Tulisan ini saya tulis pada akhir bulan Januari tahun 2006 untuk menanggapi kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas yang tidak mengijinkan para pengasong (pedagang asongan) di Terminal Bus Tipe A Purwokerto yang baru selesai pembangunannya. Kasus serupa (larangan asongan untuk berjualan) baru saja terjadi di Purwokerto, tepatnya di Stasiun Besar Purwokerto. Berbagi upaya mereka (para pedagang asongan) lakukan, namun kelihatannya usaha mereka sia-sia, tanpa hasil yang nyata.
“Selamat dan
Salut” layak disampaikan kepada Masyarakat Banyumas pada umumnya dan kepada
Pemerintah Kabupaten khususnya, yang dengan gigih berjuang menyelesaikan mega
proyek Pembangunan Terminal Bus Tipe A kota
Purwokerto tepat waktu. Suatu prestasi yang luar biasa. Walau dalam
pelaksanaannya mega proyek ini terdapat berbagai kendala, namun “show must go on”. Hasilnya dapat dilihat,
bangunan terminal yang megah, demgan halaman yang sangat luas.
Selesainya
pembangunan fisik bangunan bukan berarti telah tiada permasalahan. Permasalahan
baru telah menghadang di depan hidung, yakni management atau pengelolaan. Bukan suatu hal yang mudah mengelola
terminal bus sebesar itu. Dimulai dari memperbaiki halaman yang konon masih
banyak genangan air, mengadakan sarana-sarana penunjang, melelang (yang konon
terjadi pengulangan) hak pengelolaan atas toilet (yang konon belum lancar), sampai
dengan kemungkinan terjadinya terminal bayangan.
Kesibukan lain
terjadi pula di gedung Dewan. Mulai dari kemungkinan pembentukkan Badan
Pengelola (yang terdiri dari berbagai unsur terkait), mengadakan public hearing dengan masyarakat
terminal, pembahasan perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 5 tahun
1998 tentang Retribusi Terminal, Kunja studi banding ke Terminal Kampung Rambutan
di Jakarta sampai dengan penegakkan hukum di terminal.
Tentang Badan
Pengelola Terminal, masih menjadi wacana yang semakin pudar gaungnya. Dari public hearing dengan masyarakat
terminal diperoleh informasi bahwa selain pungutan resmi juga berbagai pungutan
liar yang ditarik oleh pejabat maupun oleh sebagian warga masyarakat terminal
sendiri (preman). Walau telah ada pungutan tambahan, namun pelayanan yang
diterima belum maksimal. Berangkat dari informasi dalam public hearing tersebut, maka DPRD Kabupaten Banyumas mengusulkan
pungutan (baik resmi maupun tidak resmi) ditetapkan sebagai tarip baru
restribusi berbagai kegiatan di terminal.
Dalam hal kunja studi
banding ke Terminal Kampung Rambutan, masyarakat Banyumas mendapatkan oleh-oleh
antara lain Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 tahun 1995, yang dengan tegas
melarang adanya pedagang asongan berjualan di area Terminal Bus Tipe A, seperti
halnya di Terminal Kampung Rambutan maupun Terminal Bus Purwokerto (yang baru).
Aturan tersebut akan diberlakukan dan ditegakkan di Terminal Bus Purwokerto.
Salut, dan angkat topi setinggi-tingginya. Harapan masyarakat, khususnya
masyarakat terminal, termasuk awak bus maupun moda-moda transportasi lainnya,
penegakkan hukum itu tidak hanya bagi pedagang asongan, tetapi juga berlaku
buat para preman (baik yang berseragam maupun tidak berseragam).
Diyakini bahwa
Menteri Perhubungan (waktu itu) belum pernah berprofesi sebagai pedagang
asongan, dan kemungkinan pula belum pernah menjadi penumpang bus umum. Bagi
penumpang bus umum (khususnya kelas ekonomi) sebetulnya pedagang asongan sangat
membantu untuk memenuhi kebutuhan darurat yang jumlahnya sangat kecil, seperti
segelas air minum, permen, koran, tisu dan lain-lain. Apakah pihak pengelola
terminal (Pemerintah) dapat menjamin bahwa penumpang sebelah yang sangat ramah
adalah bukan calon pelaku kriminal, yang akan mengambil barang/tas sewaktu
penumpang membeli kebutuhan di kios yang lokasinya belum diketahui atau jauh
dari bus.
Dengan tidak
adanya pedagang asongan di terminal bus Purwokerto, hanya ada tiga alternatif
bagi penumpang yakni: (1) duduk dengan nyaman, aman tetapi kebutuhan daruratnya
tidak terpenuhi, (2) kebutuhan darurat terpenuhi tetapi barang/tas hilang, atau
(3) kebutuhan darurat terpenuhi tetapi kehilangan tempat duduk yang telah
dipilihnya untuk ditempati orang lain.
Permasalahannya
adalah bukan ada tidaknya pedagang asongan di terminal. Keberadaan pedagang
asongan tetap dibutuhkan sebagai salah satu bentuk pelayanan yang diberikan
bagi penumpang, tetapi dengan catatan tidak mengganggu kenyamanan penumpang.
Usahakan para pedagang (termasuk pengamen) tidak masuk ke dalam bus, cukup
melalui jendela atau maksimal sampai pintu bus. Hal ini tinggal bagaimana
pengelola terminal mengatur (melalui tata-tertib yang sebelumnya telah
disepakati bersama) dan membina para pedagang asongan sebagai salah satu tugas Pemerintah.
Asongan dan/atau
pengamen tetap menggangu kenyamanan para penumpang. Mengutamakan penumpang
(sebagai pembeli jasa) dari pada pedagang asongan dan pengamen (sebagai
parasit) merupakan kewajiban penyedia jasa. Tidak hanya sewaktu di terminal apa
lagi hanya di terminal bus Purwokerto, tetapi sepanjang perjalanan. Kenyamanan
di dalam bus juga menjadi tanggung jawab pemilik bus dengan seluruh awak bus
yang bersangkutan, sebagai salah satu bentuk jasa pelayanan. Kenyamanan di
terminal adalah kenyamanan semu, karena penumpang lebih lama di dalam bus dari
pada di dalam area terminal.
Nasib pedagang
asongan khususnya atau sektor informal pada umumnya (termasuk PKL, PSK maupun
tukang becak) hampir di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berkembang
adalah sama. Alan Gilbert dan Josef Gugler (1996) dari hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa oleh para Pejabat dan sebagian kaum elit lokal biasanya mereka
(sektor informal) dipandang sebagai gangguan yang membuat kota menjadi kotor dan tidak rapi;
menyebabkan lalu-lintas macet, pesaing pedagang toko/kios yang terkena pajak
besar. Sektor informal sering digambarkan sebagai pengangguran terselubung,
atau setengah pengangguran. Mereka dianggap sebagai parasit dan sumber pelaku
kejahatan atau menjadi satu jaringan pelaku kriminal.
Berangkat dari
anggapan tersebut menurut para Pejabat asongan harus diasingkan, bukan dicari
solusi secara win-win solution.
Hubungan dengan sektor formal (pedagang kios, pengusaha bus) bukan secara
parasitis, tetapi menjadi mutualistis, saling menguntungkan, seperti hubungan
antara pemilik restoran dengan para pelayan yang mengantar makanan dari dapur
ke meja pembeli.
Kiranya para
Pejabat kurang memahami bahwa sektor informal dalam operasionalnya sangat
positif yakni bahwa mereka: (a) operasinya dalam skala kecil; (b) bersandar
pada sumberdaya lokal; (c) modal milik sendiri (bukan bantuan pemerintah); (d)
padat karya dengan teknologi yang bersifat adaptif; (e) keterampilan diperoleh
di luar sistem pendidikan formal, (f) tidak terkena langsung oleh regulasi dan (g)
pasar bersifat kompetitif. Karenanya mudah untuk dimasuki sehingga akan
menyerap tenaga kerja cukup besar, yang apabila dibina dengan baik akan dapat
menjadi sumber pendapatan daerah yang potensial.
Bila dalam
operasionalnya pedagang asongan dianggap/dipandang menggangu, maka untuk
membatasi gerak dan perilaku para pedagang asongan sudah semestinya diatur
dalam suatu aturan atau tata-tertib bagi pedagang kaki-lima. Dengan adanya
tata-tertib yang diadakan sebelumnya, maka bila terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi yang setimpal.
Dari aspek hukum,
bila dicermati lebih mendasar, Keputusan Menteri Perhubungan yang melarang
keberadaan pedagang asongan di Terminal Bus Tipe A tersebut diterbitkan tahun
1995, yakni sebelum ditetapkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 maupun No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan tersebut ditetapkan pada masa
pemeritahan dengan paradigma lama, dengan Pemerintah sebagai penguasa. Dengan
paradima yang baru, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengamanahkan bahwa dengan
fungsi Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan atau sebagai pelayan
masyarakat, mempunyai wewenang membuat peraturan perundang-undangan sebagai
sarana dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat (termasuk pedagang asongan).
Peraturan Daerah
(Perda) Kabupaten Banyumas tentang Terminal lingkup berlakunya tidak hanya bagi
terminal Purwokerto tetapi berlaku pula bagi terminal lain di Kabupaten
Banyumas. Perda tersebut akan lebih baik bila tidak hanya mengatur tentang
Retribusi, tetapi segala aspek yang ada di terminal. Perda tentang Terminal
mengatur seluruh hak dan kewajiban serta sanksi bagi semua pihak yang terkait
dalam terminal, termasuk Pemerintah. Pedagang asongan adalah merupakan bagian
dari terminal bus. Mengapa dalam konsep perencanaan pembangunan terminal tidak
dipersiapkan atau direncanakan ruang wadah bagi mereka? Dengan demikian
pedagang asongan tidak terasingkan.
Purwokerto,
25 Januari 2006
Penulis adalah Dosen
Arsitektur UNWIKU,
Pemerhati Pembangunan Daerah