Trotoar
Hampir semua kota di dunia, baik
besar maupun kecil, memiliki suatu area khusus di tepi jalan raya yang
diperuntukkan bagi para pejalan kaki. Lazimnya, area tersebut agak lebih tinggi
dari permukaan jalan. Kemungkinan dimaksudkan demi keamanan para pejalan kaki
agar kendaraan yang melintas di jalan tidak mudah menyimpang dari jalurnya
menuju area tersebut.
Tak jarang sejumlah pohon atau pot
besar berisi tanaman sengaja dibiarkan menghuni sepersekian dari lebar area
dengan tujuan untuk memperindah suasana atau memberi sedikit keteduhan di
tengah kegersangan hutan beton kota. Tempat-tempat sampah pun diletakkan di
beberapa titik lokasi demi menghindari berserakannya sampah dari orang-orang
yang melintas, meskipun upaya itu kerapkali hampir bisa dikatakan percuma di
kota-kota yang kesadaran masyarakatnya rendah perihal kebersihan.
Area khusus pejalan kaki itu
dinamakan sidewalk di negara Amerika Serikat. Kalau di Inggris,
orang-orangnya lebih suka menyebutnya sebagai pavement. Di Perancis,
istilah yang dipakai adalah trotoir. Mungkin dari kata inilah istilah
trotoar dalam bahasa Indonesia muncul untuk menyebut wilayahnya para pejalan
kaki di tepi jalan.
Selain itu, di Indonesia ada istilah
lain yang dikenakan kepada trotoar, yaitu kaki lima. Istilah ini berasal dari
sistem metrik di Amerika Serikat yang menggunakan ukuran foot (feet-plural)
yang diterjemahkan sebagai “kaki,” yaitu ukuran sekitar 30,48 cm. Dalam hal
ini, jarak lebar trotoar pada umumnya sepanjang lima kaki, walaupun tidak semua
trotoar menggunakan itu sebagai standar. Ukuran lima kaki ini entah bagaimana
kemudian disebut-sebut sebagai kaki lima hingga kini.
Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 131 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Pejalan Kaki
berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain”. Dari ketentuan
tersebut jelas bahwa dalam pembangunan jalur jalan, pemerintah wajib
menyediakan jalur trotoar yang khusus dimanfaatkan oleh para Pejalan Kaki.
Adapun yang dimaksud Pejalan Kaki adalah termasuk pengguna kursi roda.
Dalam
hal lebar trotoar, dalam Petunjuk Perencanaan Trotoar No. 007/T/BNKT/1990
Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan kota telah
menetapkan: Lebar Minimum Trotoar Menurut Penggunaan Lahan Sekitarnya sebagai
berikut:
No.
|
Penggunaan
lahan di sekitarnya
|
Lebar minimum (m)
|
1.
|
Perumahan
|
1,50
|
2.
|
Perkantoran
|
2,00
|
3.
|
Industri
|
2,00
|
4.
|
Sekolah
|
2,00
|
5.
|
Terminal/Stop
Bus
|
2,00
|
6.
|
Pertokoan/Perbelanjaan
|
2,00
|
7.
|
Jembatan/Terowongan
|
1,00
|
Walau sudah ada ketentuan perundang-undangan yang menetapkan
demikian, namun dalam kenyataan di lapangan hal itu jarang dapat terlaksana
dengan baik. Trotoar telah banyak beralih fungsi
dari yang semestinya. Trotoar tidak lagi bisa dimanfaatkan secara maksimal
untuk tempat berjalan. Atau kalau pun masih bisa, tetap saja perlu kewaspadaan
ekstra dari orang-orang yang melangkah di atasnya.
Tidak sedikit trotoar yang dipakai
secara seenaknya oleh para pedagang sehingga menghasilkan istilah pedagang kaki
lima. Mulai dari yang berjualan rokok dengan gerobaknya, sepatu, pakaian,
sampai warung tenda yang menjajakan makanan sehingga menelan lebih dari separuh
atau bahkan seluruh lebar trotoar yang tersedia. Selain itu, tukang tambal ban
juga seringkali menyalahgunakan gratisnya trotoar untuk tempat usaha mereka.
Tak ketinggalan pula tukang parkir yang mengantongi uang setiap hari dari hasil
parkir kendaraan bermotor di trotoar, sementara para pejalan kaki harus rela
menyingkir ke tepi jalan raya seraya merasa cemas kalau-kalau terserempet
kendaraan.
Kalaupun trotoarnya tidak
disalahgunakan sebagai tempat mencari penghasilan, para pejalan kaki tetap
harus waspada tatkala berjalan di trotoar. Karena ketika kemacetan terjadi di
jalan raya, para pengendara sepeda motor kerap memanfaatkan trotoar sebagai
jalan pintas untuk keluar dari jebakan macet. Apalagi kalau trotoarnya
tergolong sempit, makin harus mengalahlah para pejalan kaki yang cuma
bermodalkan sepasang kaki ini menghadapi roda-roda yang berputar cepat.
Trotoar di Purwokerto
Secara
umum kondisi trotoar di Purwokerto sangat memprihatinkan. Trotoar yang dari
fungsinya untuk melayani para pejalan kaki dan pengguna kursi roda sangat tidak
manusiawi. Kenyamanan para pejalan kaki dan pengguna kursi roda tidak
diperhatikan sama sekali. Trotoar sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem jaringan jalur jalan raya keberadaannya hanya sekedar formalitas.
Pemarintah Kabupaten Banyumas lebih mementingkan jalur jalan untuk kendaraan
atau dengan kata lain lebih mementingkan para pemilik dan pengguna kendaraan
khususnya kendaraan bermotor dari pada para pejalan kaki yang pada umumnya golongan
menengah ke bawah.
Seperti
halnya di kota lain, fungsi trotoar di kota Purwokerto lebih di dominasi
sebagai tempat usaha atau pelayanan tempat usaha dari pada untuk pejalan kaki
dan/atau pengguna kursi roda, Kondisi demikian telah berjalan lama dan tidak
ada upaya sama sekali dari Pemerintah Kabupaten untuk mengembalikan fungsi
trotoar sebagaimana mestinya. Banyak titik-titik tertentu dengan kondisi rusak
yang dibiarkan tanpa ada usaha perbaikan secepatnya.
Bahkan
pada trotoar yang relative baru pembangunannya, seperti di jalur jalan Jend,
Soedirman, jalan Jend, Gatot Soebroto dan jalur jalan dr, Angka trotoar
dibangun tanpa memperhatikan ketentuan dalam Petunjuk Perencanaan Trotoar No. 007/T/BNKT/1990
Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota. Di jalur jalan
dr. Angka terdapat trotoar dengan lebar kurang dari 50 cm. Hal ini jelas tidak
manusiawi, karena untuk jalan kaki satu orang pun terasa tidak nyaman sama
sekali. Dan akan lebih tidak nyaman lagi bagi pengguna kursi roda, karena
eklain lebar yang tidak memenuhi syarat (kurang dari 60 cm) di beberapa tempat
terdapat kemiringan trotoar yang relatif besar.
Pada
trotoar pembangunan baru permasalahan yang ada adalah selain lebar trotoar
belum memenuhi standar, juga ujung trotoar yang buntu atau lantai ujung trotoar
yang tidak landai. Hal ini jelas tidak dapat dipergunakanoleh pengguna kursi
roda. Di banyak titik, perlengkapan jalan seperti tiang jaringan listrik, tiang
lampu penrangan jalan, tiang jaringan telpon, pot pohon perindang dengan ukuran
yang relatif besar, sering terletak berdekatan sehingga sangat menggagu para
pengguna jalur trotoar tersebut.
Purwokerto,
awal Juni 2013
Demikianlah keadaan di kota2... masing2 dinas ataupun instansi baik plat merah ataupun plat hitam memiliki kepentingan yg katanya paling penting, sehingga menganggap tidak penting terhadap pemilik hak utamanya..
BalasHapusBetul juga ....
BalasHapus