Prostitusi, penyebab dan dampaknya
Dikatakan
bahwa prostitusi merupakan profesi tertua di dunia. Semenjak ada kehidupan
manusia, telah ada prostitusi, dan akan terus ada selama masih ada kehidupan manusia.
Hal ini didasarkan anggapan bahwa secara naluriah, manusia baik sebagai mahluk
individu maupun sebagai mahluk sosial, melalui berbagai cara dan usaha dalam
bentuk budaya, mempunyai kehendak yang antara lain: (1) mempertahankan dirinya
dari gangguan dan tantangan yang ada; (2) mempertahankan hidup dan
mengembangkan kehidupannya; (3) mempertahankan hidup generasinya melalui
perkawinan; (4) mengadakan hubungan seksual antara kedua jenis kelamin untuk
memenuhi kebutuhan biologis; dan lain-lain
Dari pendapat
beberapa ahli melalui hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa di dalam
praktek prostitusi terdapat unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
- Para pelaku atau subyek prostitusi adalah orang laki-laki dan orang perempuan di luar hubungan pernikahan.
- Peristiwa yang dilakukan adalah hubungan seksual atau hubungan persetubuhan, yang dilakukan atas kesepakatan bersama antara kedua pihak, atau bukan karena paksaan.
- Tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan biologis (bagi laki-laki), dan kebutuhan uang (bagi perempuan).
Dari
aspek ekonomi, yang bekerjanya atas dasar hubungan supply and demand, jelas bahwa di dalam praktek prostitusi terlihat
sebagaimana tersebut dalam butir (3) di atas. Tekanan ekonomi sebagai akibat
ditinggal suami merupakan alasan klasik untuk timbulnya prostitusi, yang akan
terus berkembang sesuai dengan perkembangan keadaan (kuantitas dan kualitas
kehidupan) manusia khususnya di daerah-daerah perkotaan.
Disadari bahwa prostitusi ditinjau dari sudut
manapun merupakan suatu kegiatan yang berdampak tidak baik (negatif). Dampak
negatif tersebut antara lain: (a) secara sosiologis prostitusi merupakan
perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam
masyarakat; (b) dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang
demoralisasi; (c) dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan yang
merendahkan martabat wanita; (d) dari aspek ekonomi, prostitusi dalam
prakteknya sering terjadi pemerasanm tenaga kerja; (e) dari aspek kesehatan,
praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya
penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya; (f) dari aspek kamtibmas,
praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan kriminal; dan (g) dari
aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika
lingkungan perkotaan.
Namun tanpa memperhatikan dampak negatif yang
ditimbulkan, serta haram dan halalnya uang yang mereka peroleh, suatu kenyataan
bahwa dari praktek prostitusi mereka dapat menghidupi dirinya dan keluarganya,
dan bahkan dapat menyekolahkan anak atau dirinya, serta membangun rumahnya.
Sudah banyak upaya menghapuskan praktek
prostitusi dari lingkungan pergaulan masyarakat. Namun kenyataannya prostitusi
masih tetap ada. Beberapa usaha dan tindakan pemerintah dalam menangani
permasalahan dan dampak negatif prostitusi adalah:
- secara represif, yang antara lain: (a) merealisasi ketentuan hukum pidana terhadap pelanggarnya, (b) tidakan pengawasan, pengaturan dan pencegahan penyakit yang ditimbulkan karena praktek prostitusi;
- secara preventif, yang antara lain: (a) penyelenggaraan pendidikan seks di sekolah, (b) penyuluhan bahaya penyakit yang diakibatkan oleh praktek prostitusi, (c) pertolongan psikhologis-psikhiatris terhadap para gadis yang menunjukkan gejala kedewasaan kehidupan seksual dan bantuan perawatan anak-anak di sekolah.
Namun
kiranya kegiatan-kegiatan tersebut belum menampakkan hasilnya, sehingga perlu
ditingkatkan baik secara intensif maupun ekstensif.
Faktor-faktor pengembang prostitusi
Perkembangan
teknologi merupakan tuntutan jaman, tuntutan kehidupan manusia dalam memnuhi
kebutuhannya. Dengan perkembangan teknologi pula menjadikan kota (terutama di negara-negara sedang
berkembang) dibangun sedemikian, sehingga terjadi perbedaan yang sangat
mencolok bila dibandingkan dengan kondisi di perdesaan. Semua itu merupakan
magnit urbanisasi yang sangat kuat.
Urbanisasi
(secara demografi, dalam arti perpindahan penduduk dari desa ke kota) mereka
lakukan dengan maksud untuk mempertahankan hidup dan mempercepat proses
pengembangan kehidupan. Melalui media televisi, terlihat gebyarnya perkotaan,
betapa mudahnya orang mendapatkan kemewahan di perkotaan (terutama kota-kota
besar). Semua itu menjadikan kecemburuan bagi waga perdesaan. Terjadilah
perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota besar, dengan satu tujuan yakni
mencari pekerjaan demi uang.
Dari
berbagai pengamatan dan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa sebagai
akibat urbanisasi yang tanpa diikuti urbanisasi secara sosial (perubahan pola
pikir dan peri laku urbanisan) antara lain adanya beberapa dampak negatif dalam
aspek fisik lingkungan, aspek ekonomi, maupun aspek sosial dan hukum, yang
salah satunya adalah timbulnya prostitusi.
Dengan
modal pengetahuan dan keterampilan yang seadanya, tanpa mengetahui perbedaan
yang sangat kontras antara perdesaan di kota-kota kecil dengan perkotaan
merupakan kendala utama dalam memperoleh pekerjaan yang diimpikan sebelumnya.
Keadaan terpaksa oleh kegagalan demi kegagalan untuk mendapatkan pekerjaan
legal, keengganan untuk kembali ke desa, ditunjang dengan tipuan dan rayuan
para lelaki hidung belang merupakan langkah awal menuju dunia prostitusi.
Dengan
menerapkan teori Swab, maka faktor-faktor yang menyebabkan timbul dan
berkembangnya prostitusi antara lain:
- Kondisi kependudukan, yang antara lain: jumlah penduduk yang besar dengan komposisi penduduk wanita lebih banyak dari pada penduduk laki-laki.
- Perkembangan tenologi, yang antara lain: teknologi industri kosmetik termasuk operasi plastik, alat-alat dan/atau obat pencegah kehamilan; teknologi dalam telekomunikasi dan transportasi. Dalam hal ini yang jelas adalah penyalahgunaan terhadap produk-produk perkembangan teknologi di bidang industri.
- Lemahnya penerapan, dan ringannya sanksi hukum positif yang diterapkan terhadap pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum tersebut dapat dilakukan oleh pelaku (subyek) prostitusi, mucikari, pengelola hotel/penginapan, dan lain-lain. Mahalnya biaya (resmi) pernikahan, sulitnuya prosedur perceraian juga merupakan faktor pengembangan praktek prostitusi secara kuantitas.
- Kondisi lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungann alam (fisik) yang menunjang. Kurangnya kontrol di lingkungan permukiman oleh masyarakat sekitar, serta lingkungan alam seperti: jalur-jalur jalan, taman-taman kota, atau tempat-tempat lain yang sepi dan kekurangan fasilitas penerangan di malam hari, sangat menunjang untuk terjadinya praktek prostitusi.
Prostitusi
dan pengembangan kota
Dalam
teori/konsepsi perkotaan, prostitusi dapat diibaratkan sebagai jaringan riool
kota atau jaringan pembuang kotoran. Riool kota yang berbau busuk, namun bila riool kota tersebut ditutup,
maka bau busuk tersebut akan menjalar ke seluruh penjuru kota. Untuk mengatasi permasalahan tersebut
diperlukan kesadaran para warga kota, agar dalam membangun rumah dilengkapi
pula dengan adanya kakus, septic tank, dan sumur peresapan yang memenuhi
persyaratan, dengan lokasi yang tidak mengganggu tetangga sebelah.
Bila
keadaan kurang memungkinkan sumur peresapan, tempat pembuangan akhir kotoran
keluarga dapat dimanfaatkan secara kolektif beberapa keluarga, atau bahkan
untuk seluruh warga kota. Lokasi pembuangan akhir tersebut terpencil sehungga
bau kotoran tidak mengganggu lingkungan sekitar. Bila perlu limbah tersebut diproses sedemikian agar kotoran
dapat diterima masyarakat dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Seperti
halnya pengatasan air kotor (linbah) keluarga, prostitusi pengatasannya dimulai
dari lingkup terkecil yakni keluarga. Dengan pondasi rumah tangga yang kuat
berupa pendidikan, baik pendidikan formal (pengetahuan ilmiah dan teknologi)
maupun pendidikan budi pekerti dan keagamaan bagi suatu keluarga merupakan
dasar yang kuat untuk dapat menghindari agar tidak terjerumus ke dalam lembah
prostitusi.
