Selasa, 14 Mei 2013

KONTROVERSI HARI JADI KAB. BANYUMAS (4)


CATATAN ANWAR HAJA (1)

A. Tanggal 6 April 1582 M. sebagai Hari Jadi Kabupaten Banyumas

Setiap tanggal 6 April, Pemda Kabupaten Banyumas menyelenggarakan berbagai acara  untuk memperingati hari jadinya yang bersejarah. Bahkan pada tanggal 6 April 2013 yang lalu, peringatan hari jadi Kabupaten Banyumas dirayakakan secara besar-besaran dengan menggelar karnaval dan pawai akbar yang diberi nama keren, Banyumas Extravagansa 2013.

Namun peringatan hari jadi yang didasarkan atas Perda Kab. Banyumas No.2 tahun 1990 itu,masih menyisakan sejumlah permasalahan.Sebagian kalangan menilai,bahwa penetapan tanggal 6 April  sebagai hari jadi Kabupaten Banyumas tidak tepat dan bertentangan dengan fakta sejarah.Maka hujan kritik pun muncul dan terdengar di sana-sini.Benarkah Perda No.2 tahun 1990 itu tidak sesuai dengan fakta sejarah?.
Memang seorang ilmuwan ahli sejarah dari UMP,DR.Sugeng Priyadi,M.Hum,dalam tesis penelitiannya atas sejumlah versi Babad Banyumas ,berhasil mengungkapkan sejumlah hal yang menarik.Konon terungkap bahwa Bupati Mrapat R.Jaka Kahiman,telah memerintah Kabupaten Banyumas antara tahun 1571 -1582 M.Terungkap pula bahwa pada hari Rabu sore,tanggal 27 Ramadhan 1571 H, diketahui R.Jaka Kahiman diterima menghadap Sultan Pajang,Hadiwijoyo (1546- 1586 M). Hasil temuan ini, tentu saja membantah ketetapan yang tercantum dalam Perda no. 2 tahun 1990 Kabupaten Banyumas yang dijadikan dasar untuk menyelenggarakan acara-acara hari jadi Kabupaten Banyumas setiap tanggal 6 April tiba.
Belum diketahui dengan pasti bagaimana tanggapan resmi dan respon Pemda Kabupaten Banyumas terhadap hasil temuan Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum itu. Bisa jadi belum adanya tanggapan resmi dari Pemda Kabupaten Banyumas, adalah karena ternyata hasil penelitian itu belum mengungkapkan secara pasti dan tegas, kapan sebenarnya hari jadi Kabupaten Banyumas yang benar-benar sesuai dengan fakta sejarah.
Dalam sarasehan yang diselenggarakan oleh grup kebudayaan Stupa Mas, Jum'at malam, 12 April 2013 M di Pendopo Duplikat Si Panji Kabupaten Banyumas, dihasilkan tiga butir kesimpulan yang menarik sbb:
1.   Hari jadi Kabupaten Banyumas, 6 April 1582, perlu ditinjau kembali karena tidak sesuai dengan fakta sejarah.
2.  Tanggal 27 bulan Puasa (Ramadhan) tahun 1571 Masehi, hari Rabu sore adalah saat peristiwa Raden Jaka Kahiman menghadap Sultan Pajang.
3.    Terdapat dua(dua) versi konversi tanggal 27 Ramadhan 1571  ke tanggal kalender Masehi, yakni :
a. tanggal 22 Februari 1571 yang bertepatan dengan hari Kamis Wage.
b. tanggal 4 Maret 1571 yang bertepatan dengan hari Kamis Wage.
Tulisan di bawah ini dimaksudkan untuk memberikan tanggapan atas tiga butir kesimpulan hasil sarasehan Stupa Mas tersebut di atas, dengan harapan bisa menjadi tambahan masukan dalam upaya menemukan hari jadi Kabupaten Banyumas yang lebih mendekati fakta sejarah yang sebenarnya, sekaligus juga sumbang saran dan urun rembug menyelesaikan dan mengakhiri kontroversi tanggal Hari Jadi Kabupaten Banyumas yang selama ini terjadi.

Dalam buku Banyumas, Wisata dan Budaya karya M. Koderi yang telah disunting Ahmad Tohari, dijelaskan bahwa pembentukan Kabupaten Banyumas, tidak dapat dipisahkan dari peristiwa wafatnya penguasa Kadipaten Wirasaba, yakni Adipati Wirasaba IV. Namanya sebelum diwisuda adalah R. Bagus Suwarga. Setelah diangkat sebagai Adipati Wirasaba, mengambil gelar Adipati Wargahutama I. Adipati Wirasaba IV ini, memiliki 4 orang anak, yaitu dua putri dan dua putra. Putrinya yang sulung diperistri oleh R.Jaka Kahiman, anak angkat Ki Mranggi seorang Demang dari daerah Kejawar Banyumas.
Tidak berapa lama setelah Adipati Wirasaba IV itu wafat, Sultan Pajang  menetapkan R. Jaka Kahiman sebagai Adipati Wirasaba menggantikan mertuanya dengan gelar Adipati Wargahutama II. Tak lama kemudian Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat. Saudara yang paling tua mendapatkan bagian di Wirasaba, yang kedua di Merden, dan yang paling muda di Banjar Patambakan. R. Jaka Kahiman yang kemudian dikenal sebagai Bupati Mrapat, memilih pulang ke Kejawar dan di sana membangun Kabupaten Banyumas.
Selanjutnya buku terbitan CV. Metrojaya, 1991, cetakan pertama itu, mengungkapkan kisah wafatnya Adipati Wirasaba IV yang dikenal dengan legenda Sabtu Pahing. Legenda ini berkisah tentang wafatnya Adipati Wirasaba IV di desa Bener, Lowano, Purworejo. Wafatnya Adipati Wirasaba IV itu, dalah akibat dari tusukan keris yang dilakukan oleh utusan atau gandek Sultan Pajang yang bertindak atas perintah Sultan Pajang. Padahal Sang Adipati itu baru saja mempersembahkan salah seorang putrinya untuk dijadikakan istri selir Sultan Pajang.
Saat itu Sultan Pajang konon meminta para adipatinya mengirimkan salah seorang putrinya atau putri kerabatnya untuk dijadikan abdi pelara-lara yakni gadis pelayan raja yang kelak akan dipilih sebagai salah satu dari selir raja. Tetapi telah terjadi kesalahpahaman. Adipati Wirasaba itu, dianggap telah menipu Sultan Pajang. Semula Sultan Pajang menduga gadis yang diserahkan Adipati Wirasaba itu sudah tidak perawan lagi, karena gadis itu sempat menjadi menantu Demang Toyareka. Sultan Pajang segera menyadari kesalahannya dan mencoba membatalkan hukuman yang telah dijatuhkan pada Adipati Wirasaba. Tapi malang tak dapat ditolak. Akibat kesalahpahaman, berakibat fatal. Pembunuhan pun tak dapat dicegah. Adipati Wirasaba yang setia pada Sultan Pajang itu harus tewas di ujung keris yang ditusukkan oleh gandek utusan Sultan Pajang. Peristiwa naas itu, konon terjadi bertepatan dengan hari Sabtu Pahing.
Dapatkah kisah dari peristiwa yang dramatis dan tragis bagi Adipati Wirasaba IV itu,  dipercaya sebagai suatu fakta sejarah ataukan sekedar mitos yang dikembangkan untuk mendramatisir kisah wafatnya Sang Adipati?. Mengingat kuatnya kisah legenda Sabtu Pahing di kalangan rakyat daerah Banyumas pada masa lalu, bahkan konon sempat bertahan sampai saat Perang Pangeran Diponegoro meletus, bisa jadi peristiwa tragis yang menimpa Adipati Wirasaba IV itu memang benar adanya. Sayangnya memang masih harus ditemukan bukti yang dapat mendukungnya agar kisah itu, tidak hanya berhenti sebabagi mitos, tetapi benar-benar dapat menjadi fakta sejarah.
Seorang penulis anonim dalam Wikipedia Indonesia yang membicarakan Babad Banyumas, mengisahkan lebih lanjut bahwa Sultan Pajang yang menyesal karena gagal mencegah perintah  hukumanan mati atas Adipati Wirasaba IV, segera mengirim utusan untuk memanggil salah seorang putra Adipati. Konon dari keempat anak-anak Adipati Wirasaba IV itu, tidak ada satu pun yang berani menghadap Sultan Pajang, karena takut dibunuh. Akhirnya R. Jaka Kahiman yang hanya bersatus menantu menyanggupi untuk menghadap Sultan Pajang.
Pada saat pertemuan itu, Sultan Pajang menetapkan R. Jaka Kahiman sebagai pengganti Adipati Wirasaba IV dan bergelar Adipati Wargahutama II. Seperti telah dikisahkan di atas, R. Jaka Kahiman kemudian membagi Kadipaten menjadi empat. Adipati yang kemudian populer sebagai Adipati Mrapat itu, mendapat wilayah Kejawar, yang kemudian dibangunnya menjadi Kadipaten Banyumas.
Dari serpihan-serpihan kisah legenda Sabtu Pahing diatas,sebenarnya kita dapat menggali informasi penting untuk melakukan rekonstruksi sekitar pengangkatan R. Jaka Kahiman sebagai Bupati Banyumas. Salah satu informasi penting dari kisah legenda Sabtu Pahing adalah hal-hal berikut ini:

Pada tahun 1571 Masehi kira-kira Sultan Pajang Hadiwijoyo atau Jaka Tingkir atau Mas Karebet, memang baru berusia 47 tahun. Suatu usia yang masih cukup muda, belum melebihi setengah abad, sehingga wajar sekali bila dia masih berminat untuk memiliki selir-selir yang baru. Sedangkan pada tahun 1582 M, Sultan Hadiwijoyo, sudah berusia sekitar 58 tahun. Kecil kemungkinan bagi Sultan untuk mencari selir lagi. Terbukti bahwa beberapa tahun setelah melewati tahun 1582 M, Sultan Pajang itu wafat (1586 M).


Andaikata dapat dibuktikan kebenaran legenda Sabtu Pahing yang bermula dari keinginan Sultan Pajang untuk memiliki selir baru, peristiwa itu akan dapat memperkuat anggapan bahwa wafatnya Adipati Wirasaba IV, memang terjadi sekitar tahun 1571 M. Dengan demikian kisah itu akan memperkuat temuan Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum, yang menyatakan bahwa berdasarkan Babad Kalibening, R. Jaka Kahiman menjadi Bupati Banyumas pada tahun 1571 - 1583M. Memang masa pemerintahan antara tahun 1571- 1583 M, merupakan suatu rentang waktu yang nampaknya lebih rasional,dari pada kalau Bupati Banyumas itu hanya menjabat sekitar satu tahun (1582-1583 M).


Namun demikian informasi bahwa R. Jaka Kahiman pada tanggal 12 Rabulawal 990 H, yang menurut Panitya Hari Jadi Banyumas, bertepatan dengan tanggal 6 April 1582 M, hadir di Kraton Pajang untuk menghadap Sultan Pajang Hadiwijoyo, sebenarnya dari sudut adat dan tradisi Kraton Pajang dapat dibenarkan. Dan itu sesuai dengan fakta sejarah.


Tanggal 12 Rabulawal adalah hari kelahiran Nabi Muhammad saw. dan sejak jaman Kerajaan Demak, selalu dirayakan oleh para sultan dan raja dengan menyelenggarakan acara yang dikenal dengan perayaan garebeg Maulud. Ada dua jenis perayaan garebeg yang telah menjadi adat, tradisi dan acara rutin tahunan yang diselenggarakan kerajaan Islam di Jawa, mulai jaman Demak, Pajang, Mataram sampai munculnya kerajaan-kerajaan pecahan Mataram.


Kedua perayaan itu adalah garebeg Maulud yang dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabiulawal dan garebeg Syawal yang dilaksanakan setiap tanggal 1 Syawal yang merupakan Hari Raya umat Islam. Pada garebeg Syawal, Sultan biasanya menyelenggarakan semacam open house, menerima kehadiran dan kunjungan para kerabat sultan, para adipati dan bupati di daerah dalam rangka silaturahmi syawalan.


Dalam acara garebeg Syawal, adipati dan bupati, tidak diwajibkan hadir, sehingga kehadiran para penguasa di daerah itu, hanya bersifat sukarela. Sedangkan pada acara garebeg Maulud, para bupati dan adipati di daerah, diwajibkan untuk hadir menghadap Sultan, guna menunjukkan kesetiaan para penguasa daerah itu kepada Sultan. Adipati dan Bupati penguasa daerah yang tidak hadir dan menghadap sultan pada acara garebeg Maulud itu, dapat dianggap melawan dan mbalelo kepada raja dan tentu saja mereka harus siap menghadapi risiko dengan segala konsekwensinya.


Pada umumnya penyerahan upeti dari penguasa daerah kepada Raja,juga dilaksanakan bertepatan dengan acara garebeg Maulud. Para bupati atau adipati baru, biasanya juga dilantik dan diwisuda oleh Sultan pada acara garebeg Maulud itu,sehingga seorang bupati atau adipati yang baru diangkat itu dapat diketahui oleh para bupati dan adipati dari daerah lain yang juga hadir pada acara garebeg Maulud.


Memang pada tahun 1582 M, hubungan Kraton Pajang dengan penguasa Mataram, sudah mulai memanas. Tiga tokoh penguasa Mataram, yakni Ki Gede Pemanahan, Juru Martani dan Sutawijaya yang telah sukses membangun tanah Mataram menjadi kadipaten yang maju, sejak tahun 1576 M, tidak pernah lagi mau menghadap Sultan Hadiwijoyo di Pajang. Memang penguasa Mataram sudah menunjukkan gejala-gejala mbalelo terhadap Pajang. Bahkan Senapati alias Sutawijaya, sudah mulai menghasut para adipati disebelah barat Mataram agar mbalelo kepada Pajang dan beralih mendukung Mataram. Wajar sekali jika Sultan Pajang menjadi geram terhadap penguasa Mataram yang dianggapnya tak tahu diri dan menyimpan ambisi kekuasaan untuk mengungguli Pajang. Bisa jadi, dalam acara Garebeg Mulud 12 Rabiulawal 990 H yang bertepatan dengan 6 April 1582 M itu, Sultan Pajang meminta para bupati dan adipati yang hadir saat itu mengucapkan ikrar kesetiaan ulang kepada Sultan Pajang.

Empat tahun kemudian, tahun 1586 M Sultan Hadiwijoyo wafat dan Mataram pun melepaskan diri dari Pajang, memproklamirkan sebagai kerajaan baru yang siap menggantikan Pajang. Bupati Banyumas, R. Joko Kahiman tidak sempat menyaksikan berdirinya kerajaan Mataram, karena beliau keburu wafat (1583 M). Dengan demikian anggapan Panitya Hari Jadi dan beberapa penulis Babad Banyumas bahwa pada tanggal 12 Rabiulawal 990 H, R. Joko Kahiman hadir menghadap Sultan Pajang, benar. Tapi kehadiran Bupati Banyumas itu, memang masih patut dipertanyakan, apakah kehadiran R. Joko Kahiman pada tanggal 12 Rabulawal 990 H itu untuk dilantik sebagai Bupati Banyumas. Atau hanya untuk ikut mengikrarkan kesetiannya kembali kepada Sultan Pajang yang sedang kesal kepada penguasa Mataram. Ikrar semacam itu juga diucapkan oleh para adipati daerah lain yang hadir pada saat itu. Sesuai dengan adat dan tradisi, tentu saja terbuka kemungkinan bahwa pada acara garebeg Maulud 12 Rabiulawal 990 H, memang ada acara pelantikan atau wisuda Bupati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar