Sabtu, 31 Agustus 2013

ASONGAN YANG TERASINGKAN


Tulisan ini saya tulis pada akhir bulan Januari tahun 2006 untuk menanggapi kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas yang tidak mengijinkan para pengasong (pedagang asongan) di Terminal Bus Tipe A Purwokerto yang baru selesai pembangunannya. Kasus serupa (larangan asongan untuk berjualan) baru saja terjadi di Purwokerto, tepatnya di Stasiun Besar Purwokerto. Berbagi upaya mereka (para pedagang asongan) lakukan, namun kelihatannya usaha mereka sia-sia, tanpa hasil yang nyata.


“Selamat dan Salut” layak disampaikan kepada Masyarakat Banyumas pada umumnya dan kepada Pemerintah Kabupaten khususnya, yang dengan gigih berjuang menyelesaikan mega proyek Pembangunan Terminal Bus Tipe A kota Purwokerto tepat waktu. Suatu prestasi yang luar biasa. Walau dalam pelaksanaannya mega proyek ini terdapat berbagai kendala, namun “show must go on”. Hasilnya dapat dilihat, bangunan terminal yang megah, demgan halaman yang sangat luas.
Selesainya pembangunan fisik bangunan bukan berarti telah tiada permasalahan. Permasalahan baru telah menghadang di depan hidung, yakni management atau pengelolaan. Bukan suatu hal yang mudah mengelola terminal bus sebesar itu. Dimulai dari memperbaiki halaman yang konon masih banyak genangan air, mengadakan sarana-sarana penunjang, melelang (yang konon terjadi pengulangan) hak pengelolaan atas toilet (yang konon belum lancar), sampai dengan kemungkinan terjadinya terminal bayangan.
Kesibukan lain terjadi pula di gedung Dewan. Mulai dari kemungkinan pembentukkan Badan Pengelola (yang terdiri dari berbagai unsur terkait), mengadakan public hearing dengan masyarakat terminal, pembahasan perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 5 tahun 1998 tentang Retribusi Terminal, Kunja studi banding ke Terminal Kampung Rambutan di Jakarta sampai dengan penegakkan hukum di terminal.
Tentang Badan Pengelola Terminal, masih menjadi wacana yang semakin pudar gaungnya. Dari public hearing dengan masyarakat terminal diperoleh informasi bahwa selain pungutan resmi juga berbagai pungutan liar yang ditarik oleh pejabat maupun oleh sebagian warga masyarakat terminal sendiri (preman). Walau telah ada pungutan tambahan, namun pelayanan yang diterima belum maksimal. Berangkat dari informasi dalam public hearing tersebut, maka DPRD Kabupaten Banyumas mengusulkan pungutan (baik resmi maupun tidak resmi) ditetapkan sebagai tarip baru restribusi berbagai kegiatan di terminal.
Dalam hal kunja studi banding ke Terminal Kampung Rambutan, masyarakat Banyumas mendapatkan oleh-oleh antara lain Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 tahun 1995, yang dengan tegas melarang adanya pedagang asongan berjualan di area Terminal Bus Tipe A, seperti halnya di Terminal Kampung Rambutan maupun Terminal Bus Purwokerto (yang baru). Aturan tersebut akan diberlakukan dan ditegakkan di Terminal Bus Purwokerto. Salut, dan angkat topi setinggi-tingginya. Harapan masyarakat, khususnya masyarakat terminal, termasuk awak bus maupun moda-moda transportasi lainnya, penegakkan hukum itu tidak hanya bagi pedagang asongan, tetapi juga berlaku buat para preman (baik yang berseragam maupun tidak berseragam).
Diyakini bahwa Menteri Perhubungan (waktu itu) belum pernah berprofesi sebagai pedagang asongan, dan kemungkinan pula belum pernah menjadi penumpang bus umum. Bagi penumpang bus umum (khususnya kelas ekonomi) sebetulnya pedagang asongan sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan darurat yang jumlahnya sangat kecil, seperti segelas air minum, permen, koran, tisu dan lain-lain. Apakah pihak pengelola terminal (Pemerintah) dapat menjamin bahwa penumpang sebelah yang sangat ramah adalah bukan calon pelaku kriminal, yang akan mengambil barang/tas sewaktu penumpang membeli kebutuhan di kios yang lokasinya belum diketahui atau jauh dari bus.
Dengan tidak adanya pedagang asongan di terminal bus Purwokerto, hanya ada tiga alternatif bagi penumpang yakni: (1) duduk dengan nyaman, aman tetapi kebutuhan daruratnya tidak terpenuhi, (2) kebutuhan darurat terpenuhi tetapi barang/tas hilang, atau (3) kebutuhan darurat terpenuhi tetapi kehilangan tempat duduk yang telah dipilihnya untuk ditempati orang lain.
Permasalahannya adalah bukan ada tidaknya pedagang asongan di terminal. Keberadaan pedagang asongan tetap dibutuhkan sebagai salah satu bentuk pelayanan yang diberikan bagi penumpang, tetapi dengan catatan tidak mengganggu kenyamanan penumpang. Usahakan para pedagang (termasuk pengamen) tidak masuk ke dalam bus, cukup melalui jendela atau maksimal sampai pintu bus. Hal ini tinggal bagaimana pengelola terminal mengatur (melalui tata-tertib yang sebelumnya telah disepakati bersama) dan membina para pedagang asongan sebagai salah satu tugas Pemerintah.
Asongan dan/atau pengamen tetap menggangu kenyamanan para penumpang. Mengutamakan penumpang (sebagai pembeli jasa) dari pada pedagang asongan dan pengamen (sebagai parasit) merupakan kewajiban penyedia jasa. Tidak hanya sewaktu di terminal apa lagi hanya di terminal bus Purwokerto, tetapi sepanjang perjalanan. Kenyamanan di dalam bus juga menjadi tanggung jawab pemilik bus dengan seluruh awak bus yang bersangkutan, sebagai salah satu bentuk jasa pelayanan. Kenyamanan di terminal adalah kenyamanan semu, karena penumpang lebih lama di dalam bus dari pada di dalam area terminal.
Nasib pedagang asongan khususnya atau sektor informal pada umumnya (termasuk PKL, PSK maupun tukang becak) hampir di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berkembang adalah sama. Alan Gilbert dan Josef Gugler (1996) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa oleh para Pejabat dan sebagian kaum elit lokal biasanya mereka (sektor informal) dipandang sebagai gangguan yang membuat kota menjadi kotor dan tidak rapi; menyebabkan lalu-lintas macet, pesaing pedagang toko/kios yang terkena pajak besar. Sektor informal sering digambarkan sebagai pengangguran terselubung, atau setengah pengangguran. Mereka dianggap sebagai parasit dan sumber pelaku kejahatan atau menjadi satu jaringan pelaku kriminal.
Berangkat dari anggapan tersebut menurut para Pejabat asongan harus diasingkan, bukan dicari solusi secara win-win solution. Hubungan dengan sektor formal (pedagang kios, pengusaha bus) bukan secara parasitis, tetapi menjadi mutualistis, saling menguntungkan, seperti hubungan antara pemilik restoran dengan para pelayan yang mengantar makanan dari dapur ke meja pembeli.
Kiranya para Pejabat kurang memahami bahwa sektor informal dalam operasionalnya sangat positif yakni bahwa mereka: (a) operasinya dalam skala kecil; (b) bersandar pada sumberdaya lokal; (c) modal milik sendiri (bukan bantuan pemerintah); (d) padat karya dengan teknologi yang bersifat adaptif; (e) keterampilan diperoleh di luar sistem pendidikan formal, (f) tidak terkena langsung oleh regulasi dan (g) pasar bersifat kompetitif. Karenanya mudah untuk dimasuki sehingga akan menyerap tenaga kerja cukup besar, yang apabila dibina dengan baik akan dapat menjadi sumber pendapatan daerah yang potensial.
Bila dalam operasionalnya pedagang asongan dianggap/dipandang menggangu, maka untuk membatasi gerak dan perilaku para pedagang asongan sudah semestinya diatur dalam suatu aturan atau tata-tertib bagi pedagang kaki-lima. Dengan adanya tata-tertib yang diadakan sebelumnya, maka bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi yang setimpal.
Dari aspek hukum, bila dicermati lebih mendasar, Keputusan Menteri Perhubungan yang melarang keberadaan pedagang asongan di Terminal Bus Tipe A tersebut diterbitkan tahun 1995, yakni sebelum ditetapkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 maupun No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan tersebut ditetapkan pada masa pemeritahan dengan paradigma lama, dengan Pemerintah sebagai penguasa. Dengan paradima yang baru, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengamanahkan bahwa dengan fungsi Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan atau sebagai pelayan masyarakat, mempunyai wewenang membuat peraturan perundang-undangan sebagai sarana dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat (termasuk pedagang asongan).
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas tentang Terminal lingkup berlakunya tidak hanya bagi terminal Purwokerto tetapi berlaku pula bagi terminal lain di Kabupaten Banyumas. Perda tersebut akan lebih baik bila tidak hanya mengatur tentang Retribusi, tetapi segala aspek yang ada di terminal. Perda tentang Terminal mengatur seluruh hak dan kewajiban serta sanksi bagi semua pihak yang terkait dalam terminal, termasuk Pemerintah. Pedagang asongan adalah merupakan bagian dari terminal bus. Mengapa dalam konsep perencanaan pembangunan terminal tidak dipersiapkan atau direncanakan ruang wadah bagi mereka? Dengan demikian pedagang asongan tidak terasingkan.

Purwokerto, 25 Januari 2006
Penulis adalah Dosen Arsitektur UNWIKU,
Pemerhati Pembangunan Daerah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar