A. Pengertian kota
Marbun
(1990) menyadari bahwa pada umumnya orang telah mengetahui wujud fisik kota. Namun untuk
memberikan pengertian yang lugas (definisi) tentang kota amatlah sulit. Definisi tentang kota yang ada tidak selalu
tepat dan tergantung fokus atau aspek pendekatannya. Pendekatan dari satu
disiplin ilmu memberikan pengertian kota
yang berbeda dengan disiplin ilmu yang lain. Konsepsi kota pada masa lalu berbeda dengan masa
sekarang. Bahkan konsepsi kota
dari suatu negara berbeda dengan negara yang lain.
Ditinjau dari berbagai disiplin ilmu, terdapat
berbagai pengertian tentang kota.
- Menurut ilmu ekonomi, kota merupakan pusat atau tempat bertemunya kegiatan-kegiatan: produksi, distribusi, konsumsi kebutuhan hidup manusia. Sektor ekonomi sekunder dan tersier lebih dominan dari pada sektor primer. Pabrik-pabrik pengolahan dan fasilitas perdagangan baik barang dan jasa banyak dibangun di kota.
- Secara sosiologis, kota merupakan wilayah dengan sejumlah penduduk, yang berpola pikir lebih rasional; pola perilaku berlandaskan keuntungan; tingkat kompetisi baik individual maupun kelompok yang tinggi; pola hubungan sekunder. Kontrol sosial kecil.
- Dari aspek Teknik Sipil, kota merupakan suatu area tertentu yang dilengkapi dengan jaringan-jaringan prasarana lingkungan (jaringan jalan, drainase, saluran pembuang, jaringan pipa air bersih, jaringan listrik, telepon dan sebagainya), yang dibangun dengan teknologi maju.
- Secara Arsitektural, kota merupakan suatu ruang yang sebagian terbesar merupakan daerah terbangun sebagai tempat/wadah kegiatan dengan segala fasilitas penunjang dan pelayanannya bagi penduduk kota dan sekitarnya, dalam mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya.
- Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, yang dimaksud dengan “kota” adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan kekotaan.
Bagi Pemerintah (baik Pusat maupun Daerah) di Indonesia, yang dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari lebih berdasarkan pada peraturan hukum, maka
ciri-ciri wilayah kota menurut Lampiran Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor:
34 tahun 1986, tanggal 1 Desember 1986 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor: 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota Di
Seluruh Indonesia adalah bahwa:
a.
Dari aspek fisik, maka wilayah kota mempunyai ciri-ciri:
1)
sebagai tempat permukiman penduduk yang merupakan satu
kesatuan dengan luas, jumlah bangunan, kepadatan bangunan yang relatif lebih
tinggi dari pada daerah sekitarnya;
2)
proporsi bangunan permanen lebih besar di tempat itu
dari pada di wilayah-wilayah sekitarnya;
3)
mempunyai lebih banyak fasilitas sosial-ekonomi:
sekolah, poliklinik, pasar, toko, kantor pemerintahan dan lain-lain dari pada
wilayah sekitarnya.
b.
Dari
aspek sosial – ekonomi maka wilayah kota
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) mempunyai
jumlah penduduk yang dalam satu kesatuan areal terbangun berjumlah minimal
20.000 orang di P. Jawa, Madura, dan Bali,
atau 10.000 orang di luar pulau-pulau tersebut;
2)
mempunyai kepadatan penduduk yang relatif lebih tinggi
dari wilayah sekitarnya
3) mempunyai proporsi jumlah penduduk yang bekerja di
sektor-sektor non pertanian, seperti: pemerintahan, perdagangan, industri, jasa
dan lain-lain, yang lebih tinggi dari wilayah sekitarnya;
4) merupakan pusat kegiatan ekonomi yang menghubungkan
kegiatan pertanian hinterland dan
tempat pemasaran atau prosesing bahan baku
untuk kegiatan sendiri.
Dari
ketentuan tersebut terlihat bahwa melalui metode komparasi dapat ditentukan
apakah suatu wilayah telah merupakan wilayah perkotaan atau belum. Namun yang
jelas bahwa wilayah perkotaan tidak terbatas pada suatu daerah administratif
tertentu, tetapi dapat melebar ke luar batas administrasi pemerintahan.
Sejalan
dengan hal tersebut, Hardoy (dalam Catanase dkk, 1986) mempergunakan berbagai
aspek dan sudut pandang sebagai tolok ukur guna memberi kejelasan tentang kota. Tolok ukur kota menurut Hardoy
tersebut yaitu:
- Luas area dan jumlah penduduk yang besar, untuk jaman dan daerahnya.
- Bersifat permanen, sehingga mempunyai nilai sejarah dalam pembentukan dan perkembangannya.
- Kepadatan penduduk dan bangunan yang tinggi/besar untuk jaman dan daerahnya.
- Pola dasar jaringan jalan, dan struktur penggunaan ruang kota yang jelas.
- Sebagai wadah bertempat tinggal, bekerja, dan melakukan berbagai macam kegiatan lainnya untuk mempertahankan hidup dan/atau mengembangkan kehidupannya.
- Mempunyai sejumlah tertentu fasilitas pelayanan umum yang sesuai dengan jaman dan daerahnya.
- Kondisi masyarakat yang: heterogen, gradualistis, dan spesialistis.
- Pola kehidupan masyarakat bersifat urbanis yang sesuai dengan jaman dan daerahnya.
- Merupakan pusat kegiatan perekonomian daerah hinterlandnya yang mengolah bahan mentah (pertanian) untuk dipasarkan secara lebih luas.
- Merupakan pusat pelayanan kegiatan sosial bagi daerah sekitarnya.
Dengan
mendasarkan pada berbagai kriteria kota tersebut
maka, selain kota mempunyai berbagai macam unsur
sebagai pra syarat, juga pengertian kota
akan berbeda antara satu waktu dengan waktu yang lain, dan antara satu daerah
dengan daerah yang lainnya. Di samping itu, menurut Branch (1985) kota juga
mempunyai pengelola yang dipegang oleh pemerintah kota, yang bersama dengan
sub-sub sistem lainnya, menyatu secara terpadu, membentuk dan berpengaruh
terhadap keberadaan dan perkembangan bentuk suatu kota (Chadwick, 1981).
Bentuk
fisik kota-kota menurut Arthur B. Gallion dan Simin Eisner (1992), yang
sensitif terhadap antara penindasan dan keadilan, dibentuk oleh
kekuatan-kekuatan ekonomi, sosial dan politik dalam masyarakat. Pengaruh
faktor-faktor tesebut pada perkembangan kota di
masa lalu hampir dapat membantu mengarahkan dalam memolakan kegiatan-kegiatan
pembangunan kota.
Para ahli sejarah telah berusaha untuk memilah dan menandai keragaman pola-pola
kota. Ada dua bentuk dasar kota
yang dapat dikenal di masa lalu yakni kota
bertembok (kota tertutup) dan kota terbuka, yang secara rinci dibahas dalam
bab berikutnya.
B. Pengertian urbanisasi
Urbanisasi pada umumnya diartikan sebagai
pergerakkan/perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pengertian yang demikian ini telah berjalan sejak lama, melembaga seolah
menjadi pengertian yang baku.
Perpindahan penduduk dari desa ke kota
dilakukan dengan maksud baik demi keselamatan dari gangguan-gangguan keamanan,
meningkatkan kesejahteraan hidup baik dalam aspek ekonomi (mendapatkan nafkah),
aspek pendidikan (sekolah) maupun maksud lainnya, yang sulit didapatkan di
desa. Pengertian ini menurut Bintarto (1987) adalah pengertian tentang
urbanisasi dari aspek demografi, sehingga ada pengertian lain yang didasarkan
pada aspek yang lain pula.
Secara harafiah “urbanisasi” yang berasal dari kata urbanization (Inggris) berarti suatu perubahan dari kondisi bukan urban (rural) menjadi kondisi urban
(perkotaan), karenanya Bintarto (1987) menyebut urbanisasi sebagai suatu
proses. Arti urbanisasi sebagai suatu proses perubahan dari kondisi rural ke kondisi urban dirasa kurang populair. Perpindahan penduduk dari daerah
perdesaan (Desa) ke daerah perkotaan (kota)
dapat diartikan secara teknis, sedang pengertian urbanisasi sebagai proses
merupakan pengertian secara teori.
Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa daerah perkotaan (urban) mempunyai kondisi dan karakter
yang sangat kontras bila dibandingkan dengan daerah perdesaan, sebagaimana
terlihat dalam tabel berikut
Matrik pebedaan
antara daerah perdesaan dan daerah perkotaan
PERDESAAN (RURAL)
|
ASPEK
|
PERKOTAAN (URBAN)
|
Sebagai
sumber kehidupan
|
Guna
lahan
|
Sebagai
wadah fasilitas
|
Kepadatan
rendah
|
Penduduk
|
Kepadatan
relatif tinggi
|
Sektor
primer
|
Ekonomi
|
Sektor
sekunder, tersier
|
Homogen,
hubungan primer
|
Masyarakat
|
Heterogen,
hubungan sekunder
|
Cenderung
tradisional
|
Budaya
|
Lebih
modern
|
Statis
|
Dinamika
sosial
|
Dinamis
|
Kecil/rendah
|
Kompetisi
|
Besar/tinggi
|
Terbatas
|
Fasilitas
umum
|
Lengkap
|
Sumber: Analisis penulis
Dari tabel tersebut terlihat bahwa dari berbagai aspek, baik fisik maupun
non fisik terdapat kondisi yang sangat kontras (berbeda) antara daerah
perdesaan dan daerah perkotaan. Perbedaan yang kontras tersebut tersebut pada
umumnya (di negara-negara berkembang) dikarenakan adanya pembangunan yang
berorientasikan pada daerah perkotaan (Todaro, Micael P, 1985), sebagai akibat
tuntutan perkembangan kuantitas dan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat,
khususnya masyarakat perkotaan yang tingkat budayanya relatif lebih maju dari
pada masyarakat perdesaan.
Perbedaan kondisi antara daerah perdesaan dan daerah perkotaan yang
kontras sebagaimana tergambar di atas merupakan suatu proses dalam kehidupan
masyarakat secara naluriah (alami), dalam upaya manusia mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan, untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Dengan
demikian jelas bahwa dari hal-hal yang terurai di atas, urbanisasi dapat
diartikan sebagai suatu proses sosial yang berjalan sesuai tuntutan kehidupan
dari kondisi yang bercirikan perdesaan menjadi kondisi yang bercirikan urban (perkotaan), dengan tujuan untuk
mencapai kondisi yang lebih baik.
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa kawasan perkotaan mempunyai
berbagai kriteria, yang dengan kriteria-kriteria tersebut dapat diketahui
perbedaan antara perdesaan dan perkotaan. Sehubungan dengan hal tersebut maka
urbanisasi (sebagai proses menuju perbaikan kondisi kehidupan masyarakat)
mestinya tidak hanya dipandang dari satu aspek saja (perubahan domisili dari
desa ke kota), tetapi secara komperhensif dari
keseluruhan aspek dalam kehidupan masyarakat sebagaimana terlihat dalam matrik
Desa – Kota
pada tabel.
Dari hal-hal sebagaimana terurai di atas, maka baik secara fisik maupun
non fisik dimungkinkan urbanisasi dapat terlaksana tanpa adanya perpindahan
tempat tinggal penduduk, tetapi baik secara sadar maupun tidak, atas inisiatif
masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan baik secara fisik maupun non
fisik dari kondisi perdesaan menjadi kondisi perkotaan. Justru yang sering
menimbulkan masalah adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota tanpa diikuti dengan perubahan pola
pikir maupun perubahan kondsi fisik lingkungan.
3. Penyebab dan dampak urbanisasi
Sebagaimana telah disebutkan di depan bahwa secara naluriah manusia
senantiasa akan berupaya untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan
kehidupannya. Salah satyu upaya tersebut adalah dengan berpindah domisili atau
urbanisasi. Berangkat dari pengertian urbanisasi sebagai perpindahan penduduk
dari desa ke kota maka sosiolog Soerjono
Soekanto (1970) menyebutkan terjadinya urbanisasi tersebut karena adanya
faktor-faktor pendorong dan penunjang penduduk untuk melakukan perpindahan dari
desa ke kota.
Faktor‑faktor yang ada di kota
yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap di kota‑kota (pull factors).
Bila dianalisis sebab‑sebab pendorong orang‑orang desa meninggalkan
tempat tinggalnya secara umum, adalah sebagai berikut :
- Di desa‑desa lapangan pekerjaan pada umumnya kurang; yang dapat dikerjakan adalah terutama kesemuanya berhubungan dengan kesulitan-kesulitan tantangan dan konsisi alam. Keadaan tersebut menimbulkan pengangguran yang tersamar atau "disguised unemployment".
- Penduduk desa, terutama kaum muda‑mudi, merasa tertekan oleh adat‑isdadat yang ketat yang mengakitbatkan suatu cara hidup yang monoton. Untuk mengembangkan pertumbuhan jiwanya, banyak yang pergi ke kota.
- Di desa‑desa tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan. Oleh sebab itu banyak orang‑orang yang ingin maju, kemudian meninggalkan desanya untuk menambah pengetahuannya di kota.
- Rekreasi yang merupakan salah satu faktor penting di bidang spiritual kurang sekali dan kalau juga ada, perkembangannya sangat lambat.
- Bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian lain daripada bertani seperti misalnya kerajinan tangan, tentu menginginkan pasaran yang lebih luas lagi hasil produksinya. Ini tidak mungkin didapatkan di desa.
Sebaliknya beberapa faktor penarik dari kota sehingga terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota adalah sebagai
berikut:
- Penduduk desa kebanyakan dihinggapi suatu anggapan, bahwa di kota banyak pekerjaan serta banyak penghasilain (uang). Karena sirkulasi uang di kota jauh lebih cepat, lebih besar dan lebih banyak, maka di daerah perkotaan relatif lebih mudah untuk mendapatkan uang daripada di daerah perdesaan.
- Di kota‑kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan industri dan lain‑lain. Hal ini dikarenakan, lebih telah tersedianya fasilitas-fasilitas baik perangkat keras maupun perangkat lunaknya.
- Kelebihan modal (terutama kredit perbankan) di kota, lebih hanyak daripada di desa.
- Pendidikan (terutarna pendidikan lanjutan) lebih banyak di kota, dan dengan sendirinya lebih mudah didapat.
- Kota merupakan suatu tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik‑baiknya dan seluas‑luasnya.
- Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam orang dari segala lapisan.
Beberapa faktor pendorong dan penarik sebagaimana disebutkan di atas,
menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota. Orang yang sudah meninggalkan, ternpat
tinggalnya di desa, mernpunyai kecenderungan untuk tetap tinggal di kota. Faktor
transportasilah yang menjadi penghambat bagi mereka untuk pulang balik dari
desa ke kota,
mereka hanya akan kembali apabila ada keperluan penting seperti akan menengok
sanak keluarga misalnya. Di dalam. rangka ini, kernungkinan besar urbanisasi
tersebut mengakibatkan perluasan kota, oleh
karena pusat kota
tidak akan mungkin menampung. perpindahan penduduk desa yang begitu banyak.
Timbullah tempat‑tempat tinggal baru di pinggiran kota. Proses tersebut di dalam sosiologi
dikenal dengan proses pembentukan suburb (Soerjono Soekanto, 1970). Sebaliknya,
hubungan dengan kota‑kota, menyebabkan pula terjadinya perubahan di desa‑desa,
oleh karena orang‑orang yang kemudian tinggal di kota, sekali‑kali akan kembali juga ke
desanya. Beberapa unsur kehidupan di kota akan
dibawanya serta, sehingga ada pula rekan rekannya warga desa yang meniru gaya kehidupan orang di kota, proses demikian dinamakan pula urbanisme (Soerjono Soekanto, 1970).
Kondisi yang demikian ini nampak dengan jelas pada tradisi mudik lebaran
yang telah membudaya di Indonesia
kususnya di P. Jawa. Dari berita-berita di media massa diketahui bahwa perubahan perilaku dan
uang bermilyar-milyar dibawa pulang mudik dari kota-kota besar ke daerah asal,
yang pada umumnya masih bersifat perdesaan. Hal ini akan menarik bagi teman dan
saudaranya yang lain untuk mencoba mengadu nasib di kota besar. Dengan modal para urbanisan
inilah banyak daerah di Jawa Tengah yang terbangun atas dana dari para pemudik
ini.
Berangkat dari pengertian urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari
desa ke kota, maka jelas bahwa jumlah penduduk
di kota. Dari Prospektif Volume: 5 Nomor: 4 tahun 1993
diketahui bahwa data statistik secara Nasional antara tahun 1980 – 1990: (a)
pertumbuhan jumlah penduduk rata-rata per tahun: 1,98%; (b) pertumbuhan jumlah
penduduk di perdesaan rata-rata per tahun: 0,79%; (c) pertumbuhan jumlah
penduduk di perkotaan rata-rata per tahun: 5,36%; dan (d) pertumbuhan
urbanisasi rata-rata per tahun: 3,36%. Angka pertumbuhan ini diperkirakan akan
semakin besar bila kebijakan pola pengembangan bidang ekonomi pemerintah Indonesia
masih berorientasikan pada pengembangan sektor industri, jasa, dan perdagangan,
serta sektor transportasi dan komunikasi yang terpusat di daerah perkotaan.
Sebagaimana diketahui bahwa sebagai akibat dari adanya pembangunan yang
dipusatkan di daerah perkotaan (urban
bias) adalah membanjirnya perpindahan penduduk (dengan modal
pengetahuan/keahlian dan dana seadanya), dari daerah perdesaan ke daerah
perkotaan, dengan tujuan utama adalah mempertahankan hidup dan meningkatkan
kehidupan.
Keuntungan yang secara langsung dapat diperoleh dengan adanya aliran
tenaga dari perdesaan adalah tersedianya tenaga kasar yang dapat dimanfaatkan
untuk kerja-kerja kasar, atau kegiatan-kegiatan di sektor informal lainnya
(pembantu rumah tangga, tukang rumput, centeng, pedagang kaki lima dan
kelilingan, pemulung dan lain sebagainya) yang juga sangat dibutuhkan bagi
mereka yang bergerak di sektor formal (pengusaha, pegawai dan sebagainya) untuk
mengurusi hal-hal yang sepele di rumah.
Dengan adanya kerjasama yang baik antara sektor formal dan sektor
informal akan semakin mempercepat laju pertumbuhan pembangunan di perkotaan.
Namun hal ini akan semakin menarik dan semakin memperbesar laju urbanissi.
Dengan demikian jumlah penduduk kota
pun semakin besar pula. Namun perlu dicatat bahwa mereka adalah pendatang,
penduduk sementara, bukan terdaftar sebagai penduduk asli, sehingga dalam
perencanaan penyediaan fasilitas utilitas seringnya terabaikan. Akibat yang
ditimbulkan adalah prediksi kebutuhan fasilitas utilitas semakin besar biasnya.
Sesuai dengan sifat pola pikir masyarakat perdesaan yang lebih
mengutamakan kebersamaan, maka mereka (para urbanisan) di daerah perkotaan akan
hidup mengelompok membentuk suatu komunitas sendiri, sesuai dengan situasi dan
kondisi mereka. Sesuai dengan kondisinya itu, maka menimbulkan dampak yang
antara lain:
- Aspek ekonomi: (1) timbulnya berbagai macam kegiatan ekonomi sektor informal; (2) timbulnya pengangguran; dan (3) timbulnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
- Aspek sosial dan budaya: (1) kepadatan penduduk tinggi, dengan tingkat pendidikan penduduk yang rendah; (2) timbulnya bentrokan budaya antar ras, suku, dan agama; (3) timbulnya perbuatan pelanggaran hukum khususnya hukum pidana seperti: kriminalitas, prostitusi, dan sebagainya.
- Aspek fisik, bahwa kondisi fisik lingkungan (dengan unsur-unsur: permukiman, tempat bekerja, jaringan transportasi, fasilitas utilitas, dan fasilitas pelayanan sosial), yang jauh memenuhi persyaratan, baik secara kuantitas, maupun secara kualitas (teknis, kesehatan, etika, maupun estetika). Keadaan yang demikian biasa disebut sebagai permukiman kumuh (slump). Kondisi fisik lingkungan yang demikian ini dapat terjadi pula pada daerah bukan karena urbanisasi secara demografi, tetapi juga karena urbanisasi secara sosiologis (perubahan dari pola pikir perdesaan ke pola pikir perkotaan).
Sebagaimana telah disebutkan di depan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk
di perkotaan rata-rata per tahun sebesar: 5,36%. Dibandingkan dengan
pertumbuhan jumlah penduduk secara nasional rata-rata sebesar 1,98 % per tahun,
maka terlihat bahwa laju urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota) di Indonesia
sangat besar, yakni 3,36%. Mereka (para urbanisan) pada umumnya adalah dari
kelompok usia produktif baik laki-laki maupun wanita, dan mayoritas adalah
laki-laki.
Dengan begitu banyaknya tenaga kerja produktif (terutama kaum laki-laki)
dari desa yang mencoba mengadu nasib di perkotaan, maka di daerah asal
(perdesaan) akan terjadi kekurangan tenaga kerja, terutama pekerja kasar di
sektor pertanian. Di beberapa daerah perdesaan di Jawa Tengah kekurangan tenaga
kerja laki-laki bukan hanya untuk menggarap lahan pertanian, tetapi juga untuk
kegiatan sosial lainnya seperti ronda malam, gotong-royong untuk berbagai
kepentingan bersama.
Di balik kekurangan tenaga kerja produktif, keuntungan yang diperoleh
bagi desa asal urbanisan adalah mengalirnya dana hasil kerja di kota, yang selain untuk
nafkah sehari-hari juga biaya pendidikan anak-anak serta perbaikan rumah
tinggal dan bangunan fasilitas sosial lainnya (mushola dan masjid). Budaya
perkotaan yang semu juga menular ke masyarakat perdesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar