Selasa, 12 November 2013

JALUR SELATAN SUATU IMPIAN ATAU TANTANGAN?



Transportasi prasyarat pembangunan dan pengembangan

Kata transportasi (perangkutan) di Indonesia sering dirancukan dengan komunikasi (perhubungan). Hal ini terlihat dengan adanya Departemen Perhubungan yang membawahi Ditjend. Perhubungan Darat, Perhubungan Laut, maupun Perhubungan Udara. Padahal yang dimaksud dengan perhubungan di sini adalah perangkutan atau transportasi. Keadaan demikian tidak akan terasa menggangu bagi bangsa Indonesia secara internal, namun akan sangat mengganggu dalam hubungan internasional atau kerjasama antar bangsa/negara.
Sejak jaman dahulu, transportasi merupakan kegiatan yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, atau dapat dikatakan pula bahwa tiada kegiatan manusia yang tanpa transporasi. Semakin berkembang (kuantitas dan/atau kualitas) kegiatan yang dilakukan masyarakat menuntut perkembangan (kuantitas dan/atau kualitas) transportasi. Sebaliknya dengan terkembangan transportasi tersebut akan dapat memancing pertumbuhan kegiatan (social-ekonomi) masyarakat. Di lain sisi, semakin berkembangnya kegiatan masyarakat akan menuntut perubahan fungsi atau guna lahan setempat, yang biasanya akan diikuti dengan naiknya nilai/harga lahan tersebut.
Dari hal-hal tersebut di atas maka terlihat bahwa dari berbagai aspek, transportasi merupakan cerminan budaya masyarakat setempat. Semakin tertib lalu-lintas kota semakin tinggi budaya masyarakatnya. Dan mestinya dalam skala regional, semakin lancar transportasi menunjukkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan penduduk atau masyarakat wilayah yang bersangkutan.
Disadari bahwa antara satu daerah dengan daerah lain terdapat perbedaan atau kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat. Yang menjadi masalah apakah kesenjangan antar daerah tersebut dikarenakan oleh adanya kesenjangan transportasi, ataukah kesenjangan kesejahteraan masyarakat tersebut menjadikan adanya kesenjangan transportasi antar daerah tersebut.

Kesenjangan utara – selatan

Di dalam era otonomi daerah ini semakin disadari oleh berbagai pihak bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar antara satu daerah dengan daerah lain. Secara nasional terdapat kesenjangan antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Sebagai negara kepulauan terdapat kesenjangan antara Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Sedang di Jawa sendiri terdapat kesenjangan antara daerah pantai utara dengan pantai selatan. Orang lebih akrab dengan istilah “pantura” sebagai kependekan dari pantai utara. Pantai selatan dapat dikatakan tidak pernah muncul dalam percakapan orang, sampai-sampai tidak terpikirkan apa kependekannya.
Ayat (2) pasal 1. UUPA antara lain menyebutkan bahwa: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang ada di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa ……………..….”. Dari kalimat ini jelas bahwa perbedaan kondisi, potensi alam antara satu daerah dengan daerah lain, termasuk perbedaan kondisi antara pantai utara dan pantai selatan P. Jawa merupakan karunia Tuhan sebagai suatu kondisi yang tidak perlu disesali atau menjadikan kecemburuan.
Ditinjau dari sumber daya alam yang ada, kesenjangan atara pantai utara dan pantai selatan P. Jawa dirasa tidak terlalu menonjol. Namun kondisi atau letak strategis antara pantai utara dan pantai selatan sangatlah berbeda. Pantai utara berhadapan langsung dengan suatu kawasan yang kaya dengan sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Namun pantai selatan berhadapan dengan tantangan yang besar. Samudera Indonesia yang ganas, letak negara atau benua Australia yang relatif jauh merupakan kondisi negatif atau kelemahan pantai selatan P. Jawa.
Kondisi strategis dari daerah pantai utara P. Jawa inilah yang merupakan daya tarik yang begitu kuat untuk mendatangkan orang-orang dari berbagai suku (daerah) dan bangsa (negara) dengan segala macam aktivitasnya (industri, perdagangan, budaya dan lain sebagainya). Semakin banyak aktivitas yang terjadi semakin besar daya tarik pantu-ra untuk mendapatkan uang. Karenanya di pantura P. Jawa tumbuh puluhan kota besar dan kecil dengan berbagai jenis kegiatan sebagai identitasnya. Di lain sisi di pantai selatan kegiatan penduduk hanya mengandalkan pada sektor pertanian yang dikelola secara tradisional. Perkembangan hanya di sektor pariwisata, khususnya ekoturisme atau wisata alam, baik laut, gunung/ pegunungan, maupun gua alam.
Keadaan sebagaimana terurai di atas telah berjalan lama, semenjak sebelum kedatangan bangsa barat sebagai penjajah di Indonesia umumnya atau di Jawa kususnya. Hal ini ditandai begitu banyaknya bandar-bandar atau pelabuhan (Merak, Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Jepara, Tuban, Surabaya dan lain-lain) dan kerajaan (Banten, Cirebon, Demak dan lain-lain) dengan beberapa kadipatennya di pantai utara Jawa. Dari aspek budaya (khususnya budaya Islam), kota-kota di pantura tersebut menjadi pusat penyebaran dan pengembangannya. Kondisi seperti ini tidak terjadi di pantai selatan Jawa.
Bangsa Belanda yang datang kemudian, melihat kondisi sebagaimana tersebut di atas dengan semangat kolonialisme berusaha menguasai dengan politik devide et impera atau pemecah belah persatuan dan kesatuan. Satu demi satu bandar-bandar di pantura dikuasai, dan akhirnya penguasa-penguasa setempat (adipati dan sultan) ditaklukan secara paksa melalui kekerasan senjata.

Jalur Pantura yang selalu padat terutama pada musim lebaran

Jalur tranportasi pantai selatan Jawa

Kebutuhan akan jalur prasarana transportasi di pantai selatan Jawa telah disadari oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Daendels sebagai Gubernur Jenderal waktu itu telah membangun tidak hanya jalur 1000 Km jalur Anyer – Panarukan melalui pantai utara Jawa, tetapi juga jalan Daendels di pantai selatan Jawa, yang kedua-duanya lebih diarahkan untuk kepentingan pertahanan-keamanan atau kepentingan politik pemerintah kolonial. Di samping jalur jalan raya, Pemerintah Kolonial Belanda juga untuk kepentingan pertahanan dan keamanan membangun beberapa pangkalan udara di daerah pantai selatan seperti Congot (Kulon Progo) dan pelabuhan laut Cilacap.
Pada masa Pemerintah Republik Indonesia jalur pantai utara sampai sekarang terus berfungsi dan berkembang tidak hanya untuk kepentingan pertahanan-keamanan, tetapi juga untuk kepentingan sosial, budaya dan ekonomi sejalan dengan perkembangan kota-kota pelabuhan dan kawasan industri di pantai utara P. Jawa. Pada saat sekarang jalan Daendels jalur selatan di beberapa tempat masih nampak bekas-bekasnya. Jalur ini tidak dapat berkembang kalah dengan jalur jalan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Dengan letaknya yang sangat dekat dengan pantai laut selatan ini kiranya jalur jalan Daendels memang kurang tepat untuk dikembang-kan untuk kepentingan pengembangan wilayah pantai selatan Jawa.
Keluhan yang sering terdengar dari para pejabat atau investor dari Jakarta atau Bandung bahwa Purwokerto dan/atau Cilacap dekat tetapi jauh, sehingga enggan untuk datang ke kedua kota/daerah tersebut. Kiranya keluhan tersebut dapat dimaklumi karena kecilnya aksesibilitas ke kedua kota/daerah tersebut, termasuk daerah lain di sekitarnya. Pencapaian hanya melalui perjalanan darat atau jalan raya, melalui jalur jalan yang relatif banyak hambatannya. Bandara Tunggul Wulung (Cilacap) kondisinya hidup enggan matipun tak mau.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang lebih dengan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah kiranya merupakan tantangan baik bagi Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten untuk memberdayakan masyarakat dan pemerintah di daerah melalui pemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di masing-masing daerah, menyiapkan lapangan kerja dari berbagai sektor ekonomi di daerah dengan mengundang pemilik modal.
Ibaratnya dilema antara telur dan ayam, mana yang lebih dahulu ada, demikian juga antara pengembangan sektor transportasi atau pengembangan sektor ekonomi yang lainnya. Antara keduanya mempunyai hubungan saling terkait yang sangat kuat sebagai sebab dan akibat. Pengembangan sektor ekonomi menuntut perkembangan sektor transportasi, sedang pengembangan sektor transportasi akan memacu perkembangan sektor ekonomi lainnya.
Disadari oleh berbagai pihak bahwa pengembangan sistem transportasi dalam pelaksanaannya dapat menciptakan berbagai jenis usaha pendahulu maupun usaha-usaha ikutannya. Atau dapat dikatakan bahwa transporasi juga merupakan industri jasa yang dapat menghasilkan keuntungan finansial, seperti yang dilakukan terhadap pelabuhan, bandar udara, maupun jalan tol. Sehingga masalahnya adalah keberanian para penentu kebijaksanaan pembangunan untuk menarik investor untuk berinvestasi di wilayah pantai selatan Jawa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar