Jagad gede – jagad cilik
Atmo Djahnawi, Dosen senior Fakultas Hukum UNS tahun 1981
menulis buku yang berjudul Hukum Adat dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4). Dari judulnya seolah-olah buku tersebut merupakan corong Orde
Baru. Tetapi bila dikaji lebih mendalam diyakini bahwa Pancasila merupakan
budaya asli bangsa Indonesia, yang wajib dipertahankan dan dikembangkan sesuai
dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Di dalam buku tersebut Atmo Djahnawi antara lain menulis
bahwa terdapat kesamaan antara: manusia, rumah, desa, atau kota. Kesamaan
tersebut bahwa antara manusia, rumah, desa, atau kota mempunyai unsur-unsur
yang sama, yakni mikro kosmos, dan makro kosmos atau jagad gede dan jagad
cilik. Makro kosmos sebagai wadah dari mikro kosmos. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Prof. Ir. Soetami, mantan Menteri Pekerjaan Umum, yang di dalam
bukunya Ilmu Wilayah menyebutkan bahwa lingkungan mempunyai unsur-unsur fisik
(sebagai wadah), dan non fisik (sebagai isi).
Berangkat dari konsepsi jagad gede – jagad cilik ini
menimbulkan pengertian adanya hubungan yang sangat erat antara wadah dan
isinya. Dapat dikatakan bahwa jagad gede merupakan cerminan dari jagad
cilik. Hal tersebut tercermin pada: manusia, rumah, desa, maupun kota.
- Bagi manusia, perilaku merupakan cerminan hasil pemikiran dan hati kecilnya, bahkan dalam ajaran Jawa yang tertulis dalam primbon bahwa kondisi fisik (bagian tubuh) manusia merupakan lambang sifat orang itu sendiri.
- Bagi rumah, Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc. (Rektor UNDIP) menantang: “Tunjukkan rumah anda, maka saya akan tahu siapa anda”. Sedang di dalam primbon Jawa tertulis hitungan atau rumus pembangunan rumah yang didasarkan pada neptu (hari kelahiran) calon pemilik atau penghuninya. Ukuran bangunan rumah dengan modul panjang bagian tubuh calon pemilik/penghuni.
- Bagi desa, hubungan antara wadah dan isinya terlihat dari nama-nama desa yang mencerminkan tempat banyak orang melakukan kegiatan seperti: Kauman (tempat para kaum atau muslimin), Pecinan (tempat para Cina), Sudagaran (tempat para sudagar) dan lain sebagainya.
- Sedang bagi kota, yang bila dibandingkan dengan desa, lebih nampak pada sistem jaringan lalu-lintasnya. Di jalan-jalan banyak tertulis bahwa: tertib lalu-lintas merupakan cermin budaya masyarakatnya. Bila saluran-saluran atau got-got di suatu kota banyak yang rusak dan tersumbat sampah, sampah menumpuk membusuk, menunjukkan bahwa masyarakat kota yang bersangkutan kurang peduli lingkungannya, dan kurang sadar bergotong-royong untuk kerja-bakti.
Sektor formal dan informal
Suatu kenyataan bahwa di kota-kota negara-negara dunia
ketiga banyak terdapat perrumahan kumuh (slump) dan permukiman liar yang tidak
memenuhi persyaratan, baik secara teknis, kesehatan, etika, maupun estetika,
yang semua itu direncanakan dan dibangun oleh rakyat kelompok paling bawah.
Mereka hidup berdesak-desakan dalam gubung-gubug kardus tanpa fasilitas
utilitas lingkungan yang memadai. Daerah bantaran sungai atau tepian jalur rel
kereta api merupakan area sasaran mereka. Mereka, penghuni permukiman kumuh dan
liar tersebut adalah para pendatang dari desa tanpa modal ketrampilan yang
dapat diandalkan, berprofesi pada umumnya sebagai pemulung.
Salah seorang dari mereka dengan modal yang ada, berstatus
sebagai pengepul bertugas mengumpulkan hasil buruan (plastik, kardus, kertas,
logam dan lain-lain) para pemulung di seluruh wilayah kota, khususnya ditempat
pembuangan akhir (TPA) sampah kota. Uang dari pengepul ditabung (dengan caranya
sendiri) yang sekali tempo mereka kirim ke anak-istri di desa. Dengan uang
kiriman itu anak-istri dapat hidup.
Dengan pola ekonomi yang demikian, dengan kemampuan yang
sangat terbatas, ternyata mereka selain dapat menghidupi anak-istri di desa,
juga mempunyai andil dalam pemeliharaan lingkungan kota. Mereka ibarat bakteri
pembusuk di dalam septic tank. Bisa dibayangkan bila di dalam septic tank tidak
terdapat bakteri pembusuk. Dalam waktu sekejap bak telah penuh, dan kakus tidak
berfungsi.
Di daerah lain dengan kondisi yang sedikit lebih baik. Di
bilik-bilik sempit mereka hidup berhimpit. Bilik multi fungsi. Menerima tamu,
masak, makan, sampai tidur semua dilakukannya di bilik itu. Bergandeng-renteng
menjadi bedeng tanpa ledeng listrik apalagi tilpun. Profesi penghuni berfariasi.
Pekerja bengkel, tukang cuci, tukang becak, tukang bakso, pedagang asongan,
loper koran, pedagang kaki lima atau buruh bangunan, mereka menyatu menjadi
komunitas tersendiri. Mereka juga pendatang dari desa.
Secara fisik, lingkungan hunian mereka miskin. Karenanya
kadang-kadang mereka menjual kondisi itu untuk mendapatkan bantuan dana
pengentasan kemiskinan melalui perbaikan lingkungan. Berbagai bantuan telah
dikucurkan, namun kondisi lingkungan tetap tidak berubah. Usut punya usut,
ternyata dana bantuan pengentasan kemiskinan mereka kirim ke desa bersama
penghasilan mereka sehar-hari. Hal yang demikian banyak terjadi di kota-kota
besar, sebagai akibat urbanisasi tanpa persiapan yang matang.
Keadaan yang lebih beruntung adalah bagi para pembantu
rumah tangga, terutama bila bersama keluarga yang penuh rasa kekeluargaan. Pada
keluarga yang seperti ini semua kebutuhan hidup pembantu ditanggungnya. Makan,
pakaian, serta tempat tinggal, bahkan biaya transport mudikpun bukan merupakan
permasalahan, sehingga gaji secara utuh diterimanya. Karenanya mereka dapat
mengirim uang ke keluarga di desa, untuk biaya hidup, pendidikan anak atau
bahkan membangun rumahnya.
Profesi sebagaimana terurai di atas yang pada umumnya
dilakukan oleh mereka, pendatang (urbanisan) dari desa merupakan profesi yang
bergerak pada sektor informal. Profesi-profesi tersebut dalam operasionalnya
tidak membutuhkan pendidikan formal yang tinggi, tidak membutuhkan modal yang
besar, dan tidak terjangkau oleh hukum formal.
Walau demikian, suatu pertanyaan bagi kita, apakah mereka
(para pelaku sektor informal) tidak mempunyai andil dalam pembangunan dan
pemeliharaan kota, jawabnya ialah bahwa secara langsung maupun tidak langsung
mereka tetap ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pemeliharaan kota.
Bisa dibayangkan, apakah para bapak-ibu: guru, pegawai
bank, pegawai negeri maupun swasta, saudagar dan konglomerat, sampai para
direktur (yang berprofesi pada sektor formal) dapat bekerja menjalankan
tugasnya dengan tenang dan efektif, bila di rumah tidak ada pembantu yang
mengurus rumah tangga dan anak-anak, bila tidak ada tukang sayur, bila tidak
ada orang yang diperintah untuk membetulkan gendeng yang pecah dan bocor atau
saluran pembuang yang tersumbat.
Di Yogyakarta, khususnya di Malioboro, terlihat betapa
serasinya hubungan antara pemilik toko-toko dan mal dengan para pedagang
souvenir dan makanan lesehan di kaki lima. Penerbit surat kabar, tabloid dan
majalah tidak akan hidup tanpa dibantu oleh para loper dan pengecer di jalanan,
terminal dan hotel. Tidak bisa dibanyangkan betapa sedihnya ibu-ibu karier bila
ban mobilnya bocor di jalan dan tidak ada tukang tambal ban. Semua itu
merupakan hubungan kerjasama simbiose mutualistis, antara sektor formal dan
inormal.
Si Kaya dan si Miskin
Berbeda dengan dalam sektor perdagangan dan jasa yang
terjadi kerjasama yang cukup kuat antara yang formal dan informal, sektor
pertanian di perkotaan terdapat gap atau kesenjangan yang cukup lebar. Sepetak
demi sepetak sawah subur berpindah tangan dari petani. Tanah sawah subur di
pinggiran kota dibeli oleh para pengembang dijadikan real estate untuk istana
kaum elit yang jutawan. Kota-kota satelit tumbuh dikembangkan dengan merubah
lahan persawahan.
Para petani (pemilik sawah) beralih profesi, atau tergeser
dengan kembali membeli sawah di luar kota. Pertanian hidroponik dikembangkan
diperkotaan tanpa melibatkan para buruh tani.Para buruh tani (tukang cangkul)
yang pada umumnya dengan pendidikan rendah, tanpa ketrampilan khusus, hanya
dapat hidup dari sektor pertanian mengorbankan kehidupannya demi pembangunan
dan pengembangan kota.
Pola pengembangan kota yang demikian terus dijalankan
pemerintah sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 tahun 1986 dan No. 2
tahun 1987. Kondisi yang terjadi adalah tumbuhnya kemiskinan politik, yang
diartikan kemiskinan sebagai akibat dari kurangnya kesempatan seseorang untuk
dapat memanfaatkan potensi yang dipunyai untuk pengembangan dirinya sebagai
akibat kebijaksanaan yang ditetapkan penguasa.
Berangkat dari kondisi yang demikian ini maka Patrik
McAuslan dalam bukunya yang berjudul Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat
Jelata dengan tegas menyatakan bahwa di negara-negara Dunia Ketiga (termasuk
Indonesia), perencana dan pembangun kota yang sebenarnya adalah rakyat jelata.
Namun mereka terabaikan menjadi kaum papa, tanpa pekerjaan tetap, dan tanpa
hunian yang pasti. Permukiman liar dan permukiman kumuhpun tumbuh tanpa bisa
dibendung.
Lembaga-lembaga: magersari/ngindung atau menumpang, maro
atau bagi hasil, serta gadai tanah, yang mencerminkan keserasian hubungan
antara si kaya dan si miskin dalam penggunaan lahan, sedikit demi sedikit
tererosi oleh perubahan sosial dan hukum, khususnya Undang-undang No. 5 tahun
1960 yang dikenal dengan sebutan UUPA. Pasal 53 ayat (1) UUPA secara tegas menyebutkan
bahwa lembaga-lembaga tersebut merupakan hak atas tanah yang bersifat sementara
dan akan segera dihapuskan.
Pola penentuan batas wilayah kota yang
konsentris sebagaimana dikehendaki oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7
tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia sangat
sulit diterapkan pada kota-kota ibukota kecamatan. Untuk itu kiranya penataan
dengan model agri-city atau kota pertanian yang ditunjang dengan land
consolidation (konsolidasi tanah) lebih sesuai diterapkan, dengan sesedikit
mungkin mengurangi lahan persawahan untuk bangunan, sehingga kemiskinan politik
dapat terhindari.
Purwokerto, Mei 2001
Radar Banyumas: Sabtu Legi, 9 Juni 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar