Pengertian dan Tujuan Arsitektur
Arsitek
merupakan profesi yang cukup tua di dunia. Dalam bahasa Yunani terdapat
beberapa kata atau istilah yang merupakan awal dari istilah arsitektur, yakni:
- Arche, yang berarti asli, awal, utama, otentik;
- Tectoon, yang berarti berdiri stabil, kokoh, statis;
- Archetectoon diartikan sebagai pembangunan utama, tukang bangunan
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istilah Arsitektur
yang berasal dari bahasa Yunani secara bebas artinya adalah: orang, yang
menciptakan bangunan yang fungsional, original, otentik, kuat, kokoh dan indah.
Orang-orang yang profesinya berkaitan dengan ini disebut Arsitek, dan pada
jaman Majapahit disebut sebagai Kalang Adeg (dinas urusan
kecipta-karyaan sekarang).
Dalam hubungannya dengan kecipta-karyaan atau tata
bangunan, Mangunwijaya mengatakan bahwa dalam bahasa Sanskerta terdapat
istilah wastu atau vastu yang berarti norma atau aturan tata
bangunan, tata ruang, tata seluruh pengejawantahan yang berbentuk. Dengan
demikian terdapat keterkaitan atau hubungan antara arsitektur dengan wastu,
hubungan antara mikro dan makro, hubungan antara isi dan wadah atau hubungan
antara ruang dalam (interior) dan ruang luar.(eksterior).
Hubungan yang serasi antara mikro dan makro atau antara
bangunan dan lingkungan sekitar sejak jaman dahulu telah banyak contohnya di
beberapa negara di dunia. Kota-kota tua di duinia dirancang dan dibangun atas
dasar karya arsitek yang pada masa dulu pada umum-nya merupakan seorang
pelukis.
Hubungan tersebut oleh Eko Budihardjo secara tegas
disebutkan bahwa lingkup kerja seorang
Arsitek tidaklah terbatas dalam perancangan bangunan yang kuat dan
indah, tetapi termasuk masalah lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan masyarakat yang berpenghasilan
rendah yang merupakan mayoritas di negara-negara berkembang termasuk Indonesia
tercinta.
Berangkat dari hal-hal tersebut di atas Arsitek dalam
melaksanakan tugasnya maka, ke-ahlian dan kepekaannya terhadap lingkungan
sekitarnya baik lingkungan fisik (ekosistem) maupun lingkungan non fisik
(sistem sosial), dedikasi terhadap tugasnya, sangat menentu-kan apakah
ruang-ruang dan lingkungan hidup yang dibangunnya menjadi tempat yang
menyenangkan atau tidak. Arsiteklah penggubah permukaan bumi kota. Sekali Arsitek berbuat kesalahan seumur
hidup akan terlihat. Melenyapkan suatu bangunan yang kurang sesuai tidak
semudah memindahkan lukisan yang dianggap jelek. Karenanya Arsitek sebagai
pembangun seharusnya tidak meraba-raba dan mencoba-coba, apa yang seharusnya
berdiri harus tetap berdiri, dan jika tidak untuk abadi paling tidak waktu yang
panjang. Orang boleh berbuat kesalahan, tetapi tidak dalam membangun.
Pasar Wage Sebagai Inti
Kota Purwokerto
Suatu
kenyataan bahwa pada saat ini di kota Purwokerto terdapat 4 (empat) nama
kelurahan dengan awalan nama Purwokerto yakni: Purwokerto Lor, Purwokerto
Wetan, Purwokerto Kidul, dan Purwokerto Kulon, dengan area pasar Wage merupakan
bagian dari ke-empat kelurahan tersebut. Dari kenyataan tersebut diperkirakan
bahwa pada awalnya ke-empat wilayah kelurahan tersebut merupakan satu wilayah
desa yang cukup luas, dengan berbagai fasilitas pelayanan yang lebih ramai
dibandingkan dengan desa-desa lain di sekitarnya. Diperkirakan pula bahwa desa
Purwokerto tersebut merupakan embrio kota Purwokerto.
Secara
tradisional Jawa pola penataan ruang pada pusat pemerintahan adalah adanya
fasilitas-fasilitas: alun-alun, masjid, pasar, dan tempat kediaman penguasa.
Berangkat dari konsepsi tradisional tersebut, maka diperkirakan pula bahwa
antara lokasi masjid Kauman Lama dan pasar Wage terdapat lapangan atau
alun-alun, sedang di sebelah utaranya terdapat bangunan tempat kediaman
penguasa, yang secara keseluruhan merupakan pusat kegiatan masyarakat
Purwokerto.
Pada awalnya
pasar Wage merupakan pasar lingkungan (pasar desa) yang setingkat dengan
keempat pasar (Pon, Manis, Paing dan Kliwon) di sekitarnya. Namun karena pasar
Wage yang berada di Purwokerto sebagai pusat menjadikan perkembangannya relatif
lebih pesat dari pada pasar-pasar lainnya. Perkembangan ini ditunjang dengan
kedatangan bangsa Cina yang berprofesi sebagai pedagang dan bangsa Belanda
sebagai pegawai pemerintah. Hal ini ditandai dengan adanya fasilitas kelenteng
dan bangunan-bangunan berarsitektur Cina dan kantor pengadilan (sekarang
sebagai rumah tinggal) di sekitar Pasar Wage.
Alun-Alun Sebagai Land Mark Kota
Sejarah
alun-alun memang cukup panjang. Sebelum datangnya kolonial Belanda, alun-alun
telah ada. Alun-alun dibangun dengan konsepsi yang tinggi, penuh filsafat.
Alun-alun dengan pendopo kabupaten, masjid (di sebelah barat), dan pasar
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (walau mempergunakan pagar
antik sekalipun).
Dalem kabupaten
berbeda dengan rumah dinas residen (karesidenan). Karesidenan (tempat tinggal
agen pemerintah kolonial Belanda) dibangun tanpa pendopo dan alun-alun. Dalem
dan pendopo kabupaten, atau keraton (pusat pemerintahan tradisional) dengan
alun-alun di depannya, dibangun tidak di sembarang tempat atau arah. Pendopo
kabupaten senantiasa membelakangi gunung/pegunungan, dan menghadap ke arah
letak lautan. Karenanya terdapat perbedaan cara penataan alun-alun antara
kabupaten di bagian utara dan bagian selatan P. Jawa. Lokasi alun-alun ditenetukan
melalui suatu “laku” sebagai pengejaantahan permohonan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Hal tersebut tidak sembarang orang dapat melaksanakannya. Hanya orang
“pintar” yang mampu melaksanakan “laku” tersebut.
Dari fungsinya, alun-alun pada awalnya merupakan tempat
untuk: (a) latihan perang para prajurit; (b) penyelenggaraan upacara adat atau
tradisi; (c) peyelenggaraan pasar malam; (d) penyelenggaraan berbagai
pertandingan atau lomba yang sifatnya massal; dan tidak kalah pentingnya adalah
(e) sebagai tempat “pepe”. Pepe dilakukan warga (masyarakat) dengan duduk di
alun-alun, sebagai tanda tidak setuju atas kebijakan penguasa (Bupati atau
Raja). Setelah penguasa mengetahui adanya pepe (sekarang: unjuk rasa), para
peserta pepe dipanggil masuk ke pendopo untuk diadakan dialog dengan penguasa.
Ditinjau dari
proses membangun alun-alun dan fasilitas-fasilitas di sekitarnya terlihat
adanya hubungan yang begitu erat antara manusia dengan alam dan Tuhannya.
Sedang dari fungsi atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di alun-alun,
terlihat bahwa alun-alun dibangun bukan untuk kepentingan penguasa saja, tetapi
lebih banyak untuk kepentingan warga masyarakat. Hal tersebut juga menunjukkan
betapa tingginya perhatian pemimpin/ penguasa terhadap kepentingan warga
masyarakat.
Dari hal-hal
sebagaimana terurai di atas, maka terlihat betapa tingginya nilai budaya, nilai
filsafat dalam pembangunan alun-alun suatu kota. Unsur-unsur religius (ketuhanan),
kosmos (alami), dan komunal (kebersamaan antar manusia) mendasari pembangunan
alun-alun kota.
Sifat religius, kosmos, dan komunal oleh Soewondo Atmo Djahnawi (Dosen Fakultas
Hukum UNS Surakarta) disebutnya sebagai sifat pola pikir masyarakat Indonesia asli.
Sifat pola pikir masyarakat Indonesia
asli ini sangat berbeda dengan sifat pola pikir bangsa barat (asing), yang
lebih individualis. Perilaku masyarakat barat lebih bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi, tidak “tuna satak bathi sanak” kata orang Jawa.
Adanya
alun-alun, mungkin yang oleh Prof. Eko Budihardjo disebut jatidiri atau
identitas kota
di Jawa. Karena menurut beliau bahwa jatidiri lingkungan atau kota diperoleh melalui penggalian dan
penemuan kembali secara intensif dan ekstensif, kekhasan, keunikan, dan
karakter spesifik yang telah berurat berakar menjiwai suatu lingkungan atau kota tertentu.
Dalam
perkembangan selanjutnya, di sekitar atau bahkan kadang-kadang di depan
alun-alun oleh Belanda dibangun gedung pusat pemerintahan kolonial, seperti
kantor pengadilan dan penjara (yang terjadi hampir di semua kota, termasuk Purwokerto, Banyumas, dan
lain-lain). Semua itu hanya ada satu tujuan, yakni mengurangi kewibawaan dan
kekuasaan pemimpin/penguasa bangsa Indonesia, demi kepentingan
pemerintah kolonial Belanda. Para arsitek
maupun pakar perkotaan sependapat bahwa arsitektur modern yang terjadi di
berbagai negara merupakan penyebab rusaknya jatidiri atau identitas kota.
Keberadaan
alun-alun Purwokerto dimulai dengan pemindahan dalem kabupaten dari Ajibarang
ke dukuh Paguwon desa Kranji atas saran dari pejabat pemerintah kolonial
Belanda karena di Ajibarang sering terjadi bencana angin ribut.
Tanggal 13
Desember 1831 setelah selesainya perang Diponegoro, Gubernur Jenderal Van Den
Bosch memutuskan dan menetapkan pembentukan Karesidenan Banyumas, yang terdiri
dari 5 (lima) wilayah kabupaten yang masing-masing: Kabupaten Majenang,
Kabu-paten Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten
Banjar-negara. Distrik Purwokerto merupakan bagian dari Kabupaten Ajibarang.
Pada tanggal 6
Oktober 1832 atas keputusan Adipati Mertodiredjo II (Bupati Ajibarang saat itu)
dalem kabupaten (tempat tinggal bupati) dipindah dari Ajibarang ke Peguwon
(lokasi yang sekarang). Dengan pemindahan ini maka Kabupaten Ajibarang berobah
nama menjadi Kabupaten Purwokerto (karena ibukotanya di Purwokerto). Dengan
meninggalnya Adipati Mertodirdjo II jabatan bupati Purwokerto diturunkan kepada
Adipati Mertodirdjo III, yang kemudian juga diangkat (merangkap) sebagai Bupati
Banyumas. Atas kebijakan beliau Kabupaten Purwokerto dihapus dan dijadikan satu
dengan Kabupaten Banyumas. Pada tanggal 5 Maret 1937 Adipati Aryo Soedjiman
Gondosoebroto (Bupati Banyumas II yang memerintah sampai dengan tahun 1949)
pindah dari Banyumas ke Purwokerto menyusul dipindahkannya pendopo kabupaten
“Si Panji” dari Banyumas ke Purwokerto.
Dengan
pemindahan tersebut terjadi dua pusat kegiatan, yakni pasar Wage di sebelah
timur, dan kabupaten di sebelah barat. Dua pusat kegiatan ini merupakan
kutub-kutub perkem-bangan yang saling menarik dan menunjang. Dengan adanya dua
pusat kegiatan sebagai kutub pengembangan tersebut terlihat adanya konsepsi
pengembangan Purwokerto bahwa pusat pemerintahan di sebelah barat, dan pusat
perdagangan di sebelah timur, secara konsepsual merupakan penataan ruang kota yang amat bagus.
Peran Pemerintah Kolonial Belanda
Dengan tanpa melihat aspek politik, disadari maupun tidak
Pemerintah Kolonial Belanda mempunyai andil yang cukup besar dalam membangun kota Purwokerto. Jauh
sebelum pe-mindahan kabupaten dari Ajibarang ke Purwokerto bangsa Belanda telah
ada di Purwokerto dan sekitarnya. Hal ini ditandai dengan bangunan-bangunan,
walaupun sekarang sebagian sudah tidak berfungsi dan sebagian sudah hilang
tanpa bekas. Bangunan-bangunan Belanda di Purwokerto tersebut antara lain:
a. Peningkatan
konstruksi jaringan jalan dan pembangunan jembatan yang menghubung-kan
Purwokerto dengan daerah-daerah di sekitarnya, sehingga Purwokerto tidak
terisolir dan menjadi kota
yang strategis.
b. Pabrik
gula yang kronologis berubah fungsinya menjadi bengkel peralatan angkatan
da-rat, istana olah raga (ISOLA) kemudian berubah menjadi gedung bioskop, dan
terakhir menjadi pusat perdagangan.
c. Jaringan
rel lori tebu yang sekarang banyak dikembangkan menjadi jaringan jalan raya.
d. Saluran
irigasi (susukan) yang menghubungkan aliran sungai Banjaran dan sungai Kran-ji
sebagai penambah debit aliran sungai Kranji. Untuk keperluan irigasi juga
dibangun dam/bendung di aliran sungai Kranji.
e. Perkantoran
penunjang operasional pabrik tebu yang berada di depan pabrik gula ini kemudian
berubah fungsi menjadi kantor militer (Kodim) dan akhirnya sekarang men-jadi
komplek perdagangan..
f. Kantor-kantor
pemerintahan
Kantor dan rumah dinas Asisten
Residen (sekarang kantor Kodim) dibangun bersamaan dengan pembangunan alun-alun
dan kabupaten di Purwokerto. Jalan R. A. Wiriaatmaja menambah keagungan rumah
dinas/kantor Asisten Residen.
Rumah dinas Residen dibangun
berbarengan dengan pemindahan pendopo Si Panji dari Banyumas ke Purwokerto.
Untuk menambah keagungan rumah dinas ini dibangun jalan Merdeka yang cukup
lebar (2 jalur) dan taman Merdeka yang kini menjadi lokasi kantor BI cabang
Purwokerto.
Kantor Pengadilan dibangun
Belanda di sebelah timur alun-alun (sekarang kantor bank BNI 1946) sedang
penjara sebagai kelengkapan kantor pengadilan sekarang berfungsi sebagai
Lembaga Pemasyarakatan
g. Kantor
bank di bangun dekat (bersebelahan) dengan kantor pengelola pabrik gula. Sampai
sekarang bank ini masih berfungsi (Bank Mandiri/Bank BDN dulu).
h. Jaringan
rel, stasiun kereta api beserta kantor pengelolaan dan perumahan karyawan
Jaringan rel dari Purwokerto –
Sokaraja – Purbalingga/Banjarnegara sekarang sudah tidak berfungsi. Kantor
perkereta-apian dibangun berlokasi di Lapangan PORKA (seka-rang) dengan
perumahan karyawan di belakangnya (Rejasari). Hotel mewah milik perusahaan
perkereta-apian di bangun di depan setasiun timur (sekarang Kantor DAOP).
i. Gedung-gedung
sekolah untuk berbagai jenjang tertata apik di sepanjang jalan Gatot Subroto
(sekarang) sampai jalan Gereja (sekarang).
Hilangnya Jati Diri Kota Purwokerto
Dalam
penegakkan hukum/peraturan tentang tata ruang kota, Permendagri No. 2 tahun
1987 memberikan kelonggaran bahwa setiap akhir pelaksanaan pelita (pembangunan
lima tahunan) rencana tata ruang kota perlu dievaluasi dan direvisi. Dalam hal
ini mengingat besarnya biaya penyusunan rencana tata ruang kota yang penting
bukan revisinya, tetapi penyebab mengapa terjadi penyimpangan atau tidak terealisasikannya
rencana tata ruang kota.
Menurut
Siedman dan Chambliss dalam teorinya tentang efektivitas hukum menyebutkan
beberapa usur/faktor penyebab kurang efektifnya peraturan hukum yang antara
lain: (1) pembentuk/penyusun peraturan, (2) substansi atau materi peraturan,
dan (3) pelaksana/ penegak hukum/peraturan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan
rencana tata ruang sebagai peraturan hukum, maka faktor penyebabnya adalah:
(1) Konsultan,
sebagai penyusun materi, seringkali terjadi bahwa Konsultan terlalu kaku dengan
teori dan konsep-konsep barat sehingga kurang sesuai dengan kondisi di
Indonesia kemungkinan terjadi adalah konsultan kurang menguasai medan. Menjadikan rencana kurang bisa
dilaksanakan.
(2) Dalam hal substansi atau materi
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa tidak/kurang efektifnya suatu peraturan
antara lain disebabkan oleh:
(a) masyarakat menganggap kurang adil,
(b) materi tidak/ kurang sesuai dengan aspirasi
masyarakat, atau
(c) materi belum/kurang tersosialisasi.
(3) Pemerintah sebagai
pelaksana/penegak hukum/peraturan dituntut untuk konsekuen, menolak terhadap
ijin yang tidak sesuai dengan aturan atau memberikan sanksi kepada para
pelanggar.
arsitek pasar wage tahun 1920 siapa Eyang? Lidi. Matur Nuwun.
BalasHapusOra ngerti mas
BalasHapus