Selama kira-kira setengah abad terakhir (setelah selesai Perang Dunia II)
semangat pembangunan yang berorientasikan perkotaan (urban bias) merupakan gejala yang mendunia, terutama bagi
negara-negara dunia ketiga (termasuk di Indonesia). Menurut Todaro, hal
tersebut berakibat tingginya laju urbanisasi ke kota-kota besar, yang dampaknya
antara lain terjadinya: (1) berkembang pesatnya sektor informal, (2) kemacetan
lalu-lintas, (3) permukiman kumuh, (4) pengangguran terselubung, (5)
pelanggaran hukum, terutama hukum pidana (kriminal, prostitusi, perdagangan
obat terlarang).
Kondisi yang demikian di Indonesia mulai terasa pada dekade 80-an. Ideologi
Pemerintah dapat dikatakan “pembangunan”. Demi pembangunan segala apapun harus
terlaksana, terutama di daerah perkotaan. Namun
disayangkan bahwa pembangunan diartikan dalam lingkup yang sempit, yakni
pembangunan fisik. Pohon-pohon rindang ditebang diganti hutan tiang beton
penyangga gedung bertingkat tinggi. Hamparan sawah dan ladang berubah menjadi
hamparan aspal. Kunang-kunang hilang lenyap, dan berdatangan kupu-kupu malam,
berkeliaran di daerah remang-remang. Mata air mengering, berubah menjadi
cucuran air mata. Hal-hal yang seperti ini terjadi pula di Purwokerto.
Bu Retno, asal Purwokerto yang telah 20 tahun tinggal di Jakarta beberapa
minggu yang lalu pulang ke Purwokerto dengan tujuan utama, bernostalgia.
Mengenang masa muda. Dalam acara diskusi interaktif yang diselenggarakan oleh
salah satu radio swasta di Purwokerto, Bu Retno mengemukakan kekecewaannya.
Purwokerto sudah bukan Purwokerto lagi, Purwokerto telah hilang jati-dirinya,
Purwokerto telah sama dengan Jakarta,
atau kota-kota besar lainnya. Kekecewaan itu kiranya tidak hanya dialami oleh
Bu Retno saja, tetapi masih banyak Bu Retno, Bu Retno lainnya.
Purwokerto telah berubah. Itulah kenyataan. Di alun-alun, sudah tidak ada
lagi burung blekok yang suka bikin mangkel
para peserta upacara dengan kotorannya yang sering jatuh ke kepala. Taman
Merdeka dan Taman/Kebun (patung) Binatang, tempat para remaja pacaran, dan
mengurangi kepenatan berpikir mengerjakan PR (pekerjaan rumah) dari bapak atau ibu
guru. Tiada lagi pohon kenari berjejer di sepanjang jalur jalan Sekolah
(sekarang jalan Jend. Gatot
Soebroto). Jalur kereta api Purbalingga/ Sokaraja – Purwokerto yang kalau pagi
dan siang berjubel para pelajar yang abunemen Gedung bioskop Garuda yang terkenal dengan
film India-nya, dengan kursi yang penuh kutu busuk dan bau pesingnya. Tidak ketinggalan,
Pasar Wage yang menjadi cikal-bakal kota Purwokerto.
Di Pasar Wage sekarang kita tidak dapat menikmati tahu gecot, sroto sambil melihat adu jago, atau anak-anak memilih burung dara, yang sedang giring. Yang masih tersisa adalah nama
dan bahasa pengantar transaksi dengan logat banyumasan yang medok sangat kental terasa. Dilihat dari
barang yang diperjual-belikan dan sistem transaksi (dengan tawar-menawar, tanpa
label harga) menunjukkan bahwa Pasar Wage merupakan pasar tradisional. Atau
dapat dikatakan bahwa isi Pasar Wage adalah aktyivitas tradisional. Namun
secara fisik, Pasar Wage bukan pasar tradsional lagi.
Bila dicermati lebih mendalam, masyarakat tradisional dalam membangun termasuk
membangun pasar sagatlah bijak. Penuh dengan perhitungan, yang semuanya demi
keselamatan dan kesejahteraan para penghuni atau penggunanya. Keseimbangan
hubungan antara manusia (secara individu) dengan Tuhan, alam, dan masyarakat
sangat diutamakan. Permohonan dan puji syukur senantiasa disampaikan kepada
Tuhan, alam dan masyarakat mlai dari pra sampai pasca pembangunan. Kepentingan
pembeli lebih diutamakan dari pada kepentingan pedagang. Tuna satak bathi sanak kata pepatah orang Jawa. Karena pembeli
adalah raja, sehingga harus dilayani sebaik mungkin, atau dengan kata lain
bahwa aspirasi pembeli lebih diutamakan.
Dalam pemilihan lokasi, orang Jawa tidak sembarang dalam menentukannya. Lokasi
pasar harus mempunyai indang. Tidak
semua lokasi mempunyai indang pasar.
Pada lokasi yang ber-indang, pembeli
akan mudah datang berbelanja, dan penjual akan laku dagangannya. Dengan
relokasi, lokasi Pasar Wage sulit diketahui orang. Apakah lokasi yang baru itu Pasar
Wage masih mempunyai indang? Jawabnya ada pada diri kita (masyarakat tingkat
menengah ke bawah). Kalau kita masih mau berbelanja dengan kondisi pasar yang
panas dan pengap (karena sirkulasi udara yang tidak lancar), bingung tidak tahu
tempat penjualan barang yang kita butuhkan berarti Pasar Wage masih mempunyai indang.
Pada hari Kamis Kliwon 24 Mei 2001 melalui koran lokal sudah saya tulis
bahwa pembangunan Pasar Wage bukan mengatasi masalah yang ada, tetapi menunda
permasalahan yang lebih besar di kemudian hari. Apa yang sekarang terjadi
adalah masalah yang berkepanjangan. Karena pembangunan Pasar Wage hanya
mengatasi indikator, bukan mengatasi akar permasalahan.
Tidak lama lagi DPRD Kabupaten Banyumas akan membentuk Panitia Khusus
(Pansus) Pasar Wage. Namun pansus tidak akan mengungkap prosedur pembangunan
Pasar Wage. Yang akan dibahas adalah bagaimana ke depannya. Secara hukum dan
politik hal tersebut tidak masalah. Namun secara teknis arsitektural,
pengungkapan masa lampau untuk mencari akar permasalahan pembangunan Pasar Wage
adalah suatu keharusan. Tujuan pembangunan minimalnya adalah mengatasi
permasalahan yang ada.
Perencanaan memang mahal, tetapi lebih mahal lagi pembangunan tanpa
konsep perencanaan yang matang, yakni konsep yang cermat penuh dengan
perhitungan. Eko Budihardjo (1986) berpesan kepada para Arsitek bahwa
arsiteklah pengubah permukaan bumi kota.
Melenyapkan bangunan dari muka bumi tidak semudah memindah lukisan yang
dianggap jelek. Sekali Arsitek membuat kesalahan, seumur hidup akan terlihat. Sebab
bangunan yen wis umur setengah abad, tan kena binabad. Karenanya
Goethe (dalam Eko Budihardjo, 1986) mengatakan: “…. maka pembangun/Arsitek
tidak boleh meraba-raba dan mencoba-coba apa yang seharusnya tetap berdiri,
harus tetap berdiri dan jika tidak untuk abadi. Orang boleh berbuat kesalahan,
tetapi tidak dalam membangun”.
Beberapa waktu lalu, sewaktu saya mau beli iket di pedagang Oasar Wage langganan saya, setelah saya basa-basi tanya
keselamatan, saya tanya kondisi transaksi dagangannya yang dijawab enteng .. “Lhah
genah niki lagi pileg koh Pak”. Secara spontan saya Tanya: “Mbok mpun deobati Bu ..”. Saya jadi
tertawa mendengar jawaban si Ibu: “Pileg
niku artine mipil deleg”. Dalam hati saya ngomong “pantesan banyak pedagang
yang menutup dagangannya ….”.
Semoga penyakit Pasar Wage tidak menular pada pembangunan pasar Sokaraja
atau pasar-pasar lainnya. Karenanya kita, masyarakat Banyumas tidak perlu malu-malu
belajar pada pembangunan pasar Beringharjo di Yigyakarta atau Pasar Johar di Semarang,
yang indang-nya masih tetap kuat dan
besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar