Suwondo Atmodjahnawi (1981) menyebutkan bahwa masyarakat tradisional
Indonesia pada umumnya mempunyai sifat pola pikir yang: kosmos, religius, dan
komunal. Namun bila dikaji lebih mendalam ketiga sifat pola pikir masyarakat
tersebut tidak hanya terdapat dalam asyarakat tradisional, tetapi sampai
sekarang masyarakat Indonnesia yang modern pun mempunyai sifat pola pikir yang
kosmos, religius, dan komunal.
a. Sifat pola pikir yang kosmos mengandung
keyakinan bahwa manusia merupakan bagian atau unsur dari alam semesta.
Berangkat dari sifat pola pikir yang kosmos maka masyarakat senantiasa berusaha
untuk menyatu (baik secara langsung maupun tidak langsung) atau menyesuaikan
diri dengan alam sekitar Lebih jauh dari hal tersebut masyarakat tradisional
walau secara terselubung berupaya untuk menjaga keseimbagan dengan alam dengan
menjaga kelestarian alam sekitar.
b. Sifat pola pikir yang religius mengandung
keyakinan bahwa manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan. Masyarakat percaya dan
yakin bahwa di atas kekuatan dan kekuasaan manusia masih ada kekuatan dan
kekuasaan yang lain, yatu kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Dari keyakinan itu maka
dalam kehidupannya manusia akan selalu berusaha melaksanakan atau menyesuaikan
diri dengan perintah-perintah Tuhan. Hampir semua kegiatan, terutama
kegiatan-kegiatan yang dianggap penting (berhubungan dengan kehidupan masa
depan) senantiasa diawali melalui acara ritual dengan permohonan (doa) kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Fasilitas-fasilitas tempat beribadah terdapat baik secara
individu maupun kelompok/lingkungan.
c. Sifat pola pikir yang komunal mengandung
pengertian bahwa manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat, karenanya kebersamaan lebih diutamakan dari pada kepentingan
individu (perseorangan). Kewajiban lebih diutamakan dari pada hak.
Gotong-royong, tolong-menolong, sumbangan, rembug atau musyawarah merupakan
wujud nyata dari pola pikir yang komunal tersebut.
Dari hal-hal terurai di atas maka ada 3 (tiga) unsur yang mempengaruhi
hidup dan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Jawa khususnya
dan lebih khusus lagi pada masyarakat trdisional Jawa, yakni unsur-unsur: alam,
agama, dan masyarakat sekitar termasuk pemerintahan. Berangkat dari sifat pola
pikir masyarakat Indonesia yang religius, kosmos dan komunal itu, baik disadari
maupun tidak kebutuhan hidup manusia lebih menekankan pada untuk menyatakan
eksistensi manusia sebagai:
a. mahluk sosial, yang menelurkan kebutuhan
sosial, yakni keseimbangan dirinya terhadap lingkungan sosial (masyarakat)
sekitar yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat kebersamaan
demi kepentingan bersama;
b. mahluk ciptaan Tuhan, yang menelurkan
kebutuhan akan keseimbangan hubungan antara individu dengan Tuhannya, yang
dilaksanakan melalui berbagai kegiatan beribadah sesuai ajaran agama yang
dianut;
c. unsur alam, yang membutuhkan adanya
keseimbangan antara dirinya dengan alam sekitar, dan hal ini dikakukan dengan
memasukkan dirinya (baik secara langsung maupun tidak langsung) ke dalam alam.
Dari ketiga kebutuhan akan keseimbangan
tersbut di atas terlihat bahwa ketiga keseimbangan tersebut secara kumulatif
diupayakan terpenuhi dengan manusia secara individu sebagai titik pusat
terjadinya keseimbangan. Ketidak-seimbangan yang terjadi akan berakibat negatif
terhadap kehidupan masyarakat.
Sebagai indikator adanya kebutuhan akan ketiga macam keseimbangan tersebut
ialah adanya fasilitas-fasilitas untuk mewadahi kegiatan-kegiatan pemenuhnya,
baik dalam skala mikro (rumah tinggal) maupun makro (lingkungan sekitar) yang
antara lain:
a. Ruang untuk berkomunikasi dengan sesama
(tetangga) yang berupa pendapa atau ruang tamu dan sebagainya untuk skala rumah
tinggal, balai pertemuan seperti balai desa, balai banjar dan sebagainya untuk
lingkungan;
b. Ruang suci (tempat ibadah) seperti:
senthong tengah, pesholatan maupun pura untuk lingkup keluarga, maupun mushola,
masjid, gereja untuk lingkup lingkungan (RT, RW, Desa/Kelurahan);
c. Adanya pemilihan hari (yang disesuaikan
dengan hari kelahiran pemilik), orientasi rumah ke arah mata angin atau unsur
alam tertentu (gunung, lautan) halaman dan/atau pekarangan yang luas bagi rumah
tinggal, adanya pohon atau mata air yang dikeramatkan di suatu desa menunjukkan
adanya hubungan antara alam dengan penghuni atau masyarakat.
Kawasan alun-alun dengan dalem dan pendopo kabupaten, masjid,
pusat perbelanjaan atau (pasar) dan alun-alun merupakan satu kesatuan sebagai
bagian dari kota-kota tradisional di Jawa khususnya merupakan contoh konkrit
adanya upaya menjaga keseimbangan antara individu dengan Tuhan dan lingkungan
yang dilakukan secara bersama demi kepentingan bersama di dalam masyarakat.
Dari hal-hal terurai di atas jelas bahwa
masyarakat tradisional Jawa tidak dengan begitu saja dalam membangun rumah,
tetapi melalui pemikiran, perhitungan dan analisis yang mendalam. Banyak unsur
yang harus dipertimbangkan mulai dari tempat atau lokasi bangunan, arah orientasi
bangunan, ukuran, hari saat mulai yang berbeda untuk setiap jenis bangunan
(pendopo, dalem, dapur dan lain-lain) dan tidak ketinggalan selamatan sebagai
ujud permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semua itu hanya satu
tujuan yakni demi keselamatan dan kesejahteraan pemilik atau penghuninya.
“Lebih lama menempatinya dari pada membangunnya”.
Dengan adanya perhitungan terhadap hampir semua unsur bangunan mulai dari
bentuk, kerangka, sampai dengan detail, ornamen/hiasan bangunan mempunyai arti
dan maksud sesuai dengan kondisi dan aspirasi penghuni/pemilik. Atau dengan
kata lain dapat disebutkan bahwa hampir semua unsur bangunan tradisional
merupakan lambang. Setiap lambang mempunyai arti dan maksud tertentu.
Dalam hal bentuk bangunan, masyarakat tradisional Jawa membeda-bedakan
sesuai dengan fungsi bangunan seperti: panggang pe untuk los pasar, tajug
untuk peribadatan, kampung untuk hunian, joglo/ tikelan
untuk ruang pertemuan, traju mas untuk cungkup (rumah
nisan) dan masing-masing bentuk merupakan lambang dari kegiatan yang
diwadahinya. Hal ini kiranya sesuai dengan ungkapan Horatio Greenough dalam
teorinya: form follow function atau bentuk mengikuti fungsi, yang
mengandung dua pengertian bahwa: (a) Bentuk bangunan akan berubah bila
fungsinya berubah dan (b) Fungsi baru tidak mungkin diikuti oleh bentuk lama.
Dengan demikian apabila pengertian tersebut tidak dipenuhi maka kegiatan yang
diwadahinya tidak atau kurang efektif.
Ornamen atau hiasan bangunan tradisional yang pada umumnya beru-pa unsur alam
baik flora maupun fauna, pada umumnya merupakan simbol atau lambang atas suatu
peristiwa bersejarah (dengan candra sengkala memet), atau suatu
harapan/doa atas suatu kondisi yang diharapkan. Hiasan atau ornamen ini tidak
hanya terdapat di dalam bangunan, tetapi juga di luar bangunan yang juga berupa
tanaman dan/atau hewan peliharaan. Setiap jenis tanaman dan hewan mempunyai
arti dan maksud yang berbeda, termasuk menunjukkan status dari pemilik. Dengan
kondisi yang demikian ini maka tepatlah Eko Budihardjo yang mengatakan: “Tunjukkan
rumah anda, maka saya akan tahu siapa anda”.
Dalam alam pikiran masyarakat tradisional, antara manusia, rumah dan
lingkungan selain terdapat hubungan yang sangat erat juga terdapat kesamaan
antara ketiganya. Kesamaan tersebut adalah bahwa:
(a) Baik
manusia, rumah dan lingkungan terdapat unsur mikro kosmos (jagad cilik)
sebagai isi dan makro kosmos (jagad gede) sebagai wadahnya.
(b) Baik manusia, rumah dan lingkungan terdapat
fungsi-fungsi kepala (lebih banyak berhubungan dengan dunia luar), tubuh
(dengan kerangkanya lebih berorientasi ke dalam atau urusan internal), tangan
sebagai sarana aktivitas berkarya dan kaki yang selain sebagai alat/kekuatan
untuk berdiri juga berfungsi pelayanan.
Sebetulnya
struktur sebagaimana tersebut di atas tidak hanya terdapat dalam lingkungan
fisik, tetapi di dalam lingkungan sosial atau non fisik juga terdapat struktur
fungsional yang terdiri dari kepala, tubuh, tangan dan kaki. Dengan demikian
jelas bahwa arsitektur tradisional Jawa secara fisik menunjukkan sifat perilaku
masyarakat yang bersumberkan pada sifat pola pikir yang abtrak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar