Selasa, 10 September 2013

MENARA PURWOKERTO DI LAHAN BEKAS TERMINAL KARANGKLESEM




Hari Senin, tanggal 26 Desember 2005 yang lalu Balitbangtelarda (Badan Penelitian Pengembangan Telematika dan Arsip Daerah) Kabupaten Banyumas telah menyelenggarakan Seminar tentang Pemanfaatan Lahan Bekas Terminal Bus Purwokerto, hasil pengkajian dari Tim (?) Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Forum Seminar ini merupakan forum pertemuan ketiga yang dilaksanakan oleh Balitbangtelarda. Pertama pembahasan Laporan Pendahuluan oleh Tim Teknis, kedua pembahasan Laporan Antara, ketiga pembahasan Draft Laporan Akhir. Keempat forum pertemuan tersebut cukup mendapat perhatian dari peserta terindikasi dari cukup banyaknya kritik dan saran yang masuk dari peserta pertemuan.
Dari Executive Summary (sebagai materi seminar) dapat diketahui, pengkajian ini dengan latar belakang bahwa lahan bekas terminal bus perlu dimanfaatkan secara optimal untuk: (a) meningkatkan PAD Kabupaten Banyumas, (b) memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan aset untuk wadah aktivitas yang menguntungkan secara ekonomi, dan (c) menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di kota Purwokerto dan sekitarnya.
Data dan informasi dasar penyusunan laporan bersumber dari: (1) RTRW Propinsi Jawa Tengah, (2) RTRW Kabupaten Banyumas, (3) RUTRK-RDTRK Kota Purwokerto, (4) Pengamatan lapangan, dan (5) masukan (saran) dari peserta pertemuan. Walau tidak semua saran dapat dimasukkan namun terlihat ada perbaikan laporan yang cukup berarti, baik dalam substansi maupun dalam sistematika pembahasan.
Dari data, diketahui bahwa secara makro (1) kota Purwokerto akan dikembangkan secara cepat, terutama dalam sektor industri dan perdagangan, (2) Kota Purwokerto sebagai pusat pengembangan SWP I dengan potensi yang perlu dikembangkan antara lain: pariwisata, perdagangan dan jasa dan (3) lahan bekas terminal berada pada lokasi yang sangat strategis karena baik jalur jalan Gerilya maupun jalan K.H. Wachid Hasyim merupakan jalur jalan kolektor primer (fungsi pelayanan regional).
 Dari analisis terhadap kondisi tapak dapat diketahui bahwa pengembangan fungsi lahan bekas terminal seluas 1,80 Ha. diarahkan untuk fungsi perdagangan dan jasa dengan mengoptimalkan luas tapak yang ada, dengan Kepadatan Bangunan antara 65% (jalan K.H. Wachid Hasyim) sampai 85% (jalan Gerilya), dan Ketinggian Bangunan antara 8 lantai (jalan K.H. Wachid Hasyim) sampai 10 lantai (jalan Gerilya). Jaringan utilitas (listrik, telepon, drainase, air bersih dan air kotor) di lokasi cukup memadai (jaringan primer).
Walaupun sejak awal (pembahasan Laporan Antara) telah diingatkan bahwa dalam Metode dan diagram Metode Penyusunan Pengkajian Tim Peneliti akan menyajikan pendekatan dan Survei Substansial dalam aspek-aspek: sosial, ekonomi dan budaya (hal ini juga banyak dipertanyakan dalam Seminar). Namun dalam Executive Summary aspek-aspek tersebut tidak nampak. Karenanya dalam analisis SWOT hanya aspek Teknis Planologis dan aspek Pasar yang dijadikan variabel atau kriteria penentuan hasil/kesimpulan.
Analisis SWOT diterapkan bukan untuk menentukan jenis bangunan, tetapi untuk menentukan hirarkhi atau peringkat penilaian terhadap empat jenis fungsi bangunan yakni: Mixed Used Building (Bangunan Fungsi Campuran), Taman Kota, Pasar Tradisional, dan Pasar Modern. Pemunculan keempat jenis fungsi bangunan tersebut didasarkan pada aspirasi (keinginan) yang beredar di masyarakat, jadi bukan hasil analisis kebutuhan. Dari sini terlihat bahwa Tim Peneliti (DRD Jawa Tengah) sudah terpengaruh opini publik. Menurut RUTRK kota Purwokerto (yang telah ditetapkan menjadi Perda) kebutuhan/kekurangan fasilitas-fasilitas di kota Purwokerto tahun 2011 adalah: gedung SLTP (20 unit), gedung SLTA (11 unit), BKIA dan RS Bersalin (15 unit), dan Pusat Perdagangan (5 unit).
Dari hasil analisis SWOT terhadap keempat jenis bangunan tersebut diperoleh nilai dengan urutan (1) Mixed Used Building, (2) Pasar Tradisional, (3) Taman Kota, dan (4) Pasar Modern. Dalam rekomendasinya Koordinator Penyaji, Ir. Gunarto (penyaji lainnya: Ir. Ari Purwanto dan Ir. Rahman Ismail) menjelaskan bahwa keempat alternatif fungsi bangunan tersebut dapat dipilih, terserah Pemerintah Kabupaten, mau memilih yang mana, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Studi Kelayakan dan studi-studi yang lain (AMDAL, UKL, UPL dan lalulintas). Rekomendasi yang demikian ini kiranya sama saja tidak ada kajian/penelitian.
Mixed Used Building disimpulkan sebagai alternatif dengan nilai tertinggi. Mixed Used Building (bukan Area) atau bangunan dengan penggunaan campuran, yang dahulu sering disebut dengan istilah “Gedung Serba Guna”. Secara arsitektural hal tersebut sulit dilaksanakan, dan kalau dilaksanakan efektivitas kegiatan yang dilaksanakan di dalamnya  tidak atau kurang bisa optimal. Dalam teori “form follow function” Horatio Greenough menjelaskan bahwa: (a) bentuk bangunan akan berubah bila fungsinya berubah, dan (b) fungsi baru tidak mungkin diikuti oleh bentuk lama (Sutrisno, 1983).
Sebelum teori Horatio Greenough masuk ke Indonesia/Jawa, para arsitek tradisional Jawa telah membedakan bentuk-bentuk bangunan (atap) sesuai dengan fungsi atau kegiatan yang diwadahi. Kita mengenal berbagai bentuk (atap) bangunan tradisional dengan fungsi yang berbeda, seperti: joglo untuk bale (tempat musyawarah), tajug untuk peribadatan,  kampung untuk tempat tinggal, panggang-pe untuk pasar, traju-mas untuk cungkup dan lain-lain, yang kesemuanya merupakan simbol/lambang atau mempunyai arti khusus/spesifik. Sungguh bijaksana.
Bila dikaji lebih cermat maka sebenarnya yang dimaksud Tim Peneliti adalah bukan Mixed Used Building, tetapi Mixed Used Area, yang di dalam area tersebut akan dibangun berbagai fasilitas sesuai aspirasi masyarakat, yakni: (1) fasilitas perdagangan dari Ruko sampai los-los terbuka untuk pedagang kecil, (2) public space yang di dalamnya terdapat fasilitas-fasilitas: theatre terbuka (tempat pementasan kesenian tradisional dan modern, baca puisi atau mungkin juga pidato ungkapan ketidak-puasan atas kebijakan pemerintah), play ground, hutan kota serta pusat informasi potensi Kabupaten Banyumas. Semua fasilitas itu akan diwadahi dalam area seluas 1,53 Ha (bukan 1,80 Ha). Sungguh ideal.
Eko Budihardjo (1986) mengingatkan bahwa: “Arsitek dalam melaksanakan tugasnya maka, keahlian dan kepekaannya terhadap lingkungan sekitarnya, baik lingkungan fisik (ekosistem) maupun lingkungan non fisik (sosial sistem), dedikasi terhadap tugasnya, sangat menentukan apakah ruang-ruang dan lingkungan hidup yang dibangunnya menjadi tempat yang menyenangkan atau tidak. Arsiteklah penggubah permukaan bumi kota. Sekali Arsitek membuat kesalahan, seumur hidup akan terlihat. Melenyapkan suatu bangunan dari muka bumi ini tidak semudah memindahkan lukisan yang dianggap jelek”. Karenanya Goethe mengingatkan: “….. maka pembangun/Arsitek seharusnya tidak meraba-raba dan mencoba-coba apa yang seharusnya tetap berdiri harus tetap berdiri, dan jika tidak untuk abadi, untuk waktu yang cukup panjang. Orang boleh berbuat kesalahan, tetapi tidak dalam membangun”.
Akhirnya, dengan teori mengandai-andai, bagaimana kalau area/lahan bekas terminal bus Purwokerto didirikan suatu bangunan menara atau sebut saja “Tower Purwokerto”, dengan penataan fungsi ruang sebagai berikut: (1) basement dan lantai pertama untuk parkir, (2) lantai kedua sampai kelima untuk mall, (3) lantai keenam dan ketujuh untuk restoran, diskotik, dan souvenir, (4) lantai kedelapan untuk ruang pertemuan, (5)  lantai kesembilan dan kesepuluh untuk hotel, (6) atap untuk roof garden sebagai taman kota yang dari sana orang dapat menikmati keindahan kelap-kelipnya lampu kota Purwokerto sampai Baturaden, (6) di sekitar halaman bangunan ditanami pohon rindang yang di bawahnya terdapat PKL dan abang becak mangkal secara tertib melayani masyarakat sekitar dan para karyawan yang bekerja di Tower Purwokerto tersebut.
Dengan pola sharing modal antara Pemerintah Kabupaten Basnyumas dengan pemodal (investor), kiranya berbagai permasalahan dapat teratasi, seperti penerimaan PAD (dari bagi hasil keuntungan, pajak dan retribusi), pengurangan pengangguran (sebagai karyawan) dan sector informal khusunsnya untuk pemindahan PKL Alun-alun yang dirasa kurang menunjang fungsi alun-alun sebagai pusat kegiatan formal (Pemerintahan), serta kurangnya fasilitas rekreasi alam bagi masyarakat (taman kota). Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Mudah-mudahan.

Purwokerto, akhir Desember 2005

GENDU-GENDU RASA
SUARA MERDEKA, .5 Januari 2006


Tidak ada komentar:

Posting Komentar