya UUPA jika
dibandingkan dengan sebelumnya (berdasar hukum adat) ialah pengeringan lahan
persawahan menjadi lahan permukiman. Pada saat sebelum berlakunya UUPA, secara
bermusyawarah para pemilik hak pekulen
atau hak gogolan di desanya sepakat
untuk mengeringkan sebagian dari sawahnya menjadi kapling-kapling permukiman
yang tertata secara teratur sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Namun melalui
pasal VII ayat (1) Ketentuan-Ketentuan Konversi dalam bagian kedua UUPA secara
tegas hak gogolan dan pekulen tersebut dirubah menjadi hak milik perseorangan.
Menurut pasal 20 ayat (1)
UUPA hak milik atas tanah adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, walau menurut ketentuan pasal 6 UUPA bahwa
semua hak atas tanah berfungsi sosial. Dengan adanya hak milik sesuai pasal 20
tersebut menjadikan seseorang dapat mempertahankan haknya itu. Salah satu
wewenang Pemerintah menurut pasal 2 ayat (2) UUPA adalah wewenang untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
Kenyataan di lapangan
bahwa betapa sulitnya Pemerintah baik Pusat maupun Daerah (Propinsi,
Kabupaten/Kota) untuk membebaskan tanah hak milik untuk dijadikan fungsi
pelayanan umum, seperti jalan, sekolah, terminal, waduk dan sebagainya. Dengan
adanya ketentuan pasal 20 tersebut rasa keberasamaan (sesuai budaya nasional)
semakin menipis, dan rasa individualis (dasar budaya Barat) semakin berkembang
di masyarakat Indonesia.
Fungsi tanah dan tantangan masa depan bangsa
Di dalam Penjelasan Umum
Undang-undang Nomor: 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
secara tegas disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan
rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi,
air, dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi
yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, ……. dan
seterusnya .
Pernyataan tersebut,
ditinjau dari obyeknya (tanah) kiranya tidak ada orang yang mau menolak atau
membantahnya. Tetapi corak perekonomian masyarakat yang agraris dengan
memfungsikan tanah sebagai sumber penghidupan masyarakat di masa depan masih
akan dipertahankan dan dikembangkan, merupakan pertanyaan yang cukup mendasar
dan perlu dikaji.
Disadari semua pihak bahwa
secara kuantitas kondisi tanah tidak berubah atau berkembang, sedang secara
kualitas kondisi tanah cenderung menurun. Di lain sisi manusia sebagai pengguna
tanah baik secara kuantitas maupun kualitas terus berkembang. Perkembangan
kuantitas manusia (penduduk) berjalan secara alami, sedang perkembangan kualitas
manusia (masyarakat) berjalan karena tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi.
Adanya perkembangan baik kuantitas maupun kualitas manusia akan berpengaruh
pula terhadap fungsi dan manajemen pertanahan.
Perkembangan kuantitas
maupun kualitas masyarakat akan menjadikan adanya perubahan pola pikir dan pola
perilaku masyarakat, yang kesemuanya akan menuntut adanya perubahan atas fungsi
tanah. Dengan adanya perubahan atau perkembangan pola pikir dan pola perilaku
masyarakat berpengaruh pada tuntutan akan penyediaan pemenuhan kebutuhan hidup
masyarakat, yang juga berkembang baik secara kuantitas maupun kualitas.
Diketahui pula bahwa kebutuhan hidup masyarakat yang primer adalah sandang,
pangan, dan papan. Namun dengan perkembangan ilmu dan teknologi (kebudayaan)
jenis dan sifat kegiatan terus berkembang yang secara kualitas harus dipenuhi
pula.
Tuntutan akan perubahan
dan perkembangan penyediaan wadah berkembangan jenis dan kualitas kegiatan ini
tercermin dari betapa pesatnya pertumbuhan area perkotaan. Pertumbuhan area
perkotaan yang selama ini terlihat di Indonesia khususnya dan di
negara-negara berkembang pada umumnya berjalan secara organis-sporadis, tanpa
suatu pola tertentu. Akibatnya kota-kota yang ada justeru menimbulkan banyak
permasalahan baik bagi pemerintah sebagai pengelola, maupun masyarakat sebagai
pengguna. Hal ini sangat terasa terutama di kota-kota besar, yang semakin besar
kota akan
semakin komplek permasalahannya. Untuk semua itu diperlukan berbagai peraturan
sebagai perangkat lunak di bidang pertanahan, yang selain untuk menangani
berbagai permasalahan yang sementara ini ada, dan mengantisipasi permasalahan
yang akan timbul di masa depan.
Di dalam era globalisasi sekarang, yang kerjasama
secara internasional dalam bidang investasi akan digalakkan dan ditingkatkan,
jelas akan berpengaruh pula terhadap manajemen pertanahan. Dalam era
otonomi daerah sekarang, diperkirakan usaha menarik investor (baik nasional
maupun internasional) untuk masuk ke daerah akan dilakukan oleh pemerintah
baik: Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten/Kota. Untuk menghidari adanya kompetisi
yang tidak sehat antar daerah, dalam era komputerisai ini kiranya Management Information System (MIS) yang
terpadu secara nasional amat sangat diperlukan.
Purwokerto, Selasa Wage 25 September 2001