Suatu
dilema, bahwa telah disadari dari aspek apapun prostitusi merupakan suatu hal
yang negatif, namun sangat sulit atau bahkan mungkin tidak dapat dihilangkan
dari kehidupan masyarakat atau merupakan penyakit mayarakat. Karenanya
permasalahan prostitusi bukan hanya merupakan permasalahan pemerintah kota khususnya
dinas/instansi terkait, tetapi juga permasalahan mayarakat secara umum. Agar
dampak negatif prostitusi tidak menyebar atau menular ke lingkungan sekitar,
maka diperlukan berbagai pembatasan dalam prakteknya, yang antara lain melalui
lokalisasi prostitusi.
Lokalisasi
sebagai tempat penampungan dan praktek prostitusi merupakan tempat pembinaan
dan pengentasan prostitusi, yang keberhasilannya sangat tergantung pada
peranserta berbagai pihak (lembaga dan instansi pemerintah dan swasta) terkait,
termasuk masyarakat. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan di lokalisasi
prostitusi antara lain:
- Pendidikan budi pekerti/moral dan agama, dengan harapan agar peserta dapat memahami dan menyadari akan etika, dan norma-norma yang ada di dalam mayarakat. Adapun pesertanya adalah: gadis, germo/mucikari, dan penjaja seks.
- Pendidikan ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan kerja, dengan tujuan agar peserta dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna sebagai modal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pesertanya adalah: gadis desa, germo dan penjaja seks.
- Pengetahuan kesehatan, dengan tujuan agar peserta mengetahui dan menjaga diri dari terjangkitnya penyakit sebagai akibat hubungan seks bebas. Pesertanya adalah germa dan penjaja seks.
- Permodalan dengan tujuan agar peserta (germo dan penjaja seks) dapat mengetahui cara/ prosedur memperoleh kredit modal kerja.
- Sosial/kemasyarakatan, dengan tujuan agar peserta mengetahui hak dan kewajiban warga mayarakat dalam hidup bermasyarakat secara rukun damai, dan dapat menerima mantan germo dan penjaja seks.
Kegiatan-kegiatan
tersebut oleh berbagai pihak yang terkait secara terpadu dilaksanakan dan
dievaluasi/ dimonitor secara berkesinambungan keberhasilannya.
Selain
hal-hal tersebut di atas, kewajiban lain dari pemerintah adalah menentukan
lokasi lokalisasi prostitusi, yaitu tempat yang terpencil, ke arah mana kota
tersebut akan dikembangkan. Dengan lokasi yang terpencil tersebut diharapkan
akan dapat mengurangi/ memperkecil kunjungan tujuan laki-laki hidung belang
untuk praktek prostitusi.
Diyakini
bahwa dengan adanya lokalisasi di daerah terpencil tersebut, di sekitar area
lokalisasi akan tumbuh berbagai fasilitas pelayanan, dan terus akan berkembang,
seperti kata pepatah: ada gula ada semut. Setelah hidup berkembang sebagai
layaknya suatu daerah hunian, lokalisasi dipindahkan ke tempat baru yang
terpencil juga, dan akan berkembang lagi. Demikian seterusnya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa prostitusi merupakan pionir pengembangan kota.
Purwokerto, akhir Mei 2001
Radar
Banyumas: Rabu Kliwon, 13 Juni 2001
Saya mencoba masuk and dari sedulur Banyumasan
BalasHapusMangga ........
BalasHapusNgengingi pemilihan lokasi, jane kula cocoge lokalisasi prostitusi nggih caket kuburan mawon. Kon pada eling, mbesuk kula sami badhe dados penghuni rumah masa depan.
BalasHapusKaya neng Salatiga kuwe ....
HapusSetiap kabupaten/ kota perlu ada "lokalisasi" prostitusi yang terintegrasi dengan master plan pengembangan daerahnya... Nggih, yang? :)
BalasHapusCocok bin setuju mas ....
Hapusthanks buat infonya gan, sangat bermanfaat http://goo.gl/oiDrDv
BalasHapus