Sabtu, 20 April 2013

GANG SADAR, BUKAN GANG ORANG SADAR



Dalam teori kepariwisataan terdapat beberapa unsur yang dapat dijadikan pemabngkit pertumbuhan dan perkembangan sektor pariwisata, yaitu unsur-unsur: obyek, atrakksi dan kegiatan pelayanan. Bagi selera orang Barat, unsur-unsur tersebut disingkat dalam ”4 S”, yakni: Sun, Sea, Sand, dan Sex atau matahari, laut, pasir dan seks. Itulah makanya di daerah wisata pada umumnya akan tumbuh dan berkembang pelayanan seks bagi wisatawan.
Bagi masyarakat Banyumas, khususnya masyarakat Baturaden sudah tidak asing lagi dan sangat mengetahui apa dan dimana Gang Sadar itu. Masyarakat juga sudah sadar sesadar-sadarnya, apa dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas yang dilakukan di sana. Lebih banyak sisi negatif dari pada sisi positifnya. Karenanya sebagian masyarakat menghendaki agar Gang Sadar ditutup, yang maksudnya meniadakan kegiatan (prostitusi), bukan menutup gang, sehingga orang tidak bisa lewat.
Menutup Gang Sadar bukan mengatasi masalah, tetapi memindahkan masalah, yang justru akan lebih sulit mengatasi atau memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan. Menutup Gang Sadar (lokalisasi prostitusi) ibarat menutup TPA (Tempat Pembuangan Akhir sanpah), yang akibatnya sampah akan berserakan ke seluruh wilayah. Sudah siapkah kita mengatasi bau busuk dari sampah yang berserakkan di lingkungan kita? Itulah masalah kita bersama.
Dikatakan bahwa prostitusi merupakan profesi tertua di dunia. Semenjak ada kehidupan manusia, telah ada prostitusi, dan akan terus ada selama masih ada kehidupan manusia. Hal ini didasarkan anggapan bahwa secara naluriah, manusia baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial, melalui berbagai cara dan usaha dalam bentuk budaya, mempunyai kehendak yang antara lain: (1) mempertahankan dirinya dari gangguan dan tantangan yang ada; (2) mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya; (3) mempertahankan hidup generasinya melalui perkawinan; (4) mengadakan hubungan seksual antara kedua jenis kelamin untuk memenuhi kebutuhan biologis, khususnya bagi mereka (laki-laki) yang jauh dari pasangan hidup atau istrinya.
Dari pendapat beberapa ahli melalui hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa di dalam praktek prostitusi terdapat unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: (1) para pelaku atau subyek prostitusi adalah orang laki-laki dan orang perempuan di luar hubungan pernikahan, (2) peristiwa yang dilakukan adalah hubungan seksual atau hubungan persetubuhan, yang dilakukan atas kesepakatan bersama antara kedua pihak, atau bukan karena paksaan, dan (3) tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan biologis (bagi laki-laki), dan kebutuhan uang (bagi perempuan).
Dari aspek ekonomi, yang bekerjanya atas dasar hubungan supply and demand, jelas bahwa di dalam praktek prostitusi terlihat sebagaimana tersebut dalam butir (3) di atas. Tekanan ekonomi sebagai akibat ditinggal suami merupakan alasan klasik untuk timbulnya prostitusi, yang akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan keadaan (kuantitas dan kualitas kehidupan) manusia khususnya di daerah-daerah perkotaan.
Disadari bahwa prostitusi ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang berdampak tidak baik (negatif). Dampak negatif tersebut antara lain: (a) secara sosiologis prostitusi merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat; (b) dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi; (c) dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan yang merendahkan martabat wanita; (d) dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja; (e) dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya; (f) dari aspek kamtibmas, praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan kriminal; dan (g) dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan.
Namun tanpa memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan, serta haram dan halalnya uang yang mereka peroleh, suatu kenyataan bahwa dari praktek prostitusi mereka dapat menghidupi dirinya dan keluarganya, dan bahkan dapat menyekolahkan anak atau dirinya, serta membangun rumahnya.
Sudah banyak upaya menghapuskan praktek prostitusi dari lingkungan pergaulan masyarakat. Namun kenyataannya prostitusi masih tetap ada. Beberapa usaha dan tindakan pemerintah dalam menangani permasalahan dan dampak negatif prostitusi adalah:
1.   secara represif, yang antara lain: (a) merealisasi ketentuan ilem pidana terhadap pelanggarnya, (b) tidakan pengawasan, pengaturan dan pencegahan penyakit yang ditimbulkan karena praktek prostitusi;
2.   secara preventif, yang antara lain: (a) penyelenggaraan pendidikan seks di sekolah, (b) penyuluhan bahaya penyakit yang diakibatkan oleh praktek prostitusi, (c) pertolongan psikhologis-psikhiatris terhadap para gadis yang menunjukkan gejala kedewasaan kehidupan seksual dan bantuan perawatan anak-anak di sekolah.
Namun kiranya kegiatan-kegiatan tersebut belum menampakkan hasilnya, sehingga perlu ditingkatkan baik secara intensif maupun ekstensif.
Selain hal-hal tersebut di atas, kewajiban lain dari pemerintah adalah menentukan lokasi lokalisasi prostitusi, yaitu tempat yang terpencil, ilemma mana daerah/kawasan tersebut akan dikembangkan. Dengan lokasi yang terpencil tersebut diharapkan akan dapat mengurangi/memperkecil kunjungan tujuan laki-laki hidung belang untuk praktek prostitusi.
Diyakini bahwa dengan adanya lokalisasi di daerah terpencil tersebut, di sekitar area lokalisasi akan tumbuh berbagai fasilitas pelayanan, dan terus akan berkembang, seperti kata pepatah: ada gula ada semut. Setelah hidup berkembang sebagai layaknya suatu daerah hunian, lokalisasi dipindahkan ke tempat baru yang terpencil juga, dan akan berkembang lagi. Demikian seterusnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prostitusi merupakan pionir pengembangan daerah/kawasan.
Suatu ilemma, bahwa telah disadari dari aspek apapun prostitusi merupakan suatu hal yang negatif, namun sangat sulit atau bahkan mungkin tidak dapat dihilangkan dari kehidupan masyarakat atau merupakan penyakit mayarakat. Karenanya permasalahan prostitusi bukan hanya merupakan permasalahan pemerintah khususnya dinas/instansi terkait, tetapi juga permasalahan mayarakat secara umum. Agar dampak negatif prostitusi tidak menyebar atau menular ke lingkungan sekitar, maka diperlukan berbagai pembatasan dalam prakteknya, yang antara lain melalui lokalisasi prostitusi.
Lokalisasi sebagai tempat penampungan dan praktek prostitusi merupakan tempat pembinaan dan pengentasan prostitusi, yang keberhasilannya sangat tergantung pada peranserta berbagai pihak terkait (lembaga dan instansi dan masyarakat). Berbagai kegiatan yang dilaksanakan di lokalisasi prostitusi antara lain:
  1. Pendidikan budi pekerti/moral dan agama, dengan harapan agar peserta dapat memahami dan menyadari akan etika, dan norma-norma yang ada di dalam mayarakat.
  2. Pendidikan ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan kerja, dengan tujuan agar peserta dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna sebagai modal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
  3. Pengetahuan kesehatan, dengan tujuan agar peserta mengetahui dan menjaga diri dari terjangkitnya penyakit sebagai akibat hubungan seks bebas.
  4. Permodalan dengan tujuan agar peserta (germo dan penjaja seks) dapat mengetahui cara/ prosedur memperoleh kredit modal kerja.
  5. Sosial/kemasyarakatan, dengan tujuan agar peserta mengetahui hak dan kewajiban warga mayarakat dalam hidup bermasyarakat secara rukun damai, dan dapat menerima mantan germo dan penjaja seks.
Kegiatan-kegiatan tersebut oleh berbagai pihak yang terkait secara terpadu dilaksanakan dan dievaluasi/dimonitor secara berkesinambungan keberhasilannya.

Purwokerto, akhir Desember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar