PERKEMBANGAN UNGKAPAN FISIK
BALAI DESA DI KABUPATEN BANYUMAS
A. Pendahuluan
1. Pengertian singkat
a. Balai Desa
Balai (bale)
adalah bangunan umum (Hilman Hadikusuma, 1977). Analogi dari Balai Banjar,
Balai Kuta, maka Balai Desa adalah bangunan umum di suatu desa, yang merupakan
tempat berkumpul bagi kepala‑kepala rumah tangga untuk mengadakan sidang (musyawarah)
menganai desanya setiap 35 (selapan) hari sekali, dengan di bawah pimpinan
Kepala Desa (Hilman Hadikusuma, 1977).
b. Kabupaten Banyumas
Kabupaten
Banyumas merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah,
secara sosio‑geografis berbatasan langsung dengan daerah Jawa Barat (Pasundan)
dan relatif jauh dari pusat budaya Jawa (Surakarta
dan Yogyakarta).
2.
Latar belakang
Berpangkal
tolak dari pengertian akan Balai Desa sebagaimana tersebut di atas, maka adanya
Balai Desa di suatu desa merupakan keberadaan tradisional. Balai Desa sebagai
rumah (bangunan) tempat berkumpul, merupakan ujud atau pencerminan arsitektur
masyarakat sebagai salah satu unsur kebudayaan masyarakat setempat.
Di
dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi dalam perwujudannya,
kebudayaan mempunyai ciri‑ciri yang khusus, sesuai dengan kondisi daerahnya
(Soerjono Soekanto, 1977). Dengan demikian kebudayaan bercirikan kedaerahan. Karena
itu, ada kemungkinan bahwa Balai Desa di Daerah Banyumas berbeda dengan
Balai Desa di daerah lainnya sebagai pencerminan salah satu unsur kebudayaan
(arsitektur) setempat.
Namun
demikian kebudayaan (termasuk arsitektur) sebagai hasil budi daya manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, senantiasa berubah seperti perubahan hidup manusia
itu sendiri. Dalam kebudayaan perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang
diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu, mungkin perubahan itu
bergerak pada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi mungkin pula
bergerak ke arah suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau (Selo Soemardjan
‑ Soeleman Soemardi, 1964).
Di
depan telah disebutkan bahwa pada dasarnya Balai Desa berfungsi sebagai tempat
untuk bermusyawarah bagi para warga desa yang bersangkutan dengan di bawah
pimpinan Kepala Desa. Di dalam musyawarah tersebut dibicarakan segala sesuatu
yang menyangkut hidup dan kehidupan warga desa yang bersangkutan. Dengan
demikian di dalam sidang/musyawarah di Balai Desa ini:
a. warga
desa menyampaikan aspirasinya kepada Kepala Desa (sebagai bapaknya warga
desa);
b. di
lain pihak Kepala Desa, yang diangkat oleh Bupati Kabupaten setempat atas nama
Gubernur (sebagai wakil pemerintah) menyampaikan segala informasi dari Pemerintah
yang perlu disimpaikan kepada segenap warga desa.
Dari sini
terlihat bahwa dalam musyawarah yang dilaksanakan di Balai Desa merupakan
kegiatan kegiatan yang:
a. komunikatif
dalam arti bahwa kedua belah pihak yang bermusyawarah (warga desa dan pimpinan)
saling memberikan informasi untuk diketahui bersama;
b. formal,
dalam arti bahwa:
• pelaksana kegiatan. adalah pihak‑pihak yang diakui
dan dilindungi oleh hukum,
• materi yang dimusyawarahkan sesuai dengan program
pemerintah.
Sebagai mahluk
hidup, warga desa senantiasa berkembang baik dalam. kuantitas maupun
kualitasnya. Perkembangan ini akan diikuti pula dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan, baik dalam kuantitas
maupun kualitasnya. Menyadari akan hal tersebut, Pemerintah sebagai pihak yang
berkewajiban untuk mengarahkan perkem-bangan tersebut melalui berbagai
kebijakan. Di dalam peraturan perundang-undangan Pemerintah telah berusaha
untuk merubah sistem Pemerintahan Desa, sehingga sesuai dengan perubahan atau perkembangan
kondisi dan tuntutan masyarakat desa yang bersangkutan. Perubahan sistem
Pemerintahan Desa ini menuntut perubahan Balai Desa sebagai wadah kegiatan
pemerintahan desa tersebut. Sesuai teori arsitektur bahwa bentuk mengikuti
fungsi (form follow function). Dari
hal-hal tersebut di atas, maka jelas bahwa permasalahannya adalah bagaimanakah
perkembangan bentuk arsitektur Balai Desa di Kabupaten Banyumas, yang sesuai
dengan perkembangan kondisi masyarakat desa maupun sistem pemerintahan desa menurut
peraturan perundang-undangan.
B.
Metode Penelitian
Penelitian dengan
metode survei dilakukan di wilayah Kabupaten Banyumas dengan sampel wilayah:
Kecamatan Sumbang, Kecamatan Baturaden, dan Kecamatan Purwokerto Utara. Data
diperoleh dengan metode purposive sampling. Setiap periode waktu diambil 3
(tiga) sampel Balai Desa/Kelurahan. Analisis dilakukan dengan metode deskriptif
– komparatif, yakni dengan menguraikan persamaan-persamaan dalam satu periode
waktu, dan perbedaan-perbedaan antar periode waktu pembangunan Balai Desa.
Kesimpulan dilakukan dengan mengambil kondisi yang dominan.
C. Data
dan Pembahasan
1. D a t a
a. Periode sebelum tahun 1950
Sampel
bangunan adalah bekas Balai Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan Purwokerto Utara,
Desa Karangtengah Kecamatan Baturaden, dan Desa Tambaksogra Kecamatan Sumbang. Prinsip
ungkapan fisik Balai Desa pada periode ini adalah:
Bentuk atap:
|
tikelan (joglo: Yogyakarta).
|
|
Sifat/kesan:
|
terbuka, dingin, tenang.
|
|
Orientasi:
|
sumbu utama bangunan dengan
arah utara‑selatan, sejajar dengan arah
jalur jalan umum.
|
|
Tata ruang:
|
merupakan
bagian dari bangunan rumah kediaman Kepala Desa. Bentuk denah, mendekati
bentuk bujur‑sangkar; merupakan suatu ruang yang relatif luas; dengan halaman
depan yang cukup luas.
|
|
Struktur:
|
Sistem struktur kerangka.
|
|
Bahan struktur:
|
Kerangka bangunan (asli) terbuat dari kayu,
glugu.
|
|
Dinding:
|
terbuat dari pasangan batu bata, dan kayu.
|
|
A t a p:
|
‑ bidang atap dari rangken (empyak) bambu,
‑ dengan penutup atap dari seng.
|
|
Catatan:
|
Dibangun sebelum tahun 1950 dengan perubahan‑perubahan:
- perbaikan, dengan penggantian bahan, yang dilakukan antara
tahun 1950 dan tahun 1970;
- penutupan/pengisian bidang kosong/terbuka setelah
Kepala Desa yang bersangkutan pensiun/bebas tugas.
|
b. Periode tahun 1950 - 1970
Sampel
bangunan adalah bekas Balai Desa desa Ketenger, Kecamatan Baturaden, Kelurahan
Pabuwaran Kecamatan Purwokerto Utara, dan Desa Pandak Kecamatan Baturaden. Prinsip
ungkapan fisik Balai Desa pada periode ini adalah:
Bentuk atap:
|
Srotong (kampong: Yogyakarta)
|
||
Sifat/kesan:
|
Semi terbuka,
dalam arti bahwa pembukaan bidang hanya pada ba-gian atas dinding depan dan
samping.
Intim, kurang agung/berwibawa.
|
||
Orientasi:
|
sumbu
utama bangunan mempunyai arah utara ‑ selatan, tegak lurus dengan arah jalur
jalan umum.
|
||
Tata ruang:
|
Merupakan bagian dari bangunan rumah kediaman Kepala Desa
Bentuk
denah mendekati bentuk bujur sangkar dengan ukuran/ luasan yang cukup besar.
Halaman depan cukup luas.
|
||
Struktur:
|
Sistem struktur kerangka.
|
||
Bahan struktur:
|
Kerangka bangunan yang
asli (asal) terbuat dari kayu dan glugu.
|
||
Dinding:
|
terbuat
dari kayu, dan pasangan batu bata.
|
||
A t a p:
|
bidang atap dari rangken bambu; penutup atap dari seng.
|
||
Catatan:
|
Bangunan
tersebut dibangun antara tahun 1950 - 1960, dengan perubahan- perubahan
antara lain:
|
||
·
|
perbaikan
dengan penggantian bahan struktur;
|
||
·
|
penutupan ruang/bidang kosong/terbuka dilakukan setelah tahun 1970,
setelah Desa tersebut membangun Balai Desa yang permanen di lokasi lain.
|
||
·
|
penyekatan ruang dengan dinding kayu lapis untuk kamar dilakukan
setelah tahun 1980.
|
||
c. Periode tahun 1970
- 1980
Sampel
bangunan untuk periode ini adalah: Balai Desa desa Sikapat, Balai desa
Karangcegak Kecamatan Sumbang, dan Balai Kelurahan Pabuwaran Kecamatan
Purwokerto Utara. Prinsip ungkapan fisik Balai Desa pada periode ini adalah:
Bentuk atap:
|
Limasan
|
||
Sifat/kesan:
|
Tertutup,
formal, kurang komunikatip.
|
||
Orientasi:
|
Sumbu
utama bangunan mempunyai arah tegak lurus dengan arah jalur jalan umum.
|
||
Tata ruang:
|
Merupakan, bangunan yang berdiri sendiri, sebagai fasilitas
sosial yang dilengkapi dengan ruang‑ruang: aula, kantor, dan fasilitas pelayanan
internal. Kantor terletak di bagian depan, antar ruang dibatasi dengan tembok
permanen. Denah bangunan tidak mempunyai pola yang tertentu, menyusuaikan
keadaan dan kebutuhan. Halaman depan tidak begitu luas.
|
||
Struktur:
|
Sistem
struktur kerangka.
|
||
Bahan Struktur:
|
Kerangka
bangunan:
|
||
‑ kolom
terbuat dari pasangan batu bata,
|
|||
‑ balok‑balok
dari kayu dan atau glugu.
|
|||
Dinding:
|
terbuat
dari pasangan batu bata (permanen),
|
||
A t a p
|
‑
kerangka terbuat dari kayu atau glugu
|
||
‑
penutup dari seng atau genting
|
|||
d. Periode tahun 1980 sampai sekarang
Sampel
bangunan periode ini adalah: Balai Desa Purwosari Kecamatan Baturaden, Balai
Desa Tambaksogra Kecamatan Sumbang, dan Balai Kelurahan Kranji, Kecamatan
Purwokerto Timur. Prinsip ungkapan fisik Balai Desa pada periode ini ialah:
Bentuk atap:
|
Bangunan pendopo: tikelan/joglo, bangunan lainnya: limasan dan
atau kampung/srotong
|
Sifat/kesan:
|
Ada pembedaan fungsi bangunan, dengan sifat terbuka (pendapa)
dan tertutup (bangunan lainnya), Perpaduan antara tradisional dengan modern,
formal, kurang komunikatip.
|
Orientasi:
|
Sumbu
utama komplek bangunan dengan arah tegak lurus arah jalur jalan umum.
|
Tata ruang:
|
Merupakan suatu komplek bangunan, dengan kelengkapan‑ kelengkapan: pendopo, kantor, dan fasilitas‑fasilitas
pelayanan sosial lainnya yang antara lain: BKIA/Pos Yandu, pos keamanan,
rumah dinas Kepala Kelurahan. Kantor, bukan hanya berupa kantor pemerintahan
Desa saja, tetapi juga kantor bagi dinas‑dinas yang lain. Pendopo merupakan
bangunan pusat perhatian (dominan), dengan fasilitas yang lain di
sekitarnya. Halaman depan seadanya.
|
Struktur:
|
Sistem
struktur kerangka.
|
Bahan struktur:
|
Kerangka bangunan terbuat dari kayu dan atau beton bertulang. Dinding
terbuat dari pasangan batu bata. Atap dengan kerangka terbuat dari baja
profil, kayu, atau glugu; dengan penutup dari seng, genting, atau sirap.
|
:
2. Pembahasan
a. Bentuk atap
Dari
perkembangannya maka terlihat adanya tiga macam bentuk atap Balai Desa, yaitu:
1) bentuk
"tikelan", yang
dipergunakan pada periode sebelum tahun 1950, dan periode sesudah tahun 1980.
2) bentuk "srotong".
yang diergunakan pada periode antara tahun 1950 ‑ 1970;
3) bentuk "limasan",
yang dipergunakan pada periode antara tahun 1970 ‑ 1980.
Diambilnya
bentuk srotong pada periode antara tahun
1950 ‑ 1970, diperkirakan karena keadaan ekonomi Kepala Desa khususnya dan
masyarakat desa pada umumnya pada periode tersebut dirasa kurang memungkinkan
untuk membangun rumah tikelan, yang
harganya relatif lebih mahal, selain dalam pelaksanaannya juga lebih praktis
pemakaian bentuk srotong.
Dipakainya
bentuk limasan untuk atap Balai Desa Pada periode antara tahun 1970 ‑ 1980
diperkirakan karena keadaan ekonomi negara yang semakin mapan sehiagga dapat
memberi subsidi pada desa. Selain faktor ekonomi tersebut, faktor masuknya teknologi
konstrukai asing oleh siswa‑siswa STM yang ditunjang pula anggapan hal tersebut
dirasa lebih modern, lebih maju, dan sesuai dengan program modernisasi desa. Perlu
diketahui, bahwa bentuk limasan yang dipergunakan pada Balai Desa periode
tersebut bukanlah bentuk limasan tradisional, karena sistem struktur dan
konstruksinya berbeda dengan bentuk tradisional.
Baik disadari
atau tidak pada periode terakhir (sekarang) terlihat adanya kecenderungan bahwa
bentuk atap tikelan (joglo) dipergunakan lagi seperti pada
periode sebelum tahun 1950. Keadaan yang demikian ini adalah selain sesuai dengan
teori perubahan atau perkembangan kebudayaan, yang memungkinkan untuk kembali
ke bentuk‑bentuk yang telah pernah ada pada masa lampau (Selo Soemardjan ‑ Soeleman
Soemardi, 1964), juga ditunjang dengan himbauan dari Gubernur Kepala Daerah
Propinsi Jawa Tengah untuk menggali kebudayaan daerah setempat termasuk
penggunaan atap jogio untuk bangunan‑bangunan
umum (Badi Nguzaman, 1987).
Himbauan
tersebut ternyata dapat diterima (tidak ditolak) oleh masyarakat sehingga
bangunan utama dari Balai Desa mempergunakan atap bentuk tikelan. Penggunaan
atap bentuk joglo pada bangunan utama
(pendopo) Balai Desa baik disadari atau tidak adalah sesuai dengan kegiatan
yang diwadahi oleh Pendopo tersebut, yaitu kegiatan musyawarah antara warga desa
dengan Pemimpinnya.
Diperkirakan
bahwa bentuk "tikelan"
adalah sebagai lambang/simbol dari demokrasi pedesaan, dengan rincian sebagai
berikut:
1) Balok‑balok kerangka sebagai lambang
individu:
• saka (tiang) melambangkan
warga masyarakat; adanya pembodaan terhadap tiang (saka guru, saka rawa, saka emper) menunjukkan adanya perbedaan
hak dan kewajiban warga, yang sesuai dengan status mereka di dalam masyarakat;
• kerangka
atap (pengeret, blandar, dudur, ander dan molo) melambangkan unsur penguasa,
dengan molo sebagai kepala (otak)
atau. pimpinan/penguasa tertinggi.
• bertemunya
tiang‑tiang dengan kerangka atap melambangkan bertemunya antara warga desa
dengan pemimpinnya (manunggaling gusti
lan kawula).
2) Atap yang bertingkat melambangkan unsur
kekuasaan yang bertingkat (birokrasi). Atap sebagai lambang kekuasaan harus
dapat memberikan perlindungan kepada seluruh individu sebagai warga masyarakat
bukumpul termasuk para penguasa.
3) Tanpa adanya dukungan dari para warga
(tiang) maka unsur kekuasaan tidak dapat berfungsi sama sekali atau tidak ada
kekuasaan/penguasa.
b. S i f a t
Sifat
penampilan bangunan Balai Desa dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Hal ini
diperkirakan karena adanya perubahan pola
berpikir masyarakat, khususnya Kepala Desa, di samping sistem pemerintahan
desa yang juga berubah atau berkembang. Perkembangan tersebut dapat
dideskripsikan sebagai berikut.
1) Pada
periode sebelum tahun 1950, dengan sistem Pemerintahan Desa yang berlandaskan
pada Hukum Adat yang tradisional, masyarakat yang tradisional dengan pola
berpikir yang kosmis, komun, dan religius‑magis, menjadikan sifat Balai Desa
terbuka. Keterbukaan ini lebih menunjukkan sifat masyarakat yang komun, dan
kosmis. Bentuk tikelan lebih mencerminkan demokrasi pedesaan yang tradisional.
2) Pada
periode antara tahun 1950 – 1970, dengan pengaruh Barat yang individualis mulai
masuk ke masyarakat pedesaan ditunjang dengan lebih ditingkatkannya efektivitas
Pemerintahan Desat menjadikan Balai Desa mulai tertutup sebagian (semi tertutup).
3) Pada
periode antara tahun 1970 ‑ 1980, pengaruh Barat mencapai puncaknyaq baik dalam
pola berpikir masyarakat, teknologi sistem Pemerintahan Desa, maupun bidang‑bidang
lainnya. Keadaan yang demikian menjadikan Balai Desa bersifat tertutup,
walaupun hal ini kurang disenangi/dikehendaki oleh masyarakat terbukti bahwa:
‑ periode ini tidak berlangsung lama atau relatif
singkat;
‑ sering terjadi bahwa walau
balai Desa mempunyai pintu dan jendela namun pintu dan jendela tersebut tidak
terkunci.
4) Pada
periode tahun 1980 sampai sekarang, terlihat adanya usaha untuk mengembalikan
citra Balai Desa seperti sediakala. Namun karena kompleksitas kegiatan dengan
sifat-sifat dan tuntutan yang berbeda, menjadikan Balai Desa membeda-kan dalam
dua kelompok kegiatan utama dengan masing‑masing persyaratannya, yaitu: bangunan
pendopo sebagai tempat bermusyawarah, yang terbuka; dan bangunan kantor
pemerintahan di desa yang formal dan menuntut persyaratan keamanan dan rahasia
yang tertutup.
c. Orientasi
Masyarakat
tradisional pada umumnya dalam menentukan orientasi bangunan memilih salah satu
arah orientasi dari tiga alternatif yaitu: orientasi kosmis (alam), komun
(kepentingan umum), maupun religius‑magis.
1) Dari
keseluruhan sampel (data), ternyata hanya satu sampel yang tidak menghadap ke
jalur jalan umum. Hal ini diperkirakan karena bentuk persil yang kurang memung-kinkan
untuk penyediaan halaman depan yang cukup luas.
2) Dari
keseluruhan sampel hanya satu sampel yang tidak mempunyai halaman depan yang
relatif luas, walaupun telah berorientasikan ke jalur jalan umum. jalur jalan
umum dan halaman depan yang luas merupakan faktor penentu kepentingan umum.
Dari hal‑hal
tersebut di atas maka jelas bahwa orientasi bangunan Balai Desa adalah
kepentingan umum (komun).
d. Organisasi Ruang
Dari
keseluruhan periode ternyata bahwa semakin lama terlibat adanya perkembangan
jumlah macam ruang yang tersediakan di Balai Desa. Hal ini menunjukkan semakin
banyaknya kegiatan atau urusan yang harus dilaksanakan/diselesaikan di Balai
Desa baik oleh unsur Pemerintah Desa maupun oleh Wakil/ Petugas Pemerintah
Pusat. Dalam hal tata ruang terlihat adanya dua kecenderungan, yaitu:
1) semakin
mengecilnya usaha penyediaan halaman depan yang relatif luas. Hal ini diperkirakan
karena semakin tingginya nilai/harga tanah, sehingga semakin sulit untuk mendapatkan
area yang cukup luas;
2) kecenderungan
lain ialah disediakannya fasilitas rumah dinas bagi Lurah. Ada dua alternatif alasan terhadap kecenderungan
ini, yaitu:
• karena ingin mengembalikan suasana Balai Desa
seperti sediakala, atau
• karena Lurah sebagai Pegawai Negeri yang diangkat
dan diberhentikan oleh Pemerintah, sehingga ada kemungkinan bahwa Lurah bukan
merupakan penduduk setempat. Namun karena tugas dan peranannya (sebagai
Pimpinan formal dan bukan
formal) menuntut Lurah siap ditempat setiap saat.
e. Struktur dan bahan konstruksi
Dari
keseluruhan sampel penelitian, terlihat bahwa kesemuanya mempergunakan struktur
sistem kerangka. Penggunaan sistem kerangka ini diperkirakan karena sistem
kerangka mempunyai keunggulan‑keunggulan: (1) pelaksanaan lebih praktis; (2) biaya
relatif lebih murah; (3) sifat bangunan yang diinginkan (terbuka) dapat terpenuhi;
atau (4) kemungkinan hanya sistem tersebut yang dikuasai oleh masyarakat
setempat.
Kemajuan
teknologi konstruksi asing mulai nampak berpengaruh pada bangunan Balai Desa
periode tahun 1970 ‑ 1980, sehingga Balai Desa periode tersebut kehilangan
citranya. Pada periode tahun 1980 sampai sekarang terlihat adanya keoenderungan
pemakaian bahan konstruksi asing (beton bertulang) pada bentuk tradisional. Hal
ini diperkirakan karena faktor teknis, yang menghendaki kekuatan dan kecepatan
dalam pelaksanaan karena sistem lama (tradisional) faktor keawetan dan kekuatan
diusahakan dengan cara perendaman. Dan hal ini akan memerlukan waktu relatif
lama untuk mendapatkan hal yang diinginkan.
Penerimaan
unsur asing dalam konstruksi bangunan Balai Desa telah terlihat sejak semula,
yaitu penggunaan seng sebagai penutup atap. Hal ini selain praktis, juga
relatif lebih ringan dibandingkan dengan bahan yang lainnya. Hal ini dirasa
tepat, karena bentuk tikelan relatif
lebih luas dari pada bentuk lainnya sehingga penggunaan bahan atap yang
relatif ringan adalah tepat untuk mengurangi beban sendiri. Bahan dinding telah
lama mempergunakan batu bata demi kekuatan dan keawetan.
C. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Di wilayah Kabupaten Banyumas terdapat 3 (tiga)
alternatif bentuk atap yang dapat dipergunakan pada bangunan Balai Desa, yakni:
(1) tikelan, (2) srotong, dan (3) limasan yang secara historis dipergunakan secara
bergantian pada masanya, dan kemabli pada bentuk asal (tikelan).
b. Ekspresi/kesan penampilan bangunan Balai Desa dapat
terbuka, semi terbuka, maupun tertutup sesuai sifat masyarakat maupun
fungsinya.
c. Orientasi Balai Desa ke jalan umum, demi munjukkan fungsi
Balai Desa sebagai fasilitas umum.
d. Tidak
ada pembakuan terhadap tata ruang, tetapi terlihat adanya dominasi terhadap
ruang pertemuan.
e.
Unsur teknologi konstruksi dapat diterima dan
dipergunakan pada pembangunan Balai desa.
2. Saran
Perlu
diadakannya penelitian lebih lanjut baik secara mendalam terhadap bangunan
Balai Desa, maupun secara meluas terhadap bangunan-bangunan fasilitas umum
lainnya untuk mendapatkan jatidiri arsitektur Banyumas.
DAFTAR PUSTAKA
Hilman Hadikusuma, 1977. ENSIKLOPEDI ADAT BUDAYA INDONESIA.
Alumni, Bandung.
Ismunandar, 1986. JOGLO ARSITEKTUR HUMAH TRADISIONAL JAWA. Dahara
Prize, Semarang.
Kansil, 1984. DESA KITA. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Marsono, 1980. PEMERINTAHAN DESA. Ichtiar Baru, Jakarta.
Selo Soemardjan‑Soeleman Soemardi, 1964. SETANGKAI BUNGA SOSIOLOGI.
Fakultas Ekonomi UI. Jakarta.
Soepomo, 1978. KEDUDUKAN INDIVIDU DALAM
MASYARAKAT HUKUM‑ ADAT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1977. SOSIOLOGI SUATU
PENGANTAR. Yayasan Penerbit UI. Jakarta.
Sutrisno, 1983. BENTUK STRUKTUR BANGUNAN DALAM ARSITEKTUR MODERN.
Gramedia, Jakarta.
Suwondo Atmodjahnawi, 1981. HUKUM ADAT DAN P4. Fakultas Hukum UNS. Surakarta.
Taliziduhu Ndraha, 1984. DIMENSI‑DIMENSI
PEMERINTAHAN DESA. Bina Aksara, Jakarta.
Yumiko Priyono, 1983. DEMOKRASI DI PEDESAAN JAWA. Sinar Harapan, Jakarta.
Purwokerto, Januari 1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar