Dalam teori
kepariwisataan terdapat beberapa unsur yang dapat dijadikan pemabngkit
pertumbuhan dan perkembangan sektor pariwisata, yaitu unsur-unsur: obyek,
atrakksi dan kegiatan pelayanan. Bagi selera orang Barat, unsur-unsur tersebut
disingkat dalam ”4 S”, yakni: Sun, Sea,
Sand, dan Sex atau matahari,
laut, pasir dan seks. Itulah makanya di daerah wisata pada umumnya akan tumbuh
dan berkembang pelayanan seks bagi wisatawan.
Bagi masyarakat Banyumas,
khususnya masyarakat Baturaden sudah tidak asing lagi dan sangat mengetahui apa
dan dimana Gang Sadar itu. Masyarakat
juga sudah sadar sesadar-sadarnya, apa dampak negatif yang ditimbulkan dari
aktivitas yang dilakukan di sana. Lebih banyak sisi negatif dari pada sisi
positifnya. Karenanya sebagian masyarakat menghendaki agar Gang Sadar ditutup,
yang maksudnya meniadakan kegiatan (prostitusi), bukan menutup gang, sehingga
orang tidak bisa lewat.
Menutup Gang Sadar bukan mengatasi masalah, tetapi
memindahkan masalah, yang justru akan lebih sulit mengatasi atau memperkecil
dampak negatif yang ditimbulkan. Menutup Gang Sadar (lokalisasi prostitusi)
ibarat menutup TPA (Tempat Pembuangan Akhir sanpah), yang akibatnya sampah akan
berserakan ke seluruh wilayah. Sudah siapkah kita mengatasi bau busuk dari
sampah yang berserakkan di lingkungan kita? Itulah masalah kita bersama.
Dikatakan bahwa prostitusi merupakan profesi
tertua di dunia. Semenjak ada kehidupan manusia, telah ada prostitusi, dan akan
terus ada selama masih ada kehidupan manusia. Hal ini didasarkan anggapan bahwa
secara naluriah, manusia baik sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk
sosial, melalui berbagai cara dan usaha dalam bentuk budaya, mempunyai kehendak
yang antara lain: (1) mempertahankan dirinya dari gangguan dan tantangan yang
ada; (2) mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya; (3)
mempertahankan hidup generasinya melalui perkawinan; (4) mengadakan hubungan
seksual antara kedua jenis kelamin untuk memenuhi kebutuhan biologis, khususnya
bagi mereka (laki-laki) yang jauh dari pasangan hidup atau istrinya.
Dari pendapat beberapa ahli melalui hasil
penelitiannya dapat disimpulkan bahwa di dalam praktek prostitusi terdapat
unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: (1) para pelaku atau subyek
prostitusi adalah orang laki-laki dan orang perempuan di luar hubungan
pernikahan, (2) peristiwa yang dilakukan adalah hubungan seksual atau hubungan
persetubuhan, yang dilakukan atas kesepakatan bersama antara kedua pihak, atau
bukan karena paksaan, dan (3) tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan biologis
(bagi laki-laki), dan kebutuhan uang (bagi perempuan).
Dari aspek ekonomi, yang bekerjanya atas dasar
hubungan supply and demand, jelas
bahwa di dalam praktek prostitusi terlihat sebagaimana tersebut dalam butir (3)
di atas. Tekanan ekonomi sebagai akibat ditinggal suami merupakan alasan klasik
untuk timbulnya prostitusi, yang akan terus berkembang sesuai dengan
perkembangan keadaan (kuantitas dan kualitas kehidupan) manusia khususnya di
daerah-daerah perkotaan.
Disadari bahwa
prostitusi ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang berdampak
tidak baik (negatif). Dampak negatif tersebut antara lain: (a) secara
sosiologis prostitusi merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma
dan etika yang ada di dalam masyarakat; (b) dari aspek pendidikan, prostitusi
merupakan kegiatan yang demoralisasi; (c) dari aspek kewanitaan, prostitusi
merupakan kegiatan yang merendahkan martabat wanita; (d) dari aspek ekonomi,
prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja; (e) dari
aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk
menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya; (f) dari aspek
kamtibmas, praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan kriminal; dan
(g) dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika
lingkungan perkotaan.
Namun tanpa
memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan, serta haram dan halalnya uang
yang mereka peroleh, suatu kenyataan bahwa dari praktek prostitusi mereka dapat
menghidupi dirinya dan keluarganya, dan bahkan dapat menyekolahkan anak atau
dirinya, serta membangun rumahnya.
Sudah banyak upaya
menghapuskan praktek prostitusi dari lingkungan pergaulan masyarakat. Namun kenyataannya
prostitusi masih tetap ada. Beberapa
usaha dan tindakan pemerintah dalam menangani permasalahan dan dampak negatif
prostitusi adalah:
1. secara represif, yang antara lain: (a)
merealisasi ketentuan ilem pidana terhadap pelanggarnya, (b) tidakan pengawasan,
pengaturan dan pencegahan penyakit yang ditimbulkan karena praktek prostitusi;
2. secara preventif, yang antara lain: (a) penyelenggaraan
pendidikan seks di sekolah, (b) penyuluhan bahaya penyakit yang diakibatkan
oleh praktek prostitusi, (c) pertolongan psikhologis-psikhiatris terhadap para
gadis yang menunjukkan gejala kedewasaan kehidupan seksual dan bantuan
perawatan anak-anak di sekolah.
Namun kiranya
kegiatan-kegiatan tersebut belum menampakkan hasilnya, sehingga perlu
ditingkatkan baik secara intensif maupun ekstensif.
Selain hal-hal tersebut
di atas, kewajiban lain dari pemerintah adalah menentukan lokasi lokalisasi
prostitusi, yaitu tempat yang terpencil, ilemma mana daerah/kawasan tersebut
akan dikembangkan. Dengan lokasi yang terpencil tersebut diharapkan akan dapat
mengurangi/memperkecil kunjungan tujuan laki-laki hidung belang untuk praktek
prostitusi.
Diyakini bahwa dengan
adanya lokalisasi di daerah terpencil tersebut, di sekitar area lokalisasi akan
tumbuh berbagai fasilitas pelayanan, dan terus akan berkembang, seperti kata
pepatah: ada gula ada semut. Setelah hidup berkembang sebagai layaknya suatu
daerah hunian, lokalisasi dipindahkan ke tempat baru yang terpencil juga, dan
akan berkembang lagi. Demikian seterusnya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa prostitusi merupakan pionir pengembangan daerah/kawasan.
Suatu ilemma, bahwa telah
disadari dari aspek apapun prostitusi merupakan suatu hal yang negatif, namun
sangat sulit atau bahkan mungkin tidak dapat dihilangkan dari kehidupan
masyarakat atau merupakan penyakit mayarakat. Karenanya permasalahan prostitusi
bukan hanya merupakan permasalahan pemerintah khususnya dinas/instansi terkait,
tetapi juga permasalahan mayarakat secara umum. Agar dampak negatif prostitusi
tidak menyebar atau menular ke lingkungan sekitar, maka diperlukan berbagai
pembatasan dalam prakteknya, yang antara lain melalui lokalisasi prostitusi.
Lokalisasi sebagai tempat
penampungan dan praktek prostitusi merupakan tempat pembinaan dan pengentasan
prostitusi, yang keberhasilannya sangat tergantung pada peranserta berbagai
pihak terkait (lembaga dan instansi dan masyarakat). Berbagai kegiatan yang
dilaksanakan di lokalisasi prostitusi antara lain:
- Pendidikan budi pekerti/moral dan agama, dengan harapan agar peserta dapat memahami dan menyadari akan etika, dan norma-norma yang ada di dalam mayarakat.
- Pendidikan ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan kerja, dengan tujuan agar peserta dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna sebagai modal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Pengetahuan kesehatan, dengan tujuan agar peserta mengetahui dan menjaga diri dari terjangkitnya penyakit sebagai akibat hubungan seks bebas.
- Permodalan dengan tujuan agar peserta (germo dan penjaja seks) dapat mengetahui cara/ prosedur memperoleh kredit modal kerja.
- Sosial/kemasyarakatan, dengan tujuan agar peserta mengetahui hak dan kewajiban warga mayarakat dalam hidup bermasyarakat secara rukun damai, dan dapat menerima mantan germo dan penjaja seks.
Kegiatan-kegiatan tersebut
oleh berbagai pihak yang terkait secara terpadu dilaksanakan dan
dievaluasi/dimonitor secara berkesinambungan keberhasilannya.
Purwokerto, akhir
Desember 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar