PERHELATAN pemilihan gubernur - wakil gubernur Jawa Tengah, Minggu
kemarin, berlangsung sepi, lancar dan aman. Berdasarkan real count KPU
Jawa Tengah dari 67,24% TPS yang masuk pada pukul 17.34.05, pasangan
Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko, yang diusung PDI Perjuangan,
memperoleh 48,25% suara sah.
Jumlah pemilih tetap tercatat 27.385.985, namun seberapa besar angka
partisipasi rakyat yang menggunakan hak pilih dan yang tidak menggunakan
hak pilih, alias golput, hingga kemarin petang, saat artikel ini
ditulis, belum dapat diakses. Namun berdasarkan hasil pantauan di
TPS-TPS, rata-rata hampir separuh dari pemilih yang terdaftar tidak
menggunakan hak pilih. Perkiraan sementara, golput sekitar 48%, tentu
ini jauh lebih tinggi dibandingkan golput pada Pilgub 2008 (41,55%).
Tingginya angka golput di Jawa Tengah memang terus meningkat tajam sejak
Pemilu Legislatif 2004 (17,11%), Pilpres I (19,99%), dan Pilpres II
(23,04%), kemudian meningkat lagi pada Pileg 2009 (27,41%) dan Pilpres
2009 (28,98%), ini menandakan antusiasme pemilih di Jawa Tengah dalam
perhelatan pemilu/pilkada rendah, padahal Jawa Tengah selalu
diidentikkan dengan lumbung suara beberapa partai politik.
Sikap Politik
Istilah golput dapat dijelaskan dalam era dan konteks yang berbeda. Pada
era Orde Baru, golput ditujukan kepada suatu gerakan yang muncul dari
kelompok yang dipelopori Arief Budiman dan kawan-kawan, yaitu sikap dan
tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu pada masa Orde
Baru. Tidak memilih sebagai satu pilihan, karena mereka kecewa akibat
pemilu tidak dilaksanakan secara demokratis. Fakta yang masih jelas
dalam ingatan kita adalah semenjak Pemilu 1971 sampai Pemilu 1997, ada
ketentuan bahwa PNS diwajibkan memilih Golkar.
Sementara istilah golput dalam konteks KPU dikaitkan dengan rendahnya
partisipasi politik rakyat, yaitu rendahnya angka pemilih yang datang
menggunakan hak suaranya.
Sangatlah sulit untuk mengidentivikasi suara-suara golput yang berasal dari surat suara yang dinyatakan tidak sah karena angkanya sangat kecil dan rata-rata hampir di bawah 10%.
Namun dalam perkembangannya, istilah golput saat ini lebih mengarah kepada sikap politik rakyat yang rasional dan secara ideologis sadar untuk tidak menggunakan hak pilihnya (memilih untuk tidak memilih) sebagai refleksi bahwa tidak ada sistem pemilu yang sempurna.
Sangatlah sulit untuk mengidentivikasi suara-suara golput yang berasal dari surat suara yang dinyatakan tidak sah karena angkanya sangat kecil dan rata-rata hampir di bawah 10%.
Namun dalam perkembangannya, istilah golput saat ini lebih mengarah kepada sikap politik rakyat yang rasional dan secara ideologis sadar untuk tidak menggunakan hak pilihnya (memilih untuk tidak memilih) sebagai refleksi bahwa tidak ada sistem pemilu yang sempurna.
Tingginya angka golput karena memilih itu hak, bukan kewajiban, sehingga
rakyat bebas untuk datang ke TPS. Jika ada yang tidak menggunakan hak
pilihnya, tentu ada alasan tersendiri. Misalnya karena (1) alasan
teknis: tidak terdaftar sebagai pemilih atau tidak tahu kalau ada
pemilu/pilkada; (2) alasan nonteknis, misalnya sakit atau pergi karena
ada keperluan lain yang sangat mendesak atau bersamaan dengan hari libur
panjang; (3) alasan ekonomis, misalnya lebih baik cari uang daripada
harus pulang hanya untuk menggunakan hak pilih; (4) alasan ideologis,
misalnya datang ke TPS tetapi tidak masuk bilik; masuk ke bilik tetapi
sengaja tidak mencoblos surat suara (surat suara tetap kosong), atau
pemilih sengaja mencoblos surat suara yang tidak sesuai dengan ketentuan
KPU, atau pemilih yang sengaja tidak datang karena tidak mempunyai
pilihan yang tepat.
Penyebab tingginya golput Pilgub Jateng 2013, antara lain karena (1)
pemilih sudah apatis dan jenuh menghadapi rutinitas pemilu/pilkada,
karena siapa pun yang unggul dalam pilgub hasilnya tidak signifikan
terhadap kesejahteraan dan kepentingan rakyat; (2) menurunnya
kepercayaan pemilih kepada partai politik dalam menentukan pasangan
calon gubernur dan wakil gubernur sampai detik-detik terakhir
pendaftaran di KPU Jawa Tengah, artinya partai politik telah mengalami
krisis kader karena dari dua pasangan calon bukan berasal dari kader
partai pengusung, bahkan munculnya tiga pasangan calon seperti
dipaksakan untuk memecah suara pemilih agar tidak terjadi
’’pertarungan’’ sengit jika hanya ada dua pasangan calon dan sekaligus
mengeliminasi munculnya konflik; (3) nama-nama calon yang diajukan oleh
partai politik tidak sesuai dengan selera rakyat, sehingga rakyat
semakin apatis terhadap figur calon yang ditawarkan; (4) minimnya
sosialisasi, baik yang dilakukan oleh KPU Jawa Tengah, parpol,
pemerintah, maupun elemen masyarakat lainnya; (5) secara emosional
pasangan calon gubernur dan wakil gubernur kurang dekat dengan pemilih
karena rentang jarak yang cukup jauh, sehingga visi misinya kurang
membumi; (6) hari pencoblosan berselang satu hari dari Hari Raya Waisak
2013, menjadi hari libur panjang bagi keluarga.
Tingginya angka golput tidak akan berpengaruh bahkan tidak akan
mengurangi legitimasi hasil pilgub asalkan penyelenggaraan pilgub sesuai
dengan aturan yang berlaku. Legitimasi hasil pilgub ditentukan oleh
jumlah perolehan suara sah bukan oleh tingginya angka golput. Ini
menunjukkan demokrasi di Indonesia lebih ke arah prosedural dan hal ini
juga sejalan dengan pandangan Robert A Dahl (2001) tentang standar
berdemokrasi bahwa rakyat sudah diberi hak untuk berpartisipasi dan hak
untuk menyatakan pendapat.
Kesimpulannya, biarkanlah golput hidup apa adanya, karena golput
merupakan ’’anak yang sah’’ dari demokrasi yang hidup di Indonesia, dan
sebaiknya ancaman golput dibaca sebagai suara rakyat yang menghendaki
alternatif yang lebih baik bagi rakyat daripada yang ada sekarang ini
(Setia Permana, 2007). Waktulah yang akan menentukannya, karena suara
rakyat adalah suara Tuhan. (24)
Dr Ari Pradhanawati MS, dosen Program S-3 Doktor Ilmu Sosial FISIP, Undip/anggota KPU Jawa Tengah 2003-2008. (/)
SUARA MERDEKA Senin, 27 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar