Hari Senin, tanggal 26 Desember 2005 yang lalu Balitbangtelarda (Badan
Penelitian Pengembangan Telematika dan Arsip Daerah) Kabupaten Banyumas telah
menyelenggarakan Seminar tentang Pemanfaatan Lahan Bekas Terminal Bus
Purwokerto, hasil pengkajian dari Tim (?) Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Forum
Seminar ini merupakan forum pertemuan ketiga yang dilaksanakan oleh
Balitbangtelarda. Pertama pembahasan Laporan Pendahuluan oleh Tim Teknis, kedua
pembahasan Laporan Antara, ketiga pembahasan Draft Laporan Akhir. Keempat forum
pertemuan tersebut cukup mendapat perhatian dari peserta terindikasi dari cukup
banyaknya kritik dan saran yang masuk dari peserta pertemuan.
Dari Executive Summary (sebagai materi seminar) dapat diketahui,
pengkajian ini dengan latar belakang bahwa lahan bekas terminal bus perlu dimanfaatkan secara optimal
untuk: (a) meningkatkan PAD Kabupaten Banyumas, (b) memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk memanfaatkan aset untuk wadah aktivitas yang
menguntungkan secara ekonomi, dan (c) menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi
baru di kota
Purwokerto dan sekitarnya.
Data dan informasi dasar penyusunan laporan bersumber dari: (1) RTRW
Propinsi Jawa Tengah, (2) RTRW Kabupaten Banyumas, (3) RUTRK-RDTRK Kota
Purwokerto, (4) Pengamatan lapangan, dan (5) masukan (saran) dari peserta
pertemuan. Walau tidak semua saran dapat dimasukkan namun terlihat ada
perbaikan laporan yang cukup berarti, baik dalam substansi maupun dalam
sistematika pembahasan.
Dari data, diketahui bahwa secara makro (1) kota Purwokerto akan dikembangkan secara cepat, terutama
dalam sektor industri dan perdagangan, (2) Kota Purwokerto sebagai pusat
pengembangan SWP I dengan potensi yang perlu dikembangkan antara lain:
pariwisata, perdagangan dan jasa dan (3) lahan bekas terminal berada pada lokasi yang
sangat strategis karena baik jalur jalan Gerilya maupun jalan K.H. Wachid
Hasyim merupakan jalur jalan kolektor primer (fungsi pelayanan regional).
Dari analisis terhadap kondisi tapak dapat
diketahui bahwa pengembangan fungsi lahan bekas terminal seluas 1,80 Ha. diarahkan
untuk fungsi perdagangan dan jasa dengan mengoptimalkan luas tapak yang ada,
dengan Kepadatan Bangunan antara 65% (jalan K.H. Wachid Hasyim) sampai 85%
(jalan Gerilya), dan Ketinggian Bangunan antara 8 lantai (jalan K.H. Wachid Hasyim)
sampai 10 lantai (jalan Gerilya). Jaringan utilitas (listrik, telepon,
drainase, air bersih dan air kotor) di lokasi cukup memadai (jaringan primer).
Walaupun sejak
awal (pembahasan Laporan Antara) telah diingatkan bahwa dalam Metode dan
diagram Metode Penyusunan Pengkajian Tim Peneliti akan menyajikan pendekatan
dan Survei Substansial dalam aspek-aspek: sosial, ekonomi dan budaya (hal ini
juga banyak dipertanyakan dalam Seminar). Namun dalam Executive Summary
aspek-aspek tersebut tidak nampak. Karenanya dalam analisis SWOT hanya aspek
Teknis Planologis dan aspek Pasar yang dijadikan variabel atau kriteria
penentuan hasil/kesimpulan.
Analisis SWOT diterapkan bukan untuk menentukan jenis bangunan, tetapi
untuk menentukan hirarkhi atau peringkat penilaian terhadap empat jenis fungsi
bangunan yakni: Mixed Used Building (Bangunan Fungsi Campuran), Taman Kota,
Pasar Tradisional, dan Pasar Modern. Pemunculan keempat jenis fungsi bangunan
tersebut didasarkan pada aspirasi (keinginan) yang beredar di masyarakat, jadi
bukan hasil analisis kebutuhan. Dari sini terlihat bahwa Tim Peneliti (DRD Jawa
Tengah) sudah terpengaruh opini publik. Menurut RUTRK kota Purwokerto (yang telah ditetapkan
menjadi Perda) kebutuhan/kekurangan fasilitas-fasilitas di kota Purwokerto tahun 2011 adalah: gedung
SLTP (20 unit), gedung SLTA (11 unit), BKIA dan RS Bersalin (15 unit), dan Pusat
Perdagangan (5 unit).
Dari hasil analisis SWOT terhadap keempat jenis bangunan tersebut
diperoleh nilai dengan urutan (1) Mixed
Used Building,
(2) Pasar Tradisional, (3) Taman Kota, dan (4) Pasar Modern. Dalam
rekomendasinya Koordinator Penyaji, Ir. Gunarto (penyaji lainnya: Ir. Ari
Purwanto dan Ir. Rahman Ismail) menjelaskan
bahwa keempat alternatif fungsi bangunan tersebut dapat dipilih, terserah
Pemerintah Kabupaten, mau memilih yang mana, yang kemudian ditindaklanjuti
dengan Studi Kelayakan dan studi-studi yang lain (AMDAL, UKL, UPL dan
lalulintas). Rekomendasi yang demikian ini kiranya sama saja tidak ada
kajian/penelitian.
Mixed Used Building disimpulkan sebagai alternatif
dengan nilai tertinggi. Mixed Used
Building (bukan Area)
atau bangunan dengan penggunaan campuran, yang dahulu sering disebut dengan
istilah “Gedung Serba Guna”. Secara arsitektural hal tersebut sulit
dilaksanakan, dan kalau dilaksanakan efektivitas kegiatan yang dilaksanakan di dalamnya tidak atau kurang bisa optimal. Dalam teori “form
follow function” Horatio Greenough menjelaskan bahwa: (a) bentuk
bangunan akan berubah bila fungsinya berubah, dan (b) fungsi baru tidak mungkin
diikuti oleh bentuk lama (Sutrisno, 1983).
Sebelum teori Horatio Greenough masuk ke Indonesia/Jawa, para arsitek
tradisional Jawa telah membedakan bentuk-bentuk bangunan (atap) sesuai dengan
fungsi atau kegiatan yang diwadahi. Kita mengenal berbagai bentuk (atap)
bangunan tradisional dengan fungsi yang berbeda, seperti: joglo untuk bale (tempat
musyawarah), tajug untuk peribadatan,
kampung
untuk tempat tinggal, panggang-pe
untuk pasar, traju-mas untuk cungkup dan lain-lain, yang kesemuanya merupakan
simbol/lambang atau mempunyai arti khusus/spesifik. Sungguh bijaksana.
Bila dikaji lebih cermat maka sebenarnya yang dimaksud Tim Peneliti
adalah bukan Mixed Used Building, tetapi Mixed Used Area, yang di dalam area
tersebut akan dibangun berbagai fasilitas sesuai aspirasi masyarakat, yakni:
(1) fasilitas perdagangan dari Ruko sampai los-los terbuka untuk pedagang
kecil, (2) public space yang di
dalamnya terdapat fasilitas-fasilitas: theatre
terbuka (tempat pementasan kesenian tradisional dan modern, baca puisi atau
mungkin juga pidato ungkapan ketidak-puasan atas kebijakan pemerintah), play ground, hutan kota serta pusat
informasi potensi Kabupaten Banyumas. Semua fasilitas itu akan diwadahi dalam
area seluas 1,53 Ha (bukan 1,80 Ha). Sungguh ideal.
Eko Budihardjo (1986) mengingatkan bahwa: “Arsitek dalam melaksanakan
tugasnya maka, keahlian dan kepekaannya terhadap lingkungan sekitarnya, baik
lingkungan fisik (ekosistem) maupun lingkungan non fisik (sosial sistem),
dedikasi terhadap tugasnya, sangat menentukan apakah ruang-ruang dan lingkungan
hidup yang dibangunnya menjadi tempat yang menyenangkan atau tidak. Arsiteklah
penggubah permukaan bumi kota.
Sekali Arsitek membuat kesalahan, seumur hidup akan terlihat. Melenyapkan suatu
bangunan dari muka bumi ini tidak semudah memindahkan lukisan yang dianggap
jelek”. Karenanya Goethe mengingatkan: “….. maka pembangun/Arsitek seharusnya
tidak meraba-raba dan mencoba-coba apa yang seharusnya tetap berdiri harus
tetap berdiri, dan jika tidak untuk abadi, untuk waktu yang cukup panjang.
Orang boleh berbuat kesalahan, tetapi tidak dalam membangun”.
Akhirnya, dengan teori mengandai-andai, bagaimana kalau area/lahan bekas
terminal bus Purwokerto didirikan suatu bangunan menara atau sebut saja “Tower Purwokerto”, dengan penataan
fungsi ruang sebagai berikut: (1) basement
dan lantai pertama untuk parkir, (2) lantai kedua sampai kelima untuk mall, (3) lantai keenam dan ketujuh
untuk restoran, diskotik, dan souvenir, (4) lantai kedelapan untuk ruang
pertemuan, (5) lantai kesembilan dan
kesepuluh untuk hotel, (6) atap untuk roof garden sebagai taman kota yang dari
sana orang dapat menikmati keindahan kelap-kelipnya lampu kota Purwokerto
sampai Baturaden, (6) di sekitar halaman bangunan ditanami pohon rindang yang
di bawahnya terdapat PKL dan abang becak mangkal secara tertib melayani masyarakat
sekitar dan para karyawan yang bekerja di Tower
Purwokerto tersebut.
Dengan pola sharing modal antara Pemerintah Kabupaten Basnyumas dengan
pemodal (investor), kiranya berbagai permasalahan dapat teratasi, seperti penerimaan
PAD (dari bagi hasil keuntungan, pajak dan retribusi), pengurangan pengangguran
(sebagai karyawan) dan sector informal khusunsnya untuk pemindahan PKL Alun-alun
yang dirasa kurang menunjang fungsi alun-alun sebagai pusat kegiatan formal
(Pemerintahan), serta kurangnya fasilitas rekreasi alam bagi masyarakat (taman
kota). Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Mudah-mudahan.
Purwokerto, akhir Desember 2005
GENDU-GENDU RASA
SUARA MERDEKA, .5 Januari 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar