Alun-alun sebagai jatidiri kota
Sejarah alun-alun memang cukup panjang. Sebelum kolonial
Belanda datang, alun-alun telah ada. Alun-alun dibangun dengan konsepsi yang
tinggi, penuh filosofi. Dalem dan pendopo kabupaten, atau keraton (pusat
pemerintahan tradisional) dengan alun-alun di depannya, dibangun tidak di
sembarang tempat atau arah. Pendopo kabupaten senantiasa membelakangi
gunung/gunung, dan menghadap ke arah lautan. Lokasi alun-alun ditenetukan
melalui suatu “laku” sebagai
pengejawantahan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari proses pembangunan alun-alun dan fasilitas-fasilitas di sekitarnya terlihat adanya
hubungan yang erat antara manusia dengan alam dan Tuhannya. Sedang dari fungsi
atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di alun-alun, terlihat bahwa alun-alun
dibangun bukan untuk kepentingan penguasa saja, tetapi lebih banyak untuk
kepentingan warga masyarakat. Hal tersebut juga menunjukkan betapa tingginya
perhatian pemimpin/penguasa terhadap kepentingan warga masyarakat.
Dari hal-hal tersebut di atas, terlihat betapa tingginya nilai budaya, nilai filosofi dalam pembangunan
alun-alun suatu kota, yang oleh Prof. Eko
Budihardjo disebut sebagai jatidiri atau identitas kota di Jawa. Karena menurut beliau bahwa
jatidiri lingkungan atau kota diperoleh melalui penggalian dan penemuan kembali
secara intensif dan ekstensif, kekhasan, keunikan, dan karakter spesifik yang
telah berurat berakar menjiwai suatu lingkungan atau kota tertentu.
Dalam perkembangannya, amat disayangkan bahwa alun-alun, yang
dibangun sesuai dengan jatidiri bangsa, didasarkan pada sifat pola pikir
bangsa, oleh bangsa Belanda dirusak. Di sekitar atau bahkan kadang-kadang di
depan alun-alun oleh Belanda dibangun gedung pusat pemerintahan kolonial, atau
bahkan penjara yang terjadi hampir di semua kota.
Pembangunan berwawasan lingkungan diharapkan tidak hanya
sekedar slogan pemerintah, dapat direalisasikan secara konsekuen. Lingkungan tidak
hanya lingkungan fisik, namun
termasuk juga lingkungan sosial, budaya sebagai isinya. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Eko Budihardjo, bahwa: lingkup kerja seorang arsitek
tidaklah terbatas dalam perancangan bangunan yang kuat dan indah, tetapi
termasuk lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial,
khususnya lingkungan masyarakat berpenghasilan rendah yang merupakan mayoritas
di negara-negara berkembang termasuk negara Indonesia.
Alun-alun Purwokerto
Dengan kekalahan P. Diponegoro dalam perangnya melawan Belanda pada tahun 1830,
maka daerah Banyumas oleh pemerintah Kasunanan Surakarta dijadikan daerah yang
digadaikan ke pemerintah Belanda untuk meliru biaya perang. Melalui Keputusan Jendral
Van Den Bosch tertanggal 18 Desember 1831 dibentuklah Karesidenan Banyumas yang
terdiri dari lima wilayah kabupaten, yaitu: Banyumas, Ajibarang, Purbalingga, Banjarnegara, dan
Majenang, dengan Bupati sebagai
pejabat pemerintah kolonial Belanda. Namun karena bencana angin topan selama 40 hari
yang melanda Kabupaten Ajibarang pada tahun 1832, maka ibukota Kabupaten pada
tanggal 6 Oktober 1832 dipindahkan ke Paguwon, Purwokerto. Bupati Ajibarang saat itu
adalah Adipati Aryo Mertodirejo II.
Dengan pindahnya kabupaten
Ajibarang ke Purwokerto ini pemerintah Belanda membangun komplek pusat pemerntahan
kabupaten Purwokerto. Komplek pusat pemerintahan ini dibangun dengan konsep
arsitektur tradisional dengan modifiklasi arsitektur Barat. Orientasi bangunan
dibuat dengan adanya garis imaginer sumbu yang menghubungkan antara gunung (di
belakang) dan samudera (di depan), dengan unsur-unsur: alun-alun di bagian
paling depan, halaman (plataran), pendapa, pringgitan, dalem dan plataran buri (belakang). Masjid, yang dikenal dengan sebutan
Masjid Paguwon (di sebelah barat), kantor pengadilan (di sebelah timur) dan
dengan terbatasnya lahan yang tersedia maka rumah penjara dibangun di sebelah
selatan masjid.
Alun-alun dibelah menjadi dua
bagian oleh jalan yang langsung menuju halaman pendapa, untuk memperkuat sumbu
imajier dan menambah keagungan/kewibawaan pendapa. Dua batang pohon beringin
kurung berada di tengah-tengah alun-alun, juga di keempat sudut alun-alun juga
ditanami pohon beringin sebagai lambang pengayoman
bagi masyarakat. Kandisi seperti ini dipertahankan sampai akhir masa
pemerintahan bupati Aris Setiono.
Tahun 2008 saat masa pemerintahan
bupati Mardjoko, pembongkaran alun-alun mulai dilakukan dengan: membangun videotron,
membongkar kedua batang pohon beringin kurung, juga menutup jalu jalan di
tengah alun-alun yang disebut jalan Alun-alun (panjang 100 meter, lebar 14
meter). Walau sebelumnya telah ditentang oleh masyarakat baik melalui dialog
dengan bupati maupun demo para senimam. Demikian juga Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah melalui rekomendasinya menyarankan
antara lain agar: (1) pohon beringin kurung dilarang dibongkar kecuali diganti
dengan pohon sejenis; (2) jalan di tengah-tengah alun-alun dilarang ditutup,
kecuali diganti dengan conblok atau paving blok. Namun rekomendasi dari BP3
Jawa Tengah tersebut tidak dihiraukan sama sekali.
Demikian juga pada tahun 2014 saat
pemerintahan bupati Achmad Husein, alun-alun Purwokerto kembali direnovasi.
Beberapa waktu sebelumnya kami sudah secara langsung mengingatkan, bahwa
sekelompok masyarakat Banyumas, khususnya yang peduli terhadap budaya Banyumas
menghendaki agar alun-alun Purwokerto dikembalikan kondisinya seperti yang
direkomendasikan BP3 Jawa Tengah. Amat disayangkan bahwa hasil renovasi yang
dilakukan oleh bupati Achmad Husein bukannya mengembalikan kondisi alun-alun seperti
yang direkomendasikan oleh BP3 Jawa Tengah, tetapi mengganti jenis rumput dan membangun
air mancur. Suatu hal yang amat aneh ialah bahwa walau jalan Alun-alun
kenyataan sudah tidak ada, namun di dalam Raperda tentang RDTRK Purwokerto
tahun 2014 – 2034 masih tetap disebutkan.
Purwokerto, 14 Januari
2015
KOTAKU MEMANG TIDAK SEPERTI KOTA LAIN, TAK ADA PABRIK, PELABUHAN, BANDARA, OBJEK WISATA MODERN... hingga setiap ada BUpati baru bingung, akhirnya Alun Alun dibuat objek... pohon ditebangi, trotoar yang untuk pejalan kaki dibuat pot hingga orang susah lewat,... saya lahir dan tinggal pas ditimur alun alun, dulu saya main bola , main layangan, main segalanya, nonton tv juga dialun alun, bupati sering mengadakan acara untuk mayarakatnya... kini tinggal kenangan.. oh kotaku.
BalasHapusPak Toeloes .. Bangunan lama adalah ingatan, kota tanpa bangunan lama adalah kota yang kehilangan ingatan. Kalau kota sudah kehilangan ingatan, sebetulnya siapa dulu yang sudah kehilangan ingatan ....
Hapus