Senin, 28 Oktober 2013

SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 1928


 POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA
Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Sumatranen Bond (Pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen Pasoendan, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia; membuka rapat pada tanggal 27 dan 28 October tahoen 1928 dinegeri Djakarta; sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan pembitjaraan jang diadakan dalam kerapatan tadi; sesoedahnja menimbang segala isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini; kerapatan laloe mengambil poetoesan:
PERTAMA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH-DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.
KEDOEA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.
KETIGA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia; mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja:
kemaoean
sejarah
bahasa
hoekoem-adat
pendidikan dan kepandoean;
dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.[]

Senin, 21 Oktober 2013

URBAN DAN URBANISASI



A. Pengertian kota

Marbun (1990) menyadari bahwa pada umumnya orang telah mengetahui wujud fisik kota. Namun untuk memberikan pengertian yang lugas (definisi) tentang kota amatlah sulit. Definisi tentang kota yang ada tidak selalu tepat dan tergantung fokus atau aspek pendekatannya. Pendekatan dari satu disiplin ilmu memberikan pengertian kota yang berbeda dengan disiplin ilmu yang lain. Konsepsi kota pada masa lalu berbeda dengan masa sekarang. Bahkan konsepsi kota dari suatu negara berbeda dengan negara yang lain.
Ditinjau dari berbagai disiplin ilmu, terdapat berbagai pengertian tentang kota.
  1. Menurut ilmu ekonomi, kota merupakan pusat atau tempat bertemunya kegiatan-kegiatan: produksi, distribusi, konsumsi kebutuhan hidup manusia. Sektor ekonomi sekunder dan tersier lebih dominan dari pada sektor primer. Pabrik-pabrik pengolahan dan fasilitas perdagangan baik barang dan jasa banyak dibangun di kota.
  2. Secara sosiologis, kota merupakan wilayah dengan sejumlah penduduk, yang berpola pikir lebih rasional; pola perilaku berlandaskan keuntungan; tingkat kompetisi baik individual maupun kelompok yang tinggi; pola hubungan sekunder. Kontrol sosial kecil.
  3. Dari aspek Teknik Sipil, kota merupakan suatu area tertentu yang dilengkapi dengan jaringan-jaringan prasarana lingkungan (jaringan jalan, drainase, saluran pembuang, jaringan pipa air bersih, jaringan listrik, telepon dan sebagainya), yang dibangun dengan teknologi maju.
  4. Secara Arsitektural, kota merupakan suatu ruang yang sebagian terbesar merupakan daerah terbangun sebagai tempat/wadah kegiatan dengan segala fasilitas penunjang dan pelayanannya bagi penduduk kota dan sekitarnya, dalam mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya.
  5. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, yang dimaksud dengan “kota” adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan kekotaan.

Bagi Pemerintah (baik Pusat maupun Daerah) di Indonesia, yang dalam pelaksanaan tugas sehari-hari lebih berdasarkan pada peraturan hukum, maka ciri-ciri wilayah kota menurut Lampiran Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor: 34 tahun 1986, tanggal 1 Desember 1986 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota Di Seluruh Indonesia adalah bahwa:
a.    Dari aspek fisik, maka wilayah kota mempunyai ciri-ciri:
1)     sebagai tempat permukiman penduduk yang merupakan satu kesatuan dengan luas, jumlah bangunan, kepadatan bangunan yang relatif lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya;
2)     proporsi bangunan permanen lebih besar di tempat itu dari pada di wilayah-wilayah sekitarnya;
3)    mempunyai lebih banyak fasilitas sosial-ekonomi: sekolah, poliklinik, pasar, toko, kantor pemerintahan dan lain-lain dari pada wilayah sekitarnya.
b.    Dari aspek sosial – ekonomi maka wilayah kota mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1)   mempunyai jumlah penduduk yang dalam satu kesatuan areal terbangun berjumlah minimal 20.000 orang di P. Jawa, Madura, dan Bali, atau 10.000 orang di luar pulau-pulau tersebut;
2)     mempunyai kepadatan penduduk yang relatif lebih tinggi dari wilayah sekitarnya
3) mempunyai proporsi jumlah penduduk yang bekerja di sektor-sektor non pertanian, seperti: pemerintahan, perdagangan, industri, jasa dan lain-lain, yang lebih tinggi dari wilayah sekitarnya;
4)   merupakan pusat kegiatan ekonomi yang menghubungkan kegiatan pertanian hinterland dan tempat pemasaran atau prosesing bahan baku untuk kegiatan sendiri.
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa melalui metode komparasi dapat ditentukan apakah suatu wilayah telah merupakan wilayah perkotaan atau belum. Namun yang jelas bahwa wilayah perkotaan tidak terbatas pada suatu daerah administratif tertentu, tetapi dapat melebar ke luar batas administrasi pemerintahan.
Sejalan dengan hal tersebut, Hardoy (dalam Catanase dkk, 1986) mempergunakan berbagai aspek dan sudut pandang sebagai tolok ukur guna memberi kejelasan tentang kota. Tolok ukur kota menurut Hardoy tersebut yaitu:
  1. Luas area dan jumlah penduduk yang besar, untuk jaman dan daerahnya.
  2. Bersifat permanen, sehingga mempunyai nilai sejarah dalam pembentukan dan perkembangannya.
  3. Kepadatan penduduk dan bangunan yang tinggi/besar untuk jaman dan daerahnya.
  4. Pola dasar jaringan jalan, dan struktur penggunaan ruang kota yang jelas.
  5. Sebagai wadah bertempat tinggal, bekerja, dan melakukan berbagai macam kegiatan lainnya untuk mempertahankan hidup dan/atau mengembangkan kehidupannya.
  6. Mempunyai sejumlah tertentu fasilitas pelayanan umum yang sesuai dengan jaman dan daerahnya.
  7. Kondisi masyarakat yang: heterogen, gradualistis, dan spesialistis.
  8. Pola kehidupan masyarakat bersifat urbanis yang sesuai dengan jaman dan daerahnya.
  9. Merupakan pusat kegiatan perekonomian daerah hinter­landnya  yang mengolah bahan mentah (pertanian) untuk dipasarkan secara lebih luas.
  10. Merupakan pusat pelayanan kegiatan sosial bagi daerah sekitarnya.

Dengan mendasarkan pada berbagai kriteria kota tersebut maka, selain kota mempunyai berbagai macam unsur sebagai pra syarat, juga pengertian kota akan berbeda antara satu waktu dengan waktu yang lain, dan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Di samping itu, menurut Branch (1985) kota juga mempunyai pengelola yang dipegang oleh pemerintah kota, yang bersama dengan sub-sub sistem lainnya, menyatu secara terpadu, membentuk dan berpengaruh terhadap keberadaan dan perkembangan bentuk suatu kota (Chadwick, 1981).
Bentuk fisik kota-kota menurut Arthur B. Gallion dan Simin Eisner (1992), yang sensitif terhadap antara penindasan dan keadilan, dibentuk oleh kekuatan-kekuatan ekonomi, sosial dan politik dalam masyarakat. Pengaruh faktor-faktor tesebut pada perkembangan kota di masa lalu hampir dapat membantu mengarahkan dalam memolakan kegiatan-kegiatan pembangunan kota. Para ahli sejarah telah berusaha untuk memilah dan menandai keragaman pola-pola kota. Ada dua bentuk dasar kota yang dapat dikenal di masa lalu yakni kota bertembok (kota tertutup) dan kota terbuka, yang secara rinci dibahas dalam bab berikutnya.
B. Pengertian urbanisasi

Urbanisasi pada umumnya diartikan sebagai pergerakkan/perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pengertian yang demikian ini telah berjalan sejak lama, melembaga seolah menjadi pengertian yang baku. Perpindahan penduduk dari desa ke kota dilakukan dengan maksud baik demi keselamatan dari gangguan-gangguan keamanan, meningkatkan kesejahteraan hidup baik dalam aspek ekonomi (mendapatkan nafkah), aspek pendidikan (sekolah) maupun maksud lainnya, yang sulit didapatkan di desa. Pengertian ini menurut Bintarto (1987) adalah pengertian tentang urbanisasi dari aspek demografi, sehingga ada pengertian lain yang didasarkan pada aspek yang lain pula.
Secara harafiah “urbanisasi” yang berasal dari kata urbanization (Inggris) berarti suatu perubahan dari kondisi bukan urban (rural) menjadi kondisi urban (perkotaan), karenanya Bintarto (1987) menyebut urbanisasi sebagai suatu proses. Arti urbanisasi sebagai suatu proses perubahan dari kondisi rural ke kondisi urban dirasa kurang populair. Perpindahan penduduk dari daerah perdesaan (Desa) ke daerah perkotaan (kota) dapat diartikan secara teknis, sedang pengertian urbanisasi sebagai proses merupakan pengertian secara teori.
Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa daerah perkotaan (urban) mempunyai kondisi dan karakter yang sangat kontras bila dibandingkan dengan daerah perdesaan, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut
Matrik pebedaan antara daerah perdesaan dan daerah perkotaan
PERDESAAN (RURAL)
ASPEK
PERKOTAAN (URBAN)
Sebagai sumber kehidupan
Guna lahan
Sebagai wadah fasilitas
Kepadatan rendah
Penduduk
Kepadatan relatif tinggi
Sektor primer
Ekonomi
Sektor sekunder, tersier
Homogen, hubungan primer
Masyarakat
Heterogen, hubungan sekunder
Cenderung tradisional
Budaya
Lebih modern
Statis
Dinamika sosial
Dinamis
Kecil/rendah
Kompetisi
Besar/tinggi
Terbatas
Fasilitas umum
Lengkap
Sumber: Analisis penulis
Dari tabel tersebut terlihat bahwa dari berbagai aspek, baik fisik maupun non fisik terdapat kondisi yang sangat kontras (berbeda) antara daerah perdesaan dan daerah perkotaan. Perbedaan yang kontras tersebut tersebut pada umumnya (di negara-negara berkembang) dikarenakan adanya pembangunan yang berorientasikan pada daerah perkotaan (Todaro, Micael P, 1985), sebagai akibat tuntutan perkembangan kuantitas dan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan yang tingkat budayanya relatif lebih maju dari pada masyarakat perdesaan.
Perbedaan kondisi antara daerah perdesaan dan daerah perkotaan yang kontras sebagaimana tergambar di atas merupakan suatu proses dalam kehidupan masyarakat secara naluriah (alami), dalam upaya manusia mempertahankan dan mengembangkan kehidupan, untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Dengan demikian jelas bahwa dari hal-hal yang terurai di atas, urbanisasi dapat diartikan sebagai suatu proses sosial yang berjalan sesuai tuntutan kehidupan dari kondisi yang bercirikan perdesaan menjadi kondisi yang bercirikan urban (perkotaan), dengan tujuan untuk mencapai kondisi yang lebih baik.
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa kawasan perkotaan mempunyai berbagai kriteria, yang dengan kriteria-kriteria tersebut dapat diketahui perbedaan antara perdesaan dan perkotaan. Sehubungan dengan hal tersebut maka urbanisasi (sebagai proses menuju perbaikan kondisi kehidupan masyarakat) mestinya tidak hanya dipandang dari satu aspek saja (perubahan domisili dari desa ke kota), tetapi secara komperhensif dari keseluruhan aspek dalam kehidupan masyarakat sebagaimana terlihat dalam matrik Desa – Kota pada tabel.
Dari hal-hal sebagaimana terurai di atas, maka baik secara fisik maupun non fisik dimungkinkan urbanisasi dapat terlaksana tanpa adanya perpindahan tempat tinggal penduduk, tetapi baik secara sadar maupun tidak, atas inisiatif masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan baik secara fisik maupun non fisik dari kondisi perdesaan menjadi kondisi perkotaan. Justru yang sering menimbulkan masalah adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota tanpa diikuti dengan perubahan pola pikir maupun perubahan kondsi fisik lingkungan.

3. Penyebab dan dampak urbanisasi
Sebagaimana telah disebutkan di depan bahwa secara naluriah manusia senantiasa akan berupaya untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya. Salah satyu upaya tersebut adalah dengan berpindah domisili atau urbanisasi. Berangkat dari pengertian urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota maka sosiolog Soerjono Soekanto (1970) menyebutkan terjadinya urbanisasi tersebut karena adanya faktor-faktor pendorong dan penunjang penduduk untuk melakukan perpindahan dari desa ke kota. Faktor‑faktor yang ada di kota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap di kota‑kota (pull factors).
Bila dianalisis sebab‑sebab pendorong orang‑orang desa meninggalkan tempat tinggalnya secara umum, adalah sebagai berikut :
  1. Di desa‑desa lapangan pekerjaan pada umumnya kurang; yang dapat dikerjakan adalah terutama kesemuanya berhubungan dengan kesulitan­-kesulitan tantangan dan konsisi alam. Keadaan tersebut menimbulkan pengangguran yang tersamar atau "disguised unemployment".
  2. Penduduk desa, terutama kaum muda‑mudi, merasa tertekan oleh adat‑isdadat yang ketat yang mengakitbatkan suatu cara hidup yang monoton. Untuk mengembangkan pertumbuhan jiwanya, banyak yang pergi ke kota.
  3. Di desa‑desa tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan. Oleh sebab itu banyak orang‑orang yang ingin maju, kemudian mening­galkan desanya untuk menambah pengetahuannya di kota.
  4. Rekreasi yang merupakan salah satu faktor penting di bidang spiritual kurang sekali dan kalau juga ada, perkembangannya sangat lambat.
  5. Bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian lain daripada bertani seperti misalnya kerajinan tangan, tentu menginginkan pasaran yang lebih luas lagi hasil produksinya. Ini tidak mungkin didapatkan di desa.

Sebaliknya beberapa faktor penarik dari kota sehingga terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota adalah sebagai berikut:
  1. Penduduk desa kebanyakan dihinggapi suatu anggapan, bahwa di kota banyak pekerjaan serta banyak penghasilain (uang). Karena sirkulasi uang di kota jauh lebih cepat, lebih besar dan lebih banyak, maka di daerah perkotaan relatif lebih mudah untuk mendapatkan uang daripada di daerah perdesaan.
  2. Di kota‑kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan industri dan lain‑lain. Hal ini dikarenakan, lebih telah tersedianya fasilitas-fasilitas baik perangkat keras maupun perangkat lunaknya.
  3. Kelebihan modal (terutama kredit perbankan) di kota, lebih hanyak daripada di desa.
  4. Pendidikan (terutarna pendidikan lanjutan) lebih banyak di kota, dan dengan sendirinya lebih mudah didapat.
  5. Kota merupakan suatu tempat yang lebih menguntungkan untuk me­ngembangkan jiwa dengan sebaik‑baiknya dan seluas‑luasnya.
  6. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam orang dari segala lapisan.

Beberapa faktor pendorong dan penarik sebagaimana disebutkan di atas, menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota. Orang yang sudah meninggalkan, ternpat tinggalnya di desa, mernpunyai kecenderungan untuk tetap tinggal di kota. Faktor transportasilah yang menjadi penghambat bagi mereka untuk pulang balik dari desa ke kota, mereka hanya akan kembali apabila ada keperluan penting seperti akan menengok sanak keluarga misalnya. Di dalam. rangka ini, kernungkinan besar urbanisasi tersebut mengakibatkan perluasan kota, oleh karena pusat kota tidak akan mungkin menampung. perpindahan penduduk desa yang begitu banyak. Timbullah tempat‑tempat tinggal baru di ping­giran kota. Proses tersebut di dalam sosiologi dikenal dengan proses pembentukan suburb (Soerjono Soekanto, 1970). Sebaliknya, hubungan dengan kota‑kota, menyebabkan pula terjadinya perubahan di desa‑desa, oleh karena orang‑orang yang kemudian tinggal di kota, sekali‑kali akan kembali juga ke desanya. Beberapa unsur kehidupan di kota akan dibawanya serta, sehingga ada pula rekan­ rekannya warga desa yang meniru gaya kehidupan orang di kota, proses demikian dinamakan pula urbanisme (Soerjono Soekanto, 1970).
Kondisi yang demikian ini nampak dengan jelas pada tradisi mudik lebaran yang telah membudaya di Indonesia kususnya di P. Jawa. Dari berita-berita di media massa diketahui bahwa perubahan perilaku dan uang bermilyar-milyar dibawa pulang mudik dari kota-kota besar ke daerah asal, yang pada umumnya masih bersifat perdesaan. Hal ini akan menarik bagi teman dan saudaranya yang lain untuk mencoba mengadu nasib di kota besar. Dengan modal para urbanisan inilah banyak daerah di Jawa Tengah yang terbangun atas dana dari para pemudik ini.
Berangkat dari pengertian urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota, maka jelas bahwa jumlah penduduk di kota. Dari Prospektif Volume: 5 Nomor: 4 tahun 1993 diketahui bahwa data statistik secara Nasional antara tahun 1980 – 1990: (a) pertumbuhan jumlah penduduk rata-rata per tahun: 1,98%; (b) pertumbuhan jumlah penduduk di perdesaan rata-rata per tahun: 0,79%; (c) pertumbuhan jumlah penduduk di perkotaan rata-rata per tahun: 5,36%; dan (d) pertumbuhan urbanisasi rata-rata per tahun: 3,36%. Angka pertumbuhan ini diperkirakan akan semakin besar bila kebijakan pola pengembangan bidang ekonomi pemerintah Indonesia masih berorientasikan pada pengembangan sektor industri, jasa, dan perdagangan, serta sektor transportasi dan komunikasi yang terpusat di daerah perkotaan.
Sebagaimana diketahui bahwa sebagai akibat dari adanya pembangunan yang dipusatkan di daerah perkotaan (urban bias) adalah membanjirnya perpindahan penduduk (dengan modal pengetahuan/keahlian dan dana seadanya), dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dengan tujuan utama adalah mempertahankan hidup dan meningkatkan kehidupan.
Keuntungan yang secara langsung dapat diperoleh dengan adanya aliran tenaga dari perdesaan adalah tersedianya tenaga kasar yang dapat dimanfaatkan untuk kerja-kerja kasar, atau kegiatan-kegiatan di sektor informal lainnya (pembantu rumah tangga, tukang rumput, centeng, pedagang kaki lima dan kelilingan, pemulung dan lain sebagainya) yang juga sangat dibutuhkan bagi mereka yang bergerak di sektor formal (pengusaha, pegawai dan sebagainya) untuk mengurusi hal-hal yang sepele di rumah.
Dengan adanya kerjasama yang baik antara sektor formal dan sektor informal akan semakin mempercepat laju pertumbuhan pembangunan di perkotaan. Namun hal ini akan semakin menarik dan semakin memperbesar laju urbanissi. Dengan demikian jumlah penduduk kota pun semakin besar pula. Namun perlu dicatat bahwa mereka adalah pendatang, penduduk sementara, bukan terdaftar sebagai penduduk asli, sehingga dalam perencanaan penyediaan fasilitas utilitas seringnya terabaikan. Akibat yang ditimbulkan adalah prediksi kebutuhan fasilitas utilitas semakin besar biasnya.
Sesuai dengan sifat pola pikir masyarakat perdesaan yang lebih mengutamakan kebersamaan, maka mereka (para urbanisan) di daerah perkotaan akan hidup mengelompok membentuk suatu komunitas sendiri, sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Sesuai dengan kondisinya itu, maka menimbulkan dampak yang antara lain:
  1. Aspek ekonomi: (1) timbulnya berbagai macam kegiatan ekonomi sektor informal; (2) timbulnya pengangguran; dan (3) timbulnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
  2. Aspek sosial dan budaya: (1) kepadatan penduduk tinggi, dengan tingkat pendidikan penduduk yang rendah; (2) timbulnya bentrokan budaya antar ras, suku, dan agama; (3) timbulnya perbuatan pelanggaran hukum khususnya hukum pidana seperti: kriminalitas, prostitusi, dan sebagainya.
  3. Aspek fisik, bahwa kondisi fisik lingkungan (dengan unsur-unsur: permukiman, tempat bekerja, jaringan transportasi, fasilitas utilitas, dan fasilitas pelayanan sosial), yang jauh memenuhi persyaratan, baik secara kuantitas, maupun secara kualitas (teknis, kesehatan, etika, maupun estetika). Keadaan yang demikian biasa disebut sebagai permukiman kumuh (slump). Kondisi fisik lingkungan yang demikian ini dapat terjadi pula pada daerah bukan karena urbanisasi secara demografi, tetapi juga karena urbanisasi secara sosiologis (perubahan dari pola pikir perdesaan ke pola pikir perkotaan).

Sebagaimana telah disebutkan di depan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di perkotaan rata-rata per tahun sebesar: 5,36%. Dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk secara nasional rata-rata sebesar 1,98 % per tahun, maka terlihat bahwa laju urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota) di Indonesia sangat besar, yakni 3,36%. Mereka (para urbanisan) pada umumnya adalah dari kelompok usia produktif baik laki-laki maupun wanita, dan mayoritas adalah laki-laki.
Dengan begitu banyaknya tenaga kerja produktif (terutama kaum laki-laki) dari desa yang mencoba mengadu nasib di perkotaan, maka di daerah asal (perdesaan) akan terjadi kekurangan tenaga kerja, terutama pekerja kasar di sektor pertanian. Di beberapa daerah perdesaan di Jawa Tengah kekurangan tenaga kerja laki-laki bukan hanya untuk menggarap lahan pertanian, tetapi juga untuk kegiatan sosial lainnya seperti ronda malam, gotong-royong untuk berbagai kepentingan bersama.
Di balik kekurangan tenaga kerja produktif, keuntungan yang diperoleh bagi desa asal urbanisan adalah mengalirnya dana hasil kerja di kota, yang selain untuk nafkah sehari-hari juga biaya pendidikan anak-anak serta perbaikan rumah tinggal dan bangunan fasilitas sosial lainnya (mushola dan masjid). Budaya perkotaan yang semu juga menular ke masyarakat perdesaan.

Selasa, 08 Oktober 2013

Senin, 07 Oktober 2013

PEMEKARAN WILAYAH



 

Sebagaimana kita ketahui bahwa masalah pemekaran Kab. Banyumas menjadi Kota Purwokerto dan Kab. Banyumas telah diamanahkan dalam Perda No. 7 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kab. Banyumas  tahun 2005 – 2025. Dalam Perda tersebut antara lain disebutkan bahwa: dalam periode tahun 2010 – 2014 akan diadakan program-program untuk mempersiapkan pemekaran dan dalam periode tahun 2015 – 2019 (kalau sudah siap/layak berdasarkan hasil evaluasi tahunan) akan diusulkan pemekaran wilayah tersebut.
Adapun latar belakang adanya program pemekaran wilayah adalah didasarkan pada begitu besarnya kesenjangan ekonomi antara kawasan perkotaan (khususnya Purwokerto) dengan kawasan perdesaan sebagai hinterlandnya. Tahun 2005 income per capita kawasan perkotaan sekitar 6 juta rupiah per tahun dengan laju pertumbuhan sekitar 5,5% per tahun. Sedang di kawasan perdesaan income per capita tidak sampai 2,5 juta rupiah per tahun dengan laju pertubuhan yang tidak sampai 2,5% per tahun. Dan bila hal ini dibiarkan atau tidak ditangani secara serius jelas akan terus semakin besar kesenjangan tersebut.
Dengan demikian persiapan pemekaran yang harus dilaksanakan antara lain: (1) Penetapan rencana wilayah pemerintahan Kota Purwokerto, yang juga bisa dijadikan sebagai evaluasi dan revisi Perda tentang RUTRK – RDTRK Kota Purwokerto tahun 2002 yang sudah saatnya untuk dievaluasi dan direvisi kembali. Namun evaluasi dan revisi tersebut sampai saat ini belum nampak hasilnya. (2) Membangun pusat-pusat pertumbuhan ekononi di kawasan perdesaan secara merata, khususnya di bidang Agropolitan, Agro wisata. Agro industri dan sektor pariwisata (Wisata budaya dan wisata alam) sebagaimana telah ditetapkan dalam Perda RPJPD Kab. Banyumas.
Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional altara laindisebutkan bahwa visi misi calon bupati dan wakil bupati wajib mengacu pada RPJPD Kabupaten agar pembangunan di daerah dapat dilaksanakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Dengan demikian Perda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kab. Banyumas yang disusun oleh pemerintahan pasangan bupati – wakil bupati Husen – Budhi adalah suatu kesempatan yang sangat strategis selain untuk mengevaluasi sudah sejauh mana persiapan pemekaran yang dilakukan oleh pemerintah Kab. Banyumas selama pemerintahan Bupati Mardjoko sebagai modal awal bagi pemerintahan bupati A. Husein selama 5 tahun ke depan. Sehingga pada tahun 2019 mendatang Kab. Banyumas sudah layak untuk dimekarkan apa belum. Bila belum sudah seharusnya tongkat estafet pemekaran tersebut diserahkan pada pemerintahan bupati periode berikutnya.
Satu hal yang sangat disayangkan ialah bahwa dalam Laporan Raperda Kab. Banyumas tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kab. Banyumas, yang tebalnya sekitar 275 halaman itu terdapat banyak hal-hal yang kurang pas dalam kaitannya program pemekaran wilayah tersebut, seperti:
(1)    Walaupun Perda tentang RPJPD Kab. Banyumas telah dijadikan landasan hukum, namun tidak ada satu alineapun analisis, yang secara tegas membahas tentang program-program kegiatan yang tercantum dalam Perda RPJPD Kab. Banyumas tersebut, khususnya mengevaluasi kegiatan persiapan pemekaran. Hal ini terjadi karena pada masa pemerintahan Bupati Mardjoko, tidak ada kegiatan yang secara tegas menyebutkan sebagai kegiatan persiapan pemekaran wilayah.
(2)    Analisis evaluasi kegiatan-kegiatan 5 tahun sebelumnya amat dangkal, tidak ditemukan akar/sumber masalah yang ada kebanyakan hanya indikator masalah.
(3)    Seperti halnya dalam pemerintah Bupati Mardjoko, pada pemerintahan Bupati A. Husein atau dalam RPJMD Kab. Banyumas Tahun 2013 – 2018 juga tidak disebutkan secara tegas pula program-program kegiatan yang dipersiapkan (lanjutan) dalam rangka pemekaran wilayah. Hal ini juga akan mempersulit dalam mengevaluasi kesiapan pemekaran wilayah itu sendri.
Suatu hal yang sulit dimengerti adalah bahwa pembahasan draft Lampiran Raperda RPJMD Kab. Banyumas yang tebalnya tidak kurang dari 270 halaman, dapat diselesaikan hanya dalam waktu beberapa hari saja. Hal ini merupakan pengulangan peristiwa 5 tahun yang lalu oleh anggota legislative periode yang sama, yaitu saat pembahasan Raperda RPJMD Kab. Banyumas Tahun 2008 – 2013.

CATATAN
Pada kasus 5 tahun yang lalu, suatu kebetulan saya masih tercatat sebagai Tenaga Ahli DPRD Kab. Banyumas, sedang pada yang sekarang, berdasar surat dari Ketua DPRD Kab. Banyumas No. 800/669 tertanggal 27 Agustus 2013, saya ditugaskan sebagai Tenaga Ahli yang diperbantukan sebagai pendamping dalam pembahasan dan penyusunan Raperda RPJMD Kab. Banyumas tahun 2013 – 2018. Namun hasil kerja saya yang memakan waktu berminggu-minggu rasanya tidak ada manfaatnya,

Purwokerto, 3 Oktober 2013