Banyak orang mengatakan bahwa masyarakat Banyumas
mempunyai karakter seperti tokoh wayang Bawor. Dalam dunia pewayangan,
khususnya di daerah Banyumas, Bawor merupakan salah seorang dari 4 (empat)
keluarga punakawan yang mengabdi pada kebenaran dan keadilan. Bawor, anak
sulung ki Semar mempunyai sifat yang cablaka,
berbicara secara obyektif, apa adanya. Bawor mempunyai pandangan yang cukup
luas dan kritis terhadap kondisi lingkungan sekitar. Namun demikian banyak
pihak yang kurang sepaham terhadap Bawor sebagai mascot Banyumas. Atau
sebaiknya bahwa masyarakat Banyumas telah luntur dengan sifat ke-cablaka -annya. Budaya
Barat dengan teknologi yang canggih telah merubah perilaku masyarakat menjadi
seperti mesin yang “canggih” atau ngapurancang
dan
enggih-enggih, tanpa mau mengembangkan budaya sendiri yang
bersumber dari pikiran (rasio) dan perasaan (emosi) sendiri.
Mahesa,
kebo atau
kerbau
Selain tokoh
Bawor sebagai mascot Banyumas, konon, jaman dulu Sultan Agung Mataram pernah
mengatakan bahwa masyarakat Banyumas itu: ”kadya
mahesa cinancang dhadhung adhi”
(seperti seekor kerbau yang diikat oleh tali yang baik). Walau
hanya merupakan kalimat pendek, tetapi kalau ditelaah lebih mendalam, mempunyai
maksud yang positif baik dalam kehidupan sehari-hari maupun pada masa-masa yang
akan datang.
Kerbau
merupakan hewan ternak sahabat petani dengan karakter antara lain:
Berbadan dan tenaga yang besar.
Dengan kata lain bahwa kerbau merupakan suatu potensi yang cukup besar. Pemelihara kerbau tahu benar akan potensi ini. Artinya bahwa
Banyumas baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dengan kekhasan
budayanya merupakan suatu potensi yang besar dan dapat diunggulkan dibanding
daerah lain.
Dalam
hidupnya, kerbau tidak tahan atau tidak suka kepada suasana yang panas.
Artinya, masyarakat Banyumas pada umumnya tidak menghendaki ada atau terjadinya
suasana yang panas. Segala permasalahan diselesaikan dalam suasana dingin,
musyawarah, kekeluargaan. Demo kurang mendapat respon dari masyarakat Banyumas.
Suasana panas atau huru-hara yang terjadi di Banyumas terakhir tahun 1981
(huru-hara anti Cina), itupun tidak sepanas daerah lain.
Kerbau
merupakan hewan penurut .
Hal ini terlihat di sore hari, kerbau tetap tenang
berjalan, walau sang penggembala duduk di punggung. Si kerbau tidak berontak
walau dengan beban di punggungnya digiring ke tempat pemandian di sungai. Hal
ini sebagai perlambang bahwa masyarakat Banyumas merupakan masyarakat penurut,
diarahkan ke mana saja asal untuk mencapai tujuan kebaikan.
Kerbau
mempunyai disiplin tinggi.
Selesai dimandikan, tanpa di komando kerbau pulang
ke kandang lewat jalur yang biasa dilalui. Saking tingginya disiplin, setiap
membuang kotoran pasti tidak jauh dari tempat kerbau biasa buang kotoran. Hal
ini menunjukan bahwa sebenarnya masyarakat Banyumas mempunyai disiplin yang
cukup tinggi.
Pepatah
Jawa mengatakan: kebo nusu
gudel (induk kerbau menyusu ke anak kerbau), yang artinya orang
Banyumas itu demokratis, mau mendengar dan mengakomodir pendapat orang lain
yang lebih rendah.
Di
masyarakat Jawa terdapat tradisi menanam kepala kerbau untuk korban sedekah
bumi.
Mengapa kepala kerbau, bukan kepala sapi, kepala kuda atau kepala
kambing. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Banyumas mempunyai sifat mau
mengorbankan jiwa dan raganya demi membela tanah airnya. Kita mengetahui banyak
pejuang nasional berasal dari daerah Banyumas.
Dalam
kisah perjuangan Jaka Tinggkir, terdapat episode tentang kerbau mengamuk
membabi-buta karena ditutup telinganya Artinya masyarakat Banyumas akan
mengamuk, bila telinganya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, untuk
mendapatkan informasi yang sebenarnya.
Dhadhung adi
Dhadhung adalah tali yang terbuat dari bambu
yang disayat, diperlunak dan diperlemas dan dipilin sebagai satu kesatuan yang
kuat. Bambu bagi masyarakat Banyumas mempunyai arti filosofi yang tinggi,
karena:
- Dalam hidupnya selalu merupakan suatu rumpun yang cukup besar. Hal ini mengandung pengertian bahwa individu masyarakat Banyumas (dengan berbagai ragam kondisinya) merupakan bagian yang tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya, bagai rumpun bambu yang terikat secara mendasar yang mengakar. Masyarakat perdesaan merasakan bahwa mereka merupakan suatu keluarga besar dengan Kepala Desa sebagai Bapaknya. Suatu harapan besar bahwa Bupati merupakan Bapaknya masyarakat sewilayah kabupaten tanpa ada pilih kasih atau sifat like and dislike.
- Dalam fungsinya, dari yang muda (rebung) sampai yang tua (bambu), dari akar sampai daun mempunyai fungsi dan peran yang berbeda-beda. Hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat Banyumas dari yang muda sampai yang tua, di manapun lokasinya apapun jabatannya dari bawah sampai atas mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang berbeda tetapi menyatu dalam satu keluarga besar.
- Orang Banyumas mempunyai filosofi hidup: ”kaya pring, kaku kena nggo embatan, lemes kena nggo tali ” yang artinya bahwa kita masyarakat Banyumas kekuatannya dapat menyelesaikan beban atau pekerjaan yang berat, dan dengan keluwesannya dapat menjadi pengikat, pemersatu.
Dhadhung
adi
sebagai pengikat perilaku kerbau, di sini mempunyai maksud sebagai
aturan-aturan yang ada, hidup dan bersumber dari masyarakat sebagai pengendali
agar tidak berbuat nyeleweng ke arah yang negatif.
Dalam ajaran masyarakat tradisional Jawa, aturan atau
undang-undang dapat pula diartikan sebagai statement pejabat dan/atau para
pakar. Karenanya di masyarakat Jawa terdapat ungkapan: ”sabda pandita ratu, sak kecap tan kena
wola-wali ”.Hal ini merupakan suatu tantangan bagi para pakar
dan/atau pejabat agar dalam menyampaikan sesuatu harus benar dan dapat
dipercaya masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar