Transportasi prasyarat pembangunan dan pengembangan
Kata transportasi (perangkutan) di Indonesia
sering dirancukan dengan komunikasi (perhubungan). Hal ini terlihat dengan
adanya Departemen Perhubungan yang membawahi Ditjend. Perhubungan Darat,
Perhubungan Laut, maupun Perhubungan Udara. Padahal yang dimaksud dengan
perhubungan di sini adalah perangkutan atau transportasi. Keadaan demikian
tidak akan terasa menggangu bagi bangsa Indonesia secara internal, namun akan
sangat mengganggu dalam hubungan internasional atau kerjasama antar
bangsa/negara.
Sejak jaman dahulu, transportasi merupakan
kegiatan yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, atau dapat
dikatakan pula bahwa tiada kegiatan manusia yang tanpa transporasi. Semakin
berkembang (kuantitas dan/atau kualitas) kegiatan yang dilakukan masyarakat
menuntut perkembangan (kuantitas dan/atau kualitas) transportasi. Sebaliknya
dengan terkembangan transportasi tersebut akan dapat memancing pertumbuhan kegiatan
(social-ekonomi) masyarakat. Di lain sisi, semakin berkembangnya kegiatan
masyarakat akan menuntut perubahan fungsi atau guna lahan setempat, yang
biasanya akan diikuti dengan naiknya nilai/harga lahan tersebut.
Dari hal-hal tersebut di atas maka terlihat bahwa
dari berbagai aspek, transportasi merupakan cerminan budaya masyarakat
setempat. Semakin tertib lalu-lintas kota semakin tinggi budaya masyarakatnya.
Dan mestinya dalam skala regional, semakin lancar transportasi menunjukkan
semakin tinggi tingkat kesejahteraan penduduk atau masyarakat wilayah yang
bersangkutan.
Disadari bahwa antara satu daerah dengan daerah
lain terdapat perbedaan atau kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat. Yang
menjadi masalah apakah kesenjangan antar daerah tersebut dikarenakan oleh
adanya kesenjangan transportasi, ataukah kesenjangan kesejahteraan masyarakat
tersebut menjadikan adanya kesenjangan transportasi antar daerah tersebut.
Kesenjangan utara – selatan
Di dalam era otonomi daerah ini semakin disadari
oleh berbagai pihak bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar antara satu
daerah dengan daerah lain. Secara nasional terdapat kesenjangan antara
Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Sebagai negara kepulauan
terdapat kesenjangan antara Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Sedang di Jawa
sendiri terdapat kesenjangan antara daerah pantai utara dengan pantai selatan.
Orang lebih akrab dengan istilah “pantura” sebagai kependekan dari pantai
utara. Pantai selatan dapat dikatakan tidak pernah muncul dalam percakapan
orang, sampai-sampai tidak terpikirkan apa kependekannya.
Ayat (2) pasal 1. UUPA antara lain menyebutkan
bahwa: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang ada di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
……………..….”. Dari kalimat ini jelas bahwa perbedaan kondisi, potensi alam antara
satu daerah dengan daerah lain, termasuk perbedaan kondisi antara pantai utara
dan pantai selatan P. Jawa merupakan karunia Tuhan sebagai suatu kondisi yang tidak
perlu disesali atau menjadikan kecemburuan.
Ditinjau dari sumber daya alam yang ada,
kesenjangan atara pantai utara dan pantai selatan P. Jawa dirasa tidak terlalu
menonjol. Namun kondisi atau letak strategis antara pantai utara dan pantai
selatan sangatlah berbeda. Pantai utara berhadapan langsung dengan suatu
kawasan yang kaya dengan sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Namun
pantai selatan berhadapan dengan tantangan yang besar. Samudera Indonesia yang
ganas, letak negara atau benua Australia yang relatif jauh merupakan kondisi
negatif atau kelemahan pantai selatan P. Jawa.
Kondisi strategis dari daerah pantai utara P. Jawa
inilah yang merupakan daya tarik yang begitu kuat untuk mendatangkan
orang-orang dari berbagai suku (daerah) dan bangsa (negara) dengan segala macam
aktivitasnya (industri, perdagangan, budaya dan lain sebagainya). Semakin
banyak aktivitas yang terjadi semakin besar daya tarik pantu-ra untuk
mendapatkan uang. Karenanya di pantura P. Jawa tumbuh puluhan kota besar dan kecil
dengan berbagai jenis kegiatan sebagai identitasnya. Di lain sisi di pantai
selatan kegiatan penduduk hanya mengandalkan pada sektor pertanian yang
dikelola secara tradisional. Perkembangan hanya di sektor pariwisata, khususnya
ekoturisme atau wisata alam, baik laut, gunung/ pegunungan, maupun gua alam.
Keadaan sebagaimana terurai di atas telah berjalan
lama, semenjak sebelum kedatangan bangsa barat sebagai penjajah di Indonesia
umumnya atau di Jawa kususnya. Hal ini ditandai begitu banyaknya bandar-bandar
atau pelabuhan (Merak, Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Jepara, Tuban, Surabaya
dan lain-lain) dan kerajaan (Banten, Cirebon, Demak dan lain-lain) dengan
beberapa kadipatennya di pantai utara Jawa. Dari aspek budaya (khususnya budaya
Islam), kota-kota di pantura tersebut menjadi pusat penyebaran dan
pengembangannya. Kondisi seperti ini tidak terjadi di pantai selatan Jawa.
Bangsa Belanda yang datang kemudian, melihat
kondisi sebagaimana tersebut di atas dengan semangat kolonialisme berusaha
menguasai dengan politik devide et impera atau pemecah belah persatuan
dan kesatuan. Satu demi satu bandar-bandar di pantura dikuasai, dan akhirnya
penguasa-penguasa setempat (adipati dan sultan) ditaklukan secara paksa melalui
kekerasan senjata.
Jalur Pantura yang selalu padat terutama pada musim lebaran
Jalur tranportasi pantai selatan Jawa
Kebutuhan akan jalur prasarana transportasi di
pantai selatan Jawa telah disadari oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Daendels
sebagai Gubernur Jenderal waktu itu telah membangun tidak hanya jalur 1000 Km
jalur Anyer – Panarukan melalui pantai utara Jawa, tetapi juga jalan Daendels
di pantai selatan Jawa, yang kedua-duanya lebih diarahkan untuk kepentingan
pertahanan-keamanan atau kepentingan politik pemerintah kolonial. Di samping
jalur jalan raya, Pemerintah Kolonial Belanda juga untuk kepentingan pertahanan
dan keamanan membangun beberapa pangkalan udara di daerah pantai selatan
seperti Congot (Kulon Progo) dan pelabuhan laut Cilacap.
Pada masa Pemerintah Republik Indonesia jalur
pantai utara sampai sekarang terus berfungsi dan berkembang tidak hanya untuk
kepentingan pertahanan-keamanan, tetapi juga untuk kepentingan sosial, budaya
dan ekonomi sejalan dengan perkembangan kota-kota pelabuhan dan kawasan
industri di pantai utara P. Jawa. Pada saat sekarang jalan Daendels jalur
selatan di beberapa tempat masih nampak bekas-bekasnya. Jalur ini tidak dapat
berkembang kalah dengan jalur jalan yang dikembangkan oleh pemerintah
Indonesia. Dengan letaknya yang sangat dekat dengan pantai laut selatan ini
kiranya jalur jalan Daendels memang kurang tepat untuk dikembang-kan untuk
kepentingan pengembangan wilayah pantai selatan Jawa.
Keluhan yang sering terdengar dari para pejabat
atau investor dari Jakarta atau Bandung bahwa Purwokerto dan/atau Cilacap dekat
tetapi jauh, sehingga enggan untuk datang ke kedua kota/daerah tersebut.
Kiranya keluhan tersebut dapat dimaklumi karena kecilnya aksesibilitas ke kedua
kota/daerah tersebut, termasuk daerah lain di sekitarnya. Pencapaian hanya
melalui perjalanan darat atau jalan raya, melalui jalur jalan yang relatif banyak
hambatannya. Bandara Tunggul Wulung (Cilacap) kondisinya hidup enggan matipun
tak mau.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, yang lebih dengan dengan Undang-Undang Otonomi
Daerah kiranya merupakan tantangan baik bagi Pemerintah Propinsi maupun
Kabupaten untuk memberdayakan masyarakat dan pemerintah di daerah melalui
pemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di masing-masing
daerah, menyiapkan lapangan kerja dari berbagai sektor ekonomi di daerah dengan
mengundang pemilik modal.
Ibaratnya dilema antara telur dan ayam, mana yang
lebih dahulu ada, demikian juga antara pengembangan sektor transportasi atau
pengembangan sektor ekonomi yang lainnya. Antara keduanya mempunyai hubungan
saling terkait yang sangat kuat sebagai sebab dan akibat. Pengembangan sektor
ekonomi menuntut perkembangan sektor transportasi, sedang pengembangan sektor
transportasi akan memacu perkembangan sektor ekonomi lainnya.
Disadari oleh berbagai pihak bahwa pengembangan
sistem transportasi dalam pelaksanaannya dapat menciptakan berbagai jenis usaha
pendahulu maupun usaha-usaha ikutannya. Atau dapat dikatakan bahwa transporasi
juga merupakan industri jasa yang dapat menghasilkan keuntungan finansial,
seperti yang dilakukan terhadap pelabuhan, bandar udara, maupun jalan tol.
Sehingga masalahnya adalah keberanian para penentu kebijaksanaan pembangunan
untuk menarik investor untuk berinvestasi di wilayah pantai selatan Jawa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar