Sabtu, 11 Mei 2013

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR KOTA PURWOKERTO

Pengertian dan Tujuan Arsitektur
 
Arsitek merupakan profesi yang cukup tua di dunia. Dalam bahasa Yunani terdapat beberapa kata atau istilah yang merupakan awal dari istilah arsitektur, yakni:
  • Arche, yang berarti asli, awal, utama, otentik;
  • Tectoon, yang berarti berdiri stabil, kokoh, statis;
  • Archetectoon diartikan sebagai pembangunan utama, tukang bangunan
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istilah Arsitektur yang berasal dari bahasa Yunani secara bebas artinya adalah: orang, yang menciptakan bangunan yang fungsional, original, otentik, kuat, kokoh dan indah. Orang-orang yang profesinya berkaitan dengan ini disebut Arsitek, dan pada jaman Majapahit disebut sebagai Kalang Adeg (dinas urusan kecipta-karyaan sekarang).
Dalam hubungannya dengan kecipta-karyaan atau tata bangunan, Mangunwijaya mengatakan bahwa dalam bahasa Sanskerta terdapat istilah wastu atau vastu yang berarti norma atau aturan tata bangunan, tata ruang, tata seluruh pengejawantahan yang berbentuk. Dengan demikian terdapat keterkaitan atau hubungan antara arsitektur dengan wastu, hubungan antara mikro dan makro, hubungan antara isi dan wadah atau hubungan antara ruang dalam (interior) dan ruang luar.(eksterior).
Hubungan yang serasi antara mikro dan makro atau antara bangunan dan lingkungan sekitar sejak jaman dahulu telah banyak contohnya di beberapa negara di dunia. Kota-kota tua di duinia dirancang dan dibangun atas dasar karya arsitek yang pada masa dulu pada umum-nya merupakan seorang pelukis.
Hubungan tersebut oleh Eko Budihardjo secara tegas disebutkan bahwa lingkup kerja seorang  Arsitek tidaklah terbatas dalam perancangan bangunan yang kuat dan indah, tetapi termasuk masalah lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang merupakan mayoritas di negara-negara berkembang termasuk Indonesia tercinta.
Berangkat dari hal-hal tersebut di atas Arsitek dalam melaksanakan tugasnya maka, ke-ahlian dan kepekaannya terhadap lingkungan sekitarnya baik lingkungan fisik (ekosistem) maupun lingkungan non fisik (sistem sosial), dedikasi terhadap tugasnya, sangat menentu-kan apakah ruang-ruang dan lingkungan hidup yang dibangunnya menjadi tempat yang menyenangkan atau tidak. Arsiteklah penggubah permukaan bumi kota. Sekali Arsitek berbuat kesalahan seumur hidup akan terlihat. Melenyapkan suatu bangunan yang kurang sesuai tidak semudah memindahkan lukisan yang dianggap jelek. Karenanya Arsitek sebagai pembangun seharusnya tidak meraba-raba dan mencoba-coba, apa yang seharusnya berdiri harus tetap berdiri, dan jika tidak untuk abadi paling tidak waktu yang panjang. Orang boleh berbuat kesalahan, tetapi tidak dalam membangun.
Pasar Wage Sebagai Inti Kota Purwokerto
Suatu kenyataan bahwa pada saat ini di kota Purwokerto terdapat 4 (empat) nama kelurahan dengan awalan nama Purwokerto yakni: Purwokerto Lor, Purwokerto Wetan, Purwokerto Kidul, dan Purwokerto Kulon, dengan area pasar Wage merupakan bagian dari ke-empat kelurahan tersebut. Dari kenyataan tersebut diperkirakan bahwa pada awalnya ke-empat wilayah kelurahan tersebut merupakan satu wilayah desa yang cukup luas, dengan berbagai fasilitas pelayanan yang lebih ramai dibandingkan dengan desa-desa lain di sekitarnya. Diperkirakan pula bahwa desa Purwokerto tersebut merupakan embrio kota Purwokerto.
Secara tradisional Jawa pola penataan ruang pada pusat pemerintahan adalah adanya fasilitas-fasilitas: alun-alun, masjid, pasar, dan tempat kediaman penguasa. Berangkat dari konsepsi tradisional tersebut, maka diperkirakan pula bahwa antara lokasi masjid Kauman Lama dan pasar Wage terdapat lapangan atau alun-alun, sedang di sebelah utaranya terdapat bangunan tempat kediaman penguasa, yang secara keseluruhan merupakan pusat kegiatan masyarakat Purwokerto.
Pada awalnya pasar Wage merupakan pasar lingkungan (pasar desa) yang setingkat dengan keempat pasar (Pon, Manis, Paing dan Kliwon) di sekitarnya. Namun karena pasar Wage yang berada di Purwokerto sebagai pusat menjadikan perkembangannya relatif lebih pesat dari pada pasar-pasar lainnya. Perkembangan ini ditunjang dengan kedatangan bangsa Cina yang berprofesi sebagai pedagang dan bangsa Belanda sebagai pegawai pemerintah. Hal ini ditandai dengan adanya fasilitas kelenteng dan bangunan-bangunan berarsitektur Cina dan kantor pengadilan (sekarang sebagai rumah tinggal) di sekitar Pasar Wage.

Alun-Alun Sebagai Land Mark Kota

Sejarah alun-alun memang cukup panjang. Sebelum datangnya kolonial Belanda, alun-alun telah ada. Alun-alun dibangun dengan konsepsi yang tinggi, penuh filsafat. Alun-alun dengan pendopo kabupaten, masjid (di sebelah barat), dan pasar merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (walau mempergunakan pagar antik sekalipun).
Dalem kabupaten berbeda dengan rumah dinas residen (karesidenan). Karesidenan (tempat tinggal agen pemerintah kolonial Belanda) dibangun tanpa pendopo dan alun-alun. Dalem dan pendopo kabupaten, atau keraton (pusat pemerintahan tradisional) dengan alun-alun di depannya, dibangun tidak di sembarang tempat atau arah. Pendopo kabupaten senantiasa membelakangi gunung/pegunungan, dan menghadap ke arah letak lautan. Karenanya terdapat perbedaan cara penataan alun-alun antara kabupaten di bagian utara dan bagian selatan P. Jawa. Lokasi alun-alun ditenetukan melalui suatu “laku” sebagai pengejaantahan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal tersebut tidak sembarang orang dapat melaksanakannya. Hanya orang “pintar” yang mampu melaksanakan “laku” tersebut.
Dari fungsinya, alun-alun pada awalnya merupakan tempat untuk: (a) latihan perang para prajurit; (b) penyelenggaraan upacara adat atau tradisi; (c) peyelenggaraan pasar malam; (d) penyelenggaraan berbagai pertandingan atau lomba yang sifatnya massal; dan tidak kalah pentingnya adalah (e) sebagai tempat “pepe”. Pepe dilakukan warga (masyarakat) dengan duduk di alun-alun, sebagai tanda tidak setuju atas kebijakan penguasa (Bupati atau Raja). Setelah penguasa mengetahui adanya pepe (sekarang: unjuk rasa), para peserta pepe dipanggil masuk ke pendopo untuk diadakan dialog dengan penguasa.
Ditinjau dari proses membangun alun-alun dan fasilitas-fasilitas di sekitarnya terlihat adanya hubungan yang begitu erat antara manusia dengan alam dan Tuhannya. Sedang dari fungsi atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di alun-alun, terlihat bahwa alun-alun dibangun bukan untuk kepentingan penguasa saja, tetapi lebih banyak untuk kepentingan warga masyarakat. Hal tersebut juga menunjukkan betapa tingginya perhatian pemimpin/ penguasa terhadap kepentingan warga masyarakat.
Dari hal-hal sebagaimana terurai di atas, maka terlihat betapa tingginya nilai budaya, nilai filsafat dalam pembangunan alun-alun suatu kota. Unsur-unsur religius (ketuhanan), kosmos (alami), dan komunal (kebersamaan antar manusia) mendasari pembangunan alun-alun kota. Sifat religius, kosmos, dan komunal oleh Soewondo Atmo Djahnawi (Dosen Fakultas Hukum UNS Surakarta) disebutnya sebagai sifat pola pikir masyarakat Indonesia asli. Sifat pola pikir masyarakat Indonesia asli ini sangat berbeda dengan sifat pola pikir bangsa barat (asing), yang lebih individualis. Perilaku masyarakat barat lebih bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tidak “tuna satak bathi sanak” kata orang Jawa.
Adanya alun-alun, mungkin yang oleh Prof. Eko Budihardjo disebut jatidiri atau identitas kota di Jawa. Karena menurut beliau bahwa jatidiri lingkungan atau kota diperoleh melalui penggalian dan penemuan kembali secara intensif dan ekstensif, kekhasan, keunikan, dan karakter spesifik yang telah berurat berakar menjiwai suatu lingkungan atau kota tertentu.
Dalam perkembangan selanjutnya, di sekitar atau bahkan kadang-kadang di depan alun-alun oleh Belanda dibangun gedung pusat pemerintahan kolonial, seperti kantor pengadilan dan penjara (yang terjadi hampir di semua kota, termasuk Purwokerto, Banyumas, dan lain-lain). Semua itu hanya ada satu tujuan, yakni mengurangi kewibawaan dan kekuasaan pemimpin/penguasa bangsa Indonesia, demi kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Para arsitek maupun pakar perkotaan sependapat bahwa arsitektur modern yang terjadi di berbagai negara merupakan penyebab rusaknya jatidiri atau identitas kota.
Keberadaan alun-alun Purwokerto dimulai dengan pemindahan dalem kabupaten dari Ajibarang ke dukuh Paguwon desa Kranji atas saran dari pejabat pemerintah kolonial Belanda karena di Ajibarang sering terjadi bencana angin ribut.
Tanggal 13 Desember 1831 setelah selesainya perang Diponegoro, Gubernur Jenderal Van Den Bosch memutuskan dan menetapkan pembentukan Karesidenan Banyumas, yang terdiri dari 5 (lima) wilayah kabupaten yang masing-masing: Kabupaten Majenang, Kabu-paten Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Banjar-negara. Distrik Purwokerto merupakan bagian dari Kabupaten Ajibarang.
Pada tanggal 6 Oktober 1832 atas keputusan Adipati Mertodiredjo II (Bupati Ajibarang saat itu) dalem kabupaten (tempat tinggal bupati) dipindah dari Ajibarang ke Peguwon (lokasi yang sekarang). Dengan pemindahan ini maka Kabupaten Ajibarang berobah nama menjadi Kabupaten Purwokerto (karena ibukotanya di Purwokerto). Dengan meninggalnya Adipati Mertodirdjo II jabatan bupati Purwokerto diturunkan kepada Adipati Mertodirdjo III, yang kemudian juga diangkat (merangkap) sebagai Bupati Banyumas. Atas kebijakan beliau Kabupaten Purwokerto dihapus dan dijadikan satu dengan Kabupaten Banyumas. Pada tanggal 5 Maret 1937 Adipati Aryo Soedjiman Gondosoebroto (Bupati Banyumas II yang memerintah sampai dengan tahun 1949) pindah dari Banyumas ke Purwokerto menyusul dipindahkannya pendopo kabupaten “Si Panji” dari Banyumas ke Purwokerto.
Dengan pemindahan tersebut terjadi dua pusat kegiatan, yakni pasar Wage di sebelah timur, dan kabupaten di sebelah barat. Dua pusat kegiatan ini merupakan kutub-kutub perkem-bangan yang saling menarik dan menunjang. Dengan adanya dua pusat kegiatan sebagai kutub pengembangan tersebut terlihat adanya konsepsi pengembangan Purwokerto bahwa pusat pemerintahan di sebelah barat, dan pusat perdagangan di sebelah timur, secara konsepsual merupakan penataan ruang kota yang amat bagus.

Peran Pemerintah Kolonial Belanda

Dengan tanpa melihat aspek politik, disadari maupun tidak Pemerintah Kolonial Belanda mempunyai andil yang cukup besar dalam membangun kota Purwokerto. Jauh sebelum pe-mindahan kabupaten dari Ajibarang ke Purwokerto bangsa Belanda telah ada di Purwokerto dan sekitarnya. Hal ini ditandai dengan bangunan-bangunan, walaupun sekarang sebagian sudah tidak berfungsi dan sebagian sudah hilang tanpa bekas. Bangunan-bangunan Belanda di Purwokerto tersebut antara lain:
a. Peningkatan konstruksi jaringan jalan dan pembangunan jembatan yang menghubung-kan Purwokerto dengan daerah-daerah di sekitarnya, sehingga Purwokerto tidak terisolir dan menjadi kota yang strategis.
b. Pabrik gula yang kronologis berubah fungsinya menjadi bengkel peralatan angkatan da-rat, istana olah raga (ISOLA) kemudian berubah menjadi gedung bioskop, dan terakhir menjadi pusat perdagangan.
c. Jaringan rel lori tebu yang sekarang banyak dikembangkan menjadi jaringan jalan raya.
d. Saluran irigasi (susukan) yang menghubungkan aliran sungai Banjaran dan sungai Kran-ji sebagai penambah debit aliran sungai Kranji. Untuk keperluan irigasi juga dibangun dam/bendung di aliran sungai Kranji.
e. Perkantoran penunjang operasional pabrik tebu yang berada di depan pabrik gula ini kemudian berubah fungsi menjadi kantor militer (Kodim) dan akhirnya sekarang men-jadi komplek perdagangan..
f.   Kantor-kantor pemerintahan
Kantor dan rumah dinas Asisten Residen (sekarang kantor Kodim) dibangun bersamaan dengan pembangunan alun-alun dan kabupaten di Purwokerto. Jalan R. A. Wiriaatmaja menambah keagungan rumah dinas/kantor Asisten Residen.
Rumah dinas Residen dibangun berbarengan dengan pemindahan pendopo Si Panji dari Banyumas ke Purwokerto. Untuk menambah keagungan rumah dinas ini dibangun jalan Merdeka yang cukup lebar (2 jalur) dan taman Merdeka yang kini menjadi lokasi kantor BI cabang Purwokerto.
Kantor Pengadilan dibangun Belanda di sebelah timur alun-alun (sekarang kantor bank BNI 1946) sedang penjara sebagai kelengkapan kantor pengadilan sekarang berfungsi sebagai Lembaga Pemasyarakatan
g. Kantor bank di bangun dekat (bersebelahan) dengan kantor pengelola pabrik gula. Sampai sekarang bank ini masih berfungsi (Bank Mandiri/Bank BDN dulu).
h.  Jaringan rel, stasiun kereta api beserta kantor pengelolaan dan perumahan karyawan
Jaringan rel dari Purwokerto – Sokaraja – Purbalingga/Banjarnegara sekarang sudah tidak berfungsi. Kantor perkereta-apian dibangun berlokasi di Lapangan PORKA (seka-rang) dengan perumahan karyawan di belakangnya (Rejasari). Hotel mewah milik perusahaan perkereta-apian di bangun di depan setasiun timur (sekarang Kantor DAOP).
i. Gedung-gedung sekolah untuk berbagai jenjang tertata apik di sepanjang jalan Gatot Subroto (sekarang) sampai jalan Gereja (sekarang).
Hilangnya Jati Diri Kota Purwokerto
Dalam penegakkan hukum/peraturan tentang tata ruang kota, Permendagri No. 2 tahun 1987 memberikan kelonggaran bahwa setiap akhir pelaksanaan pelita (pembangunan lima tahunan) rencana tata ruang kota perlu dievaluasi dan direvisi. Dalam hal ini mengingat besarnya biaya penyusunan rencana tata ruang kota yang penting bukan revisinya, tetapi penyebab mengapa terjadi penyimpangan atau tidak terealisasikannya rencana tata ruang kota.
Menurut Siedman dan Chambliss dalam teorinya tentang efektivitas hukum menyebutkan beberapa usur/faktor penyebab kurang efektifnya peraturan hukum yang antara lain: (1) pembentuk/penyusun peraturan, (2) substansi atau materi peraturan, dan (3) pelaksana/ penegak hukum/peraturan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan rencana tata ruang sebagai peraturan hukum, maka faktor penyebabnya adalah:
(1) Konsultan, sebagai penyusun materi, seringkali terjadi bahwa Konsultan terlalu kaku dengan teori dan konsep-konsep barat sehingga kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia kemungkinan terjadi adalah konsultan kurang menguasai medan. Menjadikan rencana kurang bisa dilaksanakan.
(2) Dalam hal substansi atau materi Soerjono Soekanto berpendapat bahwa tidak/kurang efektifnya suatu peraturan antara lain disebabkan oleh:
(a)  masyarakat menganggap kurang adil,
(b)  materi tidak/ kurang sesuai dengan aspirasi masyarakat, atau
(c)  materi belum/kurang tersosialisasi.
(3) Pemerintah sebagai pelaksana/penegak hukum/peraturan dituntut untuk konsekuen, menolak terhadap ijin yang tidak sesuai dengan aturan atau memberikan sanksi kepada para pelanggar.


2 komentar: