Wacana pembuka
Berita tentang
penertiban (penggusuran, penggeseran atau apalah istilah lainnya) terhadap
pedagang kaki-lima baik di koran, tivi maupun media yang lainnya rasanya sudah
bukan merupakan berita yang menarik lagi. Hampir setiap hari kita disuguhi
berita tersebut, baik datang dari Ibukota, maupun dari kota-kota besar lainnya,
termasuk kota
Purwokerto, kota
kita tercinta..
Masalah pedagang
kaki-lima (PKL) di kota
Purwokerto sebetulnya sudah lama mendapat perhatian dari para pejabat. Hal ini
ditengarai dengan:
(1) Pak
Djoko Sudantoko, sewaktu masih menjabat Bupati pernah minta pendapat (diskusi,
bahasa kerennya) tentang pengatasan PKL di Purwokerto. Jawabannya cukup
singkat. ”ada gula, ada semut”. Berilah gula pada tempat-tempat yang startegis,
maka semut-semut akan datang dengan sendirinya. Namun gula yang ditunggu-tunggu
tak kunjung datang.
(2) Saya
pernah diminta Pak Abas alm. yang waktu itu sebagai anggota DPRD Kab. Banyumas, untuk menulis tentang
PKL (pedagang kaki-lima). Maaf pak Abas, saya belum sempat (pura-puranya
sibuk).
(3) Semasa pemerintahan Pak Mardjoko, pertengkaran antara PKL dengan pihak Pemkab. Banyumas telah beberapa kali terjadi, sebagai akibat dari kebijakan yang kurang pas menurut PKL.
Pedagang kaki-lima dalam pustaka
Menurut
Ray Bromley di dalam Chris Manning dan Tadjuddin Noor Efendi (1991) bahwa
penelitian yang spesifik tentang pedagang kaki-lima dinyatakan masih relatif
sedikit jumlahnya, namun lebih banyak dibahas dalam kaitannya dengan
perkembangan dan penataan kota, sehubungan dengan pesatnya laju urbanisasi,
terutama di kota-kota di negara berkembang.
Dari
berbagai literatur menyebutkan bahwa pedagang kaki lima merupakan salah satu profesi di sektor
informal di samping profesi-profesi yang lain seperti: buruh bangunan, buruh
transportasi (tukang becak, kenek angkutan), pembantu rumah tangga, pemulung pengamen,
maupun prostitusi.
Alan
Gilbert dan Josef Gugler (1996) dari hasil penelitiannya menyimpulkan beberapa
ciri sektor informal yakni: (a) mudah untuk dimasuki; (b) bersandar pada
sumberdaya lokal; (c) usaha milik sendiri; (d) operasinya dalam skala kecil;
(e) padat karya dan teknologinya bersifat adaptif; (f) keterampilan dapat
diperoleh di luar sistem sekolah formal dan (g) tidak terkena langsung oleh
regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.
Berbeda
dengan ciri-ciri sektor informal tersebut di atas, Ray Bromley di dalam Chris
Manning dan Tadjuddin Noor Efendi (1991) secara spesifik menyebutkan ciri-ciri
atau karakter pedagang kaki lima di Chili yang antara lain bahwa:
(a) Pedagang kaki lima tersebar di semua sektor kota, namun terutama
berpusat di tengah kota
(25 % dari seluruh), di sekitar stadion dan pusat-pusat hiburan lainnya ketika
ada pertunjukkan yang bisa menarik sejumlah besar penduduk dan lain-lain.
(b)
Sekitar 80 % pedagang kaki lima mempunyai tempat
kerja yang agak menetap, sedang sisanya berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain.
(c)
Lebih dari 75 % pedagang kaki lima adalah para
pendatang dari daerah lain;
(d) Sebagian
terbesar pedagang kaki lima
dengan jenjang pendidikan yang relatif rendah.
(e)
Sekitar dua per tiga pedagang kaki lima adalah laki-laki.
Esa hilang, dua terbilang
Pejabat kota dan sebagian kaum
elit lokal biasanya memandang pedagang kaki-lima sebagai gangguan yang membuat kota menjadi kotor dan
tidak rapi; menyebabkan lalu-lintas macet, pembuangan sampah di sembarang
tempat, gangguan bagi para pejalan kaki, pesaing pedagang toko yang terkena
pajak besar.
Pedagang
kaki-lima sering digambarkan sebagai pengangguran terselubung, atau setengah
pengangguran dengan laju pertumbuhan yang begitu cepat di negara-negara
berkembang. Gambaran yang paling buruk terhadap pedagang kaki-lima adalah bahwa
mereka dianggap sebagai parasit dan sumber pelaku kejahatan, yang bersama-sama
dengan pengemis, pelacur dan pencuri (yang kesemuanya merupakan rakyat kecil)
menjadi satu jaringan pelaku kriminal.
Ada
beberapa profesi di sektor informal rentan dengan pelanggaran hukum atau
justeru merupakan bentuk pelanggaran hukum seperti prostitusi, sehingga sering
dikejar-kejar oleh petugas ketertiban umum dari pemerintah kota/kabupaten. Fungsi
Peraturan Daerah (Perda) bukan untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan,
tetapi ditetapkan setelah terjadi permasalahan, sebagai pembenaran atas
penertiban yang dilakukan petugas. Namun dalam kenyataannya, dapat dikatakan:
“esa hilang, dua terbilang”.
Kondisi
tersebut ibarat anak-anak panas badan, langsung diberi obat turun panas, tanpa
dicari tahu apa penyebabnya. Karenanya obat turun panas efektif sekitar 2 – 3
jam, kemudian panas kembali. Pada hal panas badan bisa diakibatkan oleh
berbagai alasan penyebab, sehingga solusinya pun akan berbeda. Dengan kata
lain, model penggusuran dengan dalih penertiban terhadap pedagang kaki-lima
sudah tidak populer, dan bukan solusi, tetapi justru kemungkinan dapat memunculkan
permasalahan baru.
Ada gula, ada semut
Kiranya
sudah menjadi hukum alam, bahwa di dunia ini kehidupan saling berpasangan.
Dengan demikian kegiatan-kegiatan yang diadakan secara formal sebagai fasilitas
pelayanan masyarakat akan diikuti dengan pemunculan sektor informal, yang salah
satunya adalah pedagang kaki-lima. Dengan menerapkan teori “ada gula, ada
semut” maka kemunculan pedagang kaki-lima pada suatu tempat dapat diprediksi
sebelumnya, dan dapat diantisipasi kemungkinan timbulnya permasalahan di
kemudian hari.
Daerah/tempat
tersebut adalah pusat-pusat kegiatan yang mendatangkan banyak orang, atau yang
biasa disebut dengan istilah fasilitas pelayanan umum seperti: alun-alun,
pasar, mall, pusat perdagangan, stadion, rumah sakit, terminal, sekolah/kampus,
tempat rekreasi, dan lain sebagainya. Fasilitas-fasilitas
ini sebagai gula bagi pedagang kaki-lima sebagai semutnya. Karenanya biasanya
dalam perencanaan kota
fasilitas-fasilitas tersebut diletakkan menyebar hampir ke seluruh penjuru kota, dan dalam perancangan
fasilitas-fasilitas tersebut termasuk area terbuka untuk pedagang kaki-lima yang
dilengkapi pula dengan fasilitas jaringan utilitas umum (listrik, telepon umum,
air bersih, lavatory umum, hydrant pemadam kebakaran, tempat
pembuangan sampah sementara, dan lain sebagainya, termasuk tanaman sebagai
peneduh). Dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut selain sebagai pelayanan
kepada para pedagang kaki-lima juga diharapkan ada retribusi masuk bagi
pemerinah kabupaten/kota. Hal ini dapat dilakukan dengan kerja sama dengan
pihak ketiga, atas dasar saling menguntungkan.
Untuk
membatasi gerak dan perilaku para pedagang kaki-lima sudah semestinya diatur
dalam suatu aturan atau tata-tertib bagi pedagang kaki-lima. Orang atau
pemerintah yang bijak tidak pernah mengatakan tidak, tetapi segalanya telah
ditetapkan aturan main sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan. Dengan adanya
tata-tertib yang diadakan sebelumnya, maka bila terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi yang setimpal.
Nilai positif pedagang kaki-lima
Diketahui bahwa pedagang kaki-lima di Purwokerto
khususnya dan di Indonesia
pada umumnya berkembang pesat setelah adanya krisis ekonomi akhir-akhir ini.
Sebagian dari mereka adalah para pegawai atau karyawan yang terkena PHK
(pemutusan hubungan kerja) dari perusahaannya. Dengan uang pesangon yang tidak
seberapa mereka mencoba berusaha untuk hidup dan menghidupi keluarga. Dengan
warung tenda mereka yang menyandang gelar kesarjanaan itu pada umumnya
berjualan berbagai jenis makanan pada sore dan malam hari. Pada pagi dan siang
hari mempersiapkan segalanya.
Dari pengamatan sementara dapat diambil pelajaran
positif bahwa terdapat beberapa kecenderungan yang kiranya perlu didukung dan
dikembangkan, yakni:
1) Pedagang kaki-lima merubah pola mark up
menjadi pola efisiensi. Sewaktu menjadi pegawai/karyawan pada umumnya berusaha
menaikkan anggaran belanja, tetapi sebagai pedagang kaki-lima berusaha
memperkecil anggaran belanja.
2) Pedagang kaki-lima merubah pola konsumtif (dengan
membelanjakan uang gaji) menjadi produktif (berusaha mendapatkan uang sesuai
hasil kerja).
3) Pedagang kaki-lima merubah pola mencari kerja
menjadi menciptakan kerja, dengan tenaga kerja minimal 3 (tiga) orang untuk
setiap warung tenda (walau mereka masih dalam satu jalur hubungan keluarga).
4) Terjalin hubungan kerja secara tidak langsung yang
positif dengan para petani untuk kebutuhan bahan baku (daging, ayam, telur, puyuh, dara, lele,
ikan, beras, sayuran).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar