Bung Karno terlahir dengan nama Kusno. Sejak kecil hingga usia belasan
tahun, Kusno selalu sakit-sakitan. Yang terparah adalah saat ia berumur
sebelas tahun. Sakit thypus menyerangnya dengan hebat. Bahkan kerabat
dan handai taulan menyangka, Kusno berada di ambang pintu kematian.
Dalam kondisi seperti itu, ayahandanya, Sukemi Sosrodihardjo mendorong semangat Kusno untuk bertahan.
Selama dua setengah bulan Kusno tak bangun dari tempat tidurnya. Dan…. selama itu pula, ayahnya setiap malam tidur di bawah tempat tidur Kusno. Ia berbaring di atas lantai semen yang lembab di alas tikar pandan yang tipis dan lusuh, tepat berada di bawah bilah-bilah bambu tempat tidur Kusno.
Memang, riwayat penyakit Kusno kecil berderat panjang. Ia tercatat pernah mengidap malaria, disentri… pokoknya semua penyakit dan setiap penyakit. Hingga akhirnya, Sukemi menyimpulkan, nama Kusno tidak cocok, karenanya harus diganti agar tidak sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, mengganti nama seorang anak (terutama bila dianggap tidak cocok karena “terlalu berat” dan mengakibatkan si anak sakit-sakitan) adalah hal biasa.
Raden Sukemi, ayahanda Kusno adalah penggandrung Mahabharata, sebuah epik Hindu zaman dulu. Tak heran bila suatu hari Sukemi berkata kepada Kusno, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata.”
Kusno menyambut kegirangan, “Kalau begitu, tentu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar…”
“Oh, ya nak,” jawab Sukemi setuju, “juga setia pada kawan-kawan dan keyakinannya, dengan tidak memperdulikan akibatnya. Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.”
Dan… sambil memegang bahu, serta memandang jauh ke dalam mata Kusno, berkatalah sang ayah, “Aku selalu berdoa, agar engkau pun menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua.”
Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa, huruf “A” menjadi “O”. Sedangkan awalan “Su” pada kebanyakan nama orang Jawa, berarti baik, paling baik. Jadi, Sukarno berarti pahlawan yang paling baik. Begitulah nama Kusno telah berganti menjadi Karno… Sukarno.
Namanya satu kata saja: SUKARNO. Maka, ketika ada wartawan asing menuliskan nama Ahmad di depan kata Sukarno, Bung Karno menyebut wartawan itu sebagai goblok.
Ia juga menjelaskan ihwal ejaan “OE”. Waktu ia sekolah di zaman Belanda, untuk kata “U” memang ditulis “OE”. Tak urung, tanda tangan Bung Karno pun menggunakan “OE”. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka, Bung Karno-lah sebagai Presiden yang menginstruksikan supaya segala ejaan “OE” kembali ke “U”. Ejaan nama Soekarno pun menjadi Sukarno. “Tetapi, tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun, jadi kalau aku sendiri menulis tanda tanganku, aku masih menulis S-O-E,” ujar Bung Karno, menjelaskan ihwal ejaan namanya yang benar adalah SUKARNO dengan tanda tangannya yang masih menggunakan ejaan SOEKARNO karena kebiasaan.
Bagian ini sangat valid, karena merupakan penuturan langsung Bung Karno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams: “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.
Dalam kondisi seperti itu, ayahandanya, Sukemi Sosrodihardjo mendorong semangat Kusno untuk bertahan.
Selama dua setengah bulan Kusno tak bangun dari tempat tidurnya. Dan…. selama itu pula, ayahnya setiap malam tidur di bawah tempat tidur Kusno. Ia berbaring di atas lantai semen yang lembab di alas tikar pandan yang tipis dan lusuh, tepat berada di bawah bilah-bilah bambu tempat tidur Kusno.
Memang, riwayat penyakit Kusno kecil berderat panjang. Ia tercatat pernah mengidap malaria, disentri… pokoknya semua penyakit dan setiap penyakit. Hingga akhirnya, Sukemi menyimpulkan, nama Kusno tidak cocok, karenanya harus diganti agar tidak sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, mengganti nama seorang anak (terutama bila dianggap tidak cocok karena “terlalu berat” dan mengakibatkan si anak sakit-sakitan) adalah hal biasa.
Raden Sukemi, ayahanda Kusno adalah penggandrung Mahabharata, sebuah epik Hindu zaman dulu. Tak heran bila suatu hari Sukemi berkata kepada Kusno, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata.”
Kusno menyambut kegirangan, “Kalau begitu, tentu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar…”
“Oh, ya nak,” jawab Sukemi setuju, “juga setia pada kawan-kawan dan keyakinannya, dengan tidak memperdulikan akibatnya. Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.”
Dan… sambil memegang bahu, serta memandang jauh ke dalam mata Kusno, berkatalah sang ayah, “Aku selalu berdoa, agar engkau pun menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua.”
Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa, huruf “A” menjadi “O”. Sedangkan awalan “Su” pada kebanyakan nama orang Jawa, berarti baik, paling baik. Jadi, Sukarno berarti pahlawan yang paling baik. Begitulah nama Kusno telah berganti menjadi Karno… Sukarno.
Namanya satu kata saja: SUKARNO. Maka, ketika ada wartawan asing menuliskan nama Ahmad di depan kata Sukarno, Bung Karno menyebut wartawan itu sebagai goblok.
Ia juga menjelaskan ihwal ejaan “OE”. Waktu ia sekolah di zaman Belanda, untuk kata “U” memang ditulis “OE”. Tak urung, tanda tangan Bung Karno pun menggunakan “OE”. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka, Bung Karno-lah sebagai Presiden yang menginstruksikan supaya segala ejaan “OE” kembali ke “U”. Ejaan nama Soekarno pun menjadi Sukarno. “Tetapi, tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun, jadi kalau aku sendiri menulis tanda tanganku, aku masih menulis S-O-E,” ujar Bung Karno, menjelaskan ihwal ejaan namanya yang benar adalah SUKARNO dengan tanda tangannya yang masih menggunakan ejaan SOEKARNO karena kebiasaan.
Bagian ini sangat valid, karena merupakan penuturan langsung Bung Karno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams: “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.
( https://www.facebook.com/media/set/?set=a.147262667676.116011.124914792676&type=3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar