Sabtu, 20 April 2013

KOTA KITA, KOTA TWO IN ONE



Jagad gede – jagad cilik

Atmo Djahnawi, Dosen senior Fakultas Hukum UNS tahun 1981 menulis buku yang berjudul Hukum Adat dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dari judulnya seolah-olah buku tersebut merupakan corong Orde Baru. Tetapi bila dikaji lebih mendalam diyakini bahwa Pancasila merupakan budaya asli bangsa Indonesia, yang wajib dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Di dalam buku tersebut Atmo Djahnawi antara lain menulis bahwa terdapat kesamaan antara: manusia, rumah, desa, atau kota. Kesamaan tersebut bahwa antara manusia, rumah, desa, atau kota mempunyai unsur-unsur yang sama, yakni mikro kosmos, dan makro kosmos atau jagad gede dan jagad cilik. Makro kosmos sebagai wadah dari mikro kosmos. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Prof. Ir. Soetami, mantan Menteri Pekerjaan Umum, yang di dalam bukunya Ilmu Wilayah menyebutkan bahwa lingkungan mempunyai unsur-unsur fisik (sebagai wadah), dan non fisik (sebagai isi).
Berangkat dari konsepsi jagad gede – jagad cilik ini menimbulkan pengertian adanya hubungan yang sangat erat antara wadah dan isinya. Dapat dikatakan bahwa jagad gede merupakan cerminan dari jagad cilik. Hal tersebut tercermin pada: manusia, rumah, desa, maupun kota.

  1. Bagi manusia, perilaku merupakan cerminan hasil pemikiran dan hati kecilnya, bahkan dalam ajaran Jawa yang tertulis dalam primbon bahwa kondisi fisik (bagian tubuh) manusia merupakan lambang sifat orang itu sendiri.
  2. Bagi rumah, Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc. (Rektor UNDIP) menantang: “Tunjukkan rumah anda, maka saya akan tahu siapa anda”. Sedang di dalam primbon Jawa tertulis hitungan atau rumus pembangunan rumah yang didasarkan pada neptu (hari kelahiran) calon pemilik atau penghuninya. Ukuran bangunan rumah dengan modul panjang bagian tubuh calon pemilik/penghuni.
  3. Bagi desa, hubungan antara wadah dan isinya terlihat dari nama-nama desa yang mencerminkan tempat banyak orang melakukan kegiatan seperti: Kauman (tempat para kaum atau muslimin), Pecinan (tempat para Cina), Sudagaran (tempat para sudagar) dan lain sebagainya.
  4. Sedang bagi kota, yang bila dibandingkan dengan desa, lebih nampak pada sistem jaringan lalu-lintasnya. Di jalan-jalan banyak tertulis bahwa: tertib lalu-lintas merupakan cermin budaya masyarakatnya. Bila saluran-saluran atau got-got di suatu kota banyak yang rusak dan tersumbat sampah, sampah menumpuk membusuk, menunjukkan bahwa masyarakat kota yang bersangkutan kurang peduli lingkungannya, dan kurang sadar bergotong-royong untuk kerja-bakti.

Sektor formal dan informal

Suatu kenyataan bahwa di kota-kota negara-negara dunia ketiga banyak terdapat perrumahan kumuh (slump) dan permukiman liar yang tidak memenuhi persyaratan, baik secara teknis, kesehatan, etika, maupun estetika, yang semua itu direncanakan dan dibangun oleh rakyat kelompok paling bawah. Mereka hidup berdesak-desakan dalam gubung-gubug kardus tanpa fasilitas utilitas lingkungan yang memadai. Daerah bantaran sungai atau tepian jalur rel kereta api merupakan area sasaran mereka. Mereka, penghuni permukiman kumuh dan liar tersebut adalah para pendatang dari desa tanpa modal ketrampilan yang dapat diandalkan, berprofesi pada umumnya sebagai pemulung.
Salah seorang dari mereka dengan modal yang ada, berstatus sebagai pengepul bertugas mengumpulkan hasil buruan (plastik, kardus, kertas, logam dan lain-lain) para pemulung di seluruh wilayah kota, khususnya ditempat pembuangan akhir (TPA) sampah kota. Uang dari pengepul ditabung (dengan caranya sendiri) yang sekali tempo mereka kirim ke anak-istri di desa. Dengan uang kiriman itu anak-istri dapat hidup.
Dengan pola ekonomi yang demikian, dengan kemampuan yang sangat terbatas, ternyata mereka selain dapat menghidupi anak-istri di desa, juga mempunyai andil dalam pemeliharaan lingkungan kota. Mereka ibarat bakteri pembusuk di dalam septic tank. Bisa dibayangkan bila di dalam septic tank tidak terdapat bakteri pembusuk. Dalam waktu sekejap bak telah penuh, dan kakus tidak berfungsi.
Di daerah lain dengan kondisi yang sedikit lebih baik. Di bilik-bilik sempit mereka hidup berhimpit. Bilik multi fungsi. Menerima tamu, masak, makan, sampai tidur semua dilakukannya di bilik itu. Bergandeng-renteng menjadi bedeng tanpa ledeng listrik apalagi tilpun. Profesi penghuni berfariasi. Pekerja bengkel, tukang cuci, tukang becak, tukang bakso, pedagang asongan, loper koran, pedagang kaki lima atau buruh bangunan, mereka menyatu menjadi komunitas tersendiri. Mereka juga pendatang dari desa.
Secara fisik, lingkungan hunian mereka miskin. Karenanya kadang-kadang mereka menjual kondisi itu untuk mendapatkan bantuan dana pengentasan kemiskinan melalui perbaikan lingkungan. Berbagai bantuan telah dikucurkan, namun kondisi lingkungan tetap tidak berubah. Usut punya usut, ternyata dana bantuan pengentasan kemiskinan mereka kirim ke desa bersama penghasilan mereka sehar-hari. Hal yang demikian banyak terjadi di kota-kota besar, sebagai akibat urbanisasi tanpa persiapan yang matang.
Keadaan yang lebih beruntung adalah bagi para pembantu rumah tangga, terutama bila bersama keluarga yang penuh rasa kekeluargaan. Pada keluarga yang seperti ini semua kebutuhan hidup pembantu ditanggungnya. Makan, pakaian, serta tempat tinggal, bahkan biaya transport mudikpun bukan merupakan permasalahan, sehingga gaji secara utuh diterimanya. Karenanya mereka dapat mengirim uang ke keluarga di desa, untuk biaya hidup, pendidikan anak atau bahkan membangun rumahnya.
Profesi sebagaimana terurai di atas yang pada umumnya dilakukan oleh mereka, pendatang (urbanisan) dari desa merupakan profesi yang bergerak pada sektor informal. Profesi-profesi tersebut dalam operasionalnya tidak membutuhkan pendidikan formal yang tinggi, tidak membutuhkan modal yang besar, dan tidak terjangkau oleh hukum formal.
Walau demikian, suatu pertanyaan bagi kita, apakah mereka (para pelaku sektor informal) tidak mempunyai andil dalam pembangunan dan pemeliharaan kota, jawabnya ialah bahwa secara langsung maupun tidak langsung mereka tetap ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pemeliharaan kota.
Bisa dibayangkan, apakah para bapak-ibu: guru, pegawai bank, pegawai negeri maupun swasta, saudagar dan konglomerat, sampai para direktur (yang berprofesi pada sektor formal) dapat bekerja menjalankan tugasnya dengan tenang dan efektif, bila di rumah tidak ada pembantu yang mengurus rumah tangga dan anak-anak, bila tidak ada tukang sayur, bila tidak ada orang yang diperintah untuk membetulkan gendeng yang pecah dan bocor atau saluran pembuang yang tersumbat.
Di Yogyakarta, khususnya di Malioboro, terlihat betapa serasinya hubungan antara pemilik toko-toko dan mal dengan para pedagang souvenir dan makanan lesehan di kaki lima. Penerbit surat kabar, tabloid dan majalah tidak akan hidup tanpa dibantu oleh para loper dan pengecer di jalanan, terminal dan hotel. Tidak bisa dibanyangkan betapa sedihnya ibu-ibu karier bila ban mobilnya bocor di jalan dan tidak ada tukang tambal ban. Semua itu merupakan hubungan kerjasama simbiose mutualistis, antara sektor formal dan inormal.

Si Kaya dan si Miskin

Berbeda dengan dalam sektor perdagangan dan jasa yang terjadi kerjasama yang cukup kuat antara yang formal dan informal, sektor pertanian di perkotaan terdapat gap atau kesenjangan yang cukup lebar. Sepetak demi sepetak sawah subur berpindah tangan dari petani. Tanah sawah subur di pinggiran kota dibeli oleh para pengembang dijadikan real estate untuk istana kaum elit yang jutawan. Kota-kota satelit tumbuh dikembangkan dengan merubah lahan persawahan.
Para petani (pemilik sawah) beralih profesi, atau tergeser dengan kembali membeli sawah di luar kota. Pertanian hidroponik dikembangkan diperkotaan tanpa melibatkan para buruh tani.Para buruh tani (tukang cangkul) yang pada umumnya dengan pendidikan rendah, tanpa ketrampilan khusus, hanya dapat hidup dari sektor pertanian mengorbankan kehidupannya demi pembangunan dan pengembangan kota.
Pola pengembangan kota yang demikian terus dijalankan pemerintah sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 tahun 1986 dan No. 2 tahun 1987. Kondisi yang terjadi adalah tumbuhnya kemiskinan politik, yang diartikan kemiskinan sebagai akibat dari kurangnya kesempatan seseorang untuk dapat memanfaatkan potensi yang dipunyai untuk pengembangan dirinya sebagai akibat kebijaksanaan yang ditetapkan penguasa.
Berangkat dari kondisi yang demikian ini maka Patrik McAuslan dalam bukunya yang berjudul Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata dengan tegas menyatakan bahwa di negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia), perencana dan pembangun kota yang sebenarnya adalah rakyat jelata. Namun mereka terabaikan menjadi kaum papa, tanpa pekerjaan tetap, dan tanpa hunian yang pasti. Permukiman liar dan permukiman kumuhpun tumbuh tanpa bisa dibendung.
Lembaga-lembaga: magersari/ngindung atau menumpang, maro atau bagi hasil, serta gadai tanah, yang mencerminkan keserasian hubungan antara si kaya dan si miskin dalam penggunaan lahan, sedikit demi sedikit tererosi oleh perubahan sosial dan hukum, khususnya Undang-undang No. 5 tahun 1960 yang dikenal dengan sebutan UUPA. Pasal 53 ayat (1) UUPA secara tegas menyebutkan bahwa lembaga-lembaga tersebut merupakan hak atas tanah yang bersifat sementara dan akan segera dihapuskan.
Pola penentuan batas wilayah kota yang konsentris sebagaimana dikehendaki oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia sangat sulit diterapkan pada kota-kota ibukota kecamatan. Untuk itu kiranya penataan dengan model agri-city atau kota pertanian yang ditunjang dengan land consolidation (konsolidasi tanah) lebih sesuai diterapkan, dengan sesedikit mungkin mengurangi lahan persawahan untuk bangunan, sehingga kemiskinan politik dapat terhindari.

Purwokerto,   Mei 2001

Radar Banyumas: Sabtu Legi, 9 Juni 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar