Selasa, 14 Mei 2013

KONTROVERSI HARI JADI KAB. BANYUMAS (7)


CATATAN ANWAR HAJA (4)

D.  Dr. H. J De Graaf tentang Adipati Wirasaba-Banyumas

De Graaf adalah ilmuwan Belanda ahli sejarah Jawa, banyak menulis kerajaan Islam di Jawa, mulai dari Demak, Pajang, Mataram dan kerajaan Islam lokal lainnya. Keahliannya dalam mengolah sejumlah kitab babad dan menjadikannya sebagai salah sutu sumber sejarah untuk menulis kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, menyebabkan De Gaaf mendapat julukan Bapak Sejarah Jawa.
Sebagai seorang ahli sejarah Jawa yang dengan tekun menggeluti banyak kita-kitab babad yang tersebar sebagai kronik lokal baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa Barat, ternyata sejumlah kitab babad dari Banyumas pun tak luput dari perhatiannya. Keunikan De Graaf dalam menggunakan kitab-kitab babad sebagai sumber sejarah, adalah cepatnya dia meninggalkan hal-hal yang berbau mitos, mistik dan hal-hal supernatural lainnya yang pada umumnya melekat pada sejumlah kitab babad. Kemudian De Graaf biasanya melakukan cek secara silang atas sebuah informasi peristiwa sejarah yang dimuat dalam suatu kitab babad dengan kitab babad dan sumber sejarah lainnya.Hasilnya adalah suatu fakta sejarah yang mengagumkan.
Mengenai peristiwa wafatnya Adipati Wirasaba VI atau Adipati Wargahutama I, Graaf menulis sbb: "Dalam Babad Banyumas diberitakan bahwa Sultan Pajang telah memerintahkan untuk membunuh Yang Dipertuan di Wirasaba yang bernama Warga Utama. Suatu kronik Jawa menyebutkan tahun Jawa 1500 (1578 M), sebagai tahun pendudukan Wirasaba ........ Keraton Pajang dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan Raja Adiwijaya, masih ingin meneguhkan kekuasaannya di tanah pedalaman dengan kekerasan senjata..." (De Graaf;1985:269).
Informasi De Graaf yang dalam menelaah kitab-kitab babad bekerja sama dengan Dr. TH. G. TH. Pigeud, memberikan makna penting untuk merekontruntruksi Sejarah Kabupaten Banyumas. Dari kutipan di atas, tanpa ragu-ragu De Graaf menyebutkan bahwa pada tahun 1578 M, telah terjadi konflik antara Raja Pajang dan Adipati Wirasaba Wargahutama I. Konflik itu  mengakibatkan penyerbuan dan pendudukan Kadipaten Wirasaba oleh tentara Pajang, yang telah  mengakibatkan  terbunuhnya Wargahutama I. Dapat dipastikan bahwa peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu Pahing yang kemudian menjadi legenda yang amat populer di kalangan rakyat Banyumas. De Graaf sendiri menganggap kisah dalam legenda Sabtu Pahing, yang berawal dari kesalahpahaman status gadis putri Adipati Wirasaba VI itu sebagai kisah isapan jempol belaka. Graaf menilai sebagai hasil imajinasi penulis Babad Banyumas yang ditulis satu atau dua abad kemudian. Perintah membunuh Adipati Wirasaba VI itu, bukan karena soal gadis pelara-lara. Tetapi karena konflik politik. Besar kemungkinan Adipati Wirasaba VI, tidak mau sowan menghadap Sultan Hadiwijoyo, karena cenderung mendukung Mataram yang dipimpin  Ki Gede Pemanahan, Juru Martani dan Senopati atau Sutawijaya.
Tentu saja kita harus mengetahui apa latar belakang dari konflik Pajang vs Mataram yang mendapat dukungan diam-diam Adipati Wirasaba. Mengapa pula Adipati Wirasaba mengambil sikap mendukung Mataram dengan risiko dianggap melawan Pajang yang sedang berjuang untuk meneguhkan kekuasaannya di daerah pedalaman dengan menggunakan kekerasan senjata?. Pengetahuan tentang latar belakang konflik Pajang vs Mataram yang telah menyeret Wirasaba terlibat dalam pusaran konflik, akan membantu kita menafsirkan kisah dalam Babad Kalibening, tentang kehadiran R. Jaka Kahiman di Pajang pada tgl. 27 Ramadhan 1571 M.
Jika kita berpegang pada hasil telaah De Graaf dan Pigeaud, kita pasti berkesimpulan bahwa pada tanggal 27 Ramadhan 1571 M, saat R. Jaka Kahiman menghadap Raja Pajang, hari Rabu sore, sambil membawa upeti sebagaimana diberitakan dalam Babad Kalibening, saat itu Adipati Wirasaba Wargahutama I, mertua R. Jaka Kahiman, masih hidup. Karena menurut telaah Graaf dan Pigeaud, Wargautama I, baru wafat tahun 1578 M. Dengan demikian, tidak mungkin pada tgl. 27 Ramadhan 1571 M, Raja Pajang mengangkat R. Jaka Kahiman sebagai Bupati Banyumas. Lalu bagaimana kita menafsirkan informasi dari tradisi makam Bupati Mrapat yang menyatakan bahwa R.Jaka Kahiman memerintah dari tahun 1571 - 1582 M ?. 
R. Jaka Kahiman adalah menantu Adipati Wirasaba Wargahutama I, memperistri putri sulung Sang Adipati. Rupanya setelah menikah, R. Jaka Kahiman, tidak tinggal di Wirasaba, tetapi memboyong istrinya ke Kejawar. Bagaimanapun juga wilayah Kejawar adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan Wirasaba.
Karena R. Jaka Kahiman adalah menantu dari putri sulung dan diangkat anak oleh Demang Kejawar, Ki Mranggi, maka tidak mustahil jika Adipati Wirasaba sekaligus mengangkat dan menetapkan Sang Menantu putri pertamanya itu sebagai penguasa wilayah Kejawar. Tugasnya adalah  untuk mengatur, membangun dan memerintah wilayah Kejawar atas nama Adipati Wirasaba. Kebijakan Sang Adipati  itu punya beberapa tujuan. Pertama memberi peluang R. Jaka Kahiman mengembangkan bakat dan ketrampilannya menjadi penguasa daerah di Kejawar dengan  memerintah tetap atas nama Adipati Wirasaba. Kedua mengamankan jabatan Adipati Wirasaba, agar kelak jatuh kepada putranya sendiri, bukan kepada putra menantu. Bisa jadi Adipati Wirasaba sebenarnya memang sudah memikirkan untuk membagi wilayah Kadipaten Wirasaba menjadi empat wilayah untuk kedua putranya dan kedua putra menantunya. Karena R. Jaka Kahiman adalah menantu pertama dan kebetulan berasal dari wilayah Kejawar, sangat masuk akal bila Sang Adipati  memilih  R. Jaka Kahiman untuk memerintah wilayah Kejawar atas nama Sang Adipati. Juga karena menantu pertama, Sang Adipati tentu lebih sering menugaskan R. Jaka Kahiman mewakili Sang Adipati dalam berbagai urusan yang berkaitan dengan kepentingan Kadipaten Wirasaba. Tentu penetapan R.Jaka Kahiman sebagai penguasa Kejawar, tidak perlu meminta ijin ataupun persetujuan Pajang, karena Kejawar bukan wilayah yang secara langsung di bawah Pajang. Tetapi wilayah yang ada di bawah Kadipaten Wirasaba yang tunduk ke Pajang.
Dalam hal ini informasi dari tradisi makam Bupati Mrapat, bahwa R. Jaka Kahiman memerintah daerah Banyumas dari tahun 1571 - 1582 M, memang ada benarnya. Tetapi posisinya tentu baru sebatas penguasa daerah yang diangkat oleh Sang Mertua Adipati Wirasaba Wargahutama, bukan sebagai bupati Banyumas yang otonom. Istilah jaman sekarang mungkin, daerah Kejawar Banyumas belum dimekarkan menjadi Kadipatan atau Kabupaten otonom yang lepas dari Wirasaba dan belum langsung berada dibawah kekuasaan Pajang.
Sekarang bagaimana harus ditafsirkan informasi dalam Babad Kalibening yang menyatakan bahwa R. Jaka Kahiman pada tanggal 27 Ramadhan 1571 M, Rabu sore menghadap Raja Pajang untuk menyerahkan upeti?. Karena pada saat itu Adipati Wirasaba Wargahutama I masih hidup, maka dengan mudah dapat disimpulkan kehadiran R. Jaka Kahiman menghadap Raja Pajang, sebenarnya hanya untuk mewakili mertuanya Adipati Wirasaba yang memang masih  enggan datang menghadap Raja Pajang. Apa sebabnya Adipati Wirasaba VI Wargahutama I, enggan sowan ke Pajang ?. Untuk mengetahui hal ini, terpaksa kita harus menengok kebelakang sejenak, untuk melihat konflik suksesi perebutan tahka Kerajaan Islam Demak, pasca wafatnya Sultan Trenggono (1546 M).
Setelah Sultan Trenggono (1521-1546 M) wafat, memang banyak daerah-daerah di luar Demak yang berusaha melepaskan diri.Pengganti Trenggono adalah Prawoto (1546-1549 M) yang lemah dalam urusan pemerintahan, karena dia lebih tertarik pada soal-soal mistik keagamaan dari pada urusan tetek bengek birokrasi. Daerah yang pertama kali melepaskan diri dari Demak adalah Cirebon dan Banten dibawah pimpinan Syekh Nurullah Sunan Gunung Jati.Kemudian menyusul Jipang di bawah adipatinya yang terkenal, Haryo Penangsang. Adipati Jipang bahkan berhasil membunuh Prawoto, dan Ki Kalinyamat, suami Ratu Kalinyamat, Ratu Jepara. Ratu Kalinyamat adalah putri Trenggono, adik Prawoto. Akibatnya,meletuslah konflik Demak VS Jipang. Adipati Pajang Hadiwijoyo mendapat mandat untuk memimpin koalisi Demak melawan Jipang. Ternyata Jipang cukup tangguh juga, karena mendapat dukungan dari Adipati Blora dan sejumlah adipati daerah pesisir lainnya.. Tanpa bantuan Ki Gede Pamanahan, Panjawi dan Senapati, Pajang tidak mungkin bisa menaklukan Jipang. Menurut cacatan Graaf, Jipang  dapat ditaklukan pada tahun 1549 M. Kemudian Blora pendukung kuat Jipang ditaklukkan tahun 1556  Sekalipun begitu perang masih terus berlanjut, karena kuatnya dukungan dari kadipaten-kadipaten pesisir Jawa Timur yang mendukung Jipang dan Blora.Baru pada tahun 1568 M  Adipati Pajang Hadiwijoyo mampu mengkonsolidasikan daerah-daerah di luar Demak di bawah kendali kekuasaannya. Dengan demikian perang suksesi memperebutkan tahta Demak sebenarnya berlangsung cukup lama, yakni hampir 20 tahun. Fakta ini memang jarang terungkap dalam kronik-kronik lokal ataupun buku-buku babad, karena kebanyakan kitab babad ditulis berdasarkan ceritera tutur dan ingatan yang agak samar-samar. Sejak tahun itulah, Kerajaan Pajang diproklamirkan sebagai ahli waris dan penerus Kerajaan Islam Demak.Hadiwijoyo pun naik menduduki tahta Kerajaan Islam Pajang. Wilayah Demak beralih satus menjadi  kadipatan bawahan Pajang, dengan Arya Pangiri, putra Prawoto sebagai Adipati Demak.



E.  Konfik Pajang vs Mataram

Raja Pajang Hadiwijoyo, setelah naik tahta Kerajaan Islam Pajang pada tahun 1568 M itu, mulai memenuhi janjinya untuk menganugerahkan sebagain wilayah Kerajaan Pajang kepada tokoh-tokoh yang dianggap paling berjasa memenangkan Pajang dalam perang suksesi memperebutkan tahta Kerajaan Islam Demak. Mula-mula Raja Pajang lebih dahulu menganugerahkan bumi Pati kepada  kepada Panjawi. Dengan demikian Panjawi menjadi Adipati Pati.Tetapi terhadap Pamanahan, Hadiwijoyo, terus menunda-nunda janjinya. Hal ini membuat jengkel Pamanahan dan Senopati. Padahal Pamanahan pernah sama-sama dengan Mas Karebet, nama Hadiwijoyo saat masih muda, menjadi komandan pasukan elit Kerajaan Islam Demak Tamtama, yang berada di bawah komando langsung Sultan Trenggono. Rupanya Raja Pajang mulai cemas kepada kemampuan Pemanahan dan Senopati. Karena itu Raja Pajang berusaha mengulur-ulur janjinya untuk memberikan sebagian wilayah Pajang kepada ayah dan anak itu. Hanya karena campur tangan Sunan Kalijaga, Raja Pajang Hadiwijoyo akhirnya menganugerahkan bumi Mataram yang sudah berubah menjadi hutan ,kepada Pamanahan dan Senapati. Dalam hati, Pamanahan dan Senapati, agak menggerutu, karena Panjawi mendapat daerah yang makmur yakni bumi Pati, sehingga tidak harus susah payah membangun daerah baru. Sementara Pamanahan dan Senopati masih harus berjuang keras membangun daerah yang masih perawan itu menjadi sebuah kadipaten yang makmur. Tapi Pamanahan tidak menunjukkan rasa tidak senangnya kepada Raja Pajang  dan hanya menyimpan kegalauannya di dalam hatinya saja. Semua anugerah itu diterimanya dengan legowo. Tapi sejak itu, tekadnya telah bulat ingin membangun bumi Mataram menjadi kadipaten besar yang kelak harus mampu mengungguli Pajang. Sejarah membuktikan, tekad Pmanahan dan Senapati menjadi kenyataan. Dan dari sinilah sebenarnya konflik Pajang vs Mataram bermula.Siapakah Ki Gede Pemanahan, tokoh karismatik pendiri Kerajaan Islam Mataram itu?.

Ki Gede Pemanahan adalah salah seorang keturunan   kentot dari daerah Pengging yang punya banyak pengikut yang terdiri dari para keturunan kentot juga. Kentot adalah para ksatria yang dalam tradisi Eropa Barat disebut knight. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian dalam seni olah keprajuritan dan berperang. Menurut Babad Tanah Jawi, kakek  Pemanahan adalah Ki Ageng Selo, seorang keturunan kentot juga yang gagah berani, sampai-sampai dimitoskan dapat menangkap petir.Ki Ageng Selo ini masih keturunan Lembu Peteng alias Bondan Kejawen,salah seorang putra dari selir Raja Majapahit Brawijaya Sri Kertawijaya (1447 - 1451 M). Bondan Kejawen inilah yang merupakan leluhur dinasti raja-raja Mataram dan rupanya juga menjadi menantu salah seorang kentot daerah Pengging yang gagah perkasa pula. Menurut Babad Tanah Jawi, Bondan Kejawen inilah yang berhasil menyunting Dewi Nawangsih, putri pasangan Jaka Tarub dengan gadis bidadari Dewi Nawangwulan dalam legenda Jawa yang terkenal: Jaka Tarub. Jaka Tarub ini pun sebenarnya anak seorang kentot juga.Tetapi besar kemungkinan Pamanan ini bukan cucu Ki Ageng Sela seperti disebutkan Babad Tanah Jawi. Pamanahan lebih tepat adalah putra dari Ki Ageng Selo yang diasuh oleh Ki Ageng Ngenis yang tinggal di Laweyan, tidak jauh dari Pajang. Bersama Pamanahan, Panjawi yang putra Ki Ageng Pati, juga diasuh oleh Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Pati dengan Ki Ageng Selo ini, sama-sama menantu dari Ki Ageng Ngerang, seorang tokoh kentot yang juga menjadi mertua Sunan Muria. Dengan demikian Panjawi dan Pamanahan adalah saudara sepupu kakak beradik lewat jalur ibu mereka.
Pada saat Pamanahan mendapat tugas dari Hadiwijoyo untuk membantu menaklukkan Jipang, Blora dan daerah lain, Pamanahan banyak dibantu oleh kerabatnya para keturunan kentot Pengging. Bantuan datang bukan hanya dari kerabat Pemanahan yang ada di daerah Pengging. Tetapi juga kerabatnya turunan para kentot yang telah menjadi penguasa di sisi timur Lembah Serayu. Salah satu turunan kentot di Lembah Serayu yang masih masuk ke dalam jaringan kekerabatan dengan Pamanahan adalah Adipati  Wirasaba VI. Adipati Wirasaba VI ini adalah turunan Ki Ageng Wirasaba, salah seorang kentot dari daerah Pengging juga. Dia adalah  pendiri Kadipaten Wirasaba, yang menurut catatan M.Koderi, berdiri pada tahun 1413 M. Jika catatan M. Koderi ini benar, berarti Kadipaten Wirasaba diresmikan oleh Raja Majapahit Wikrama Wardhana (1389 - 1429 M). Ki Ageng Wirasaba menyandang nama Adipati R. Wirahudaya (1413 - 1433 M). Sayang penulis ini tidak menyebutkan nama-nama Adipati Wirasaba pengganti Adipati Wirasaba I, kecuali hanya menjelaskan bahwa pada masa Kerajaan Islam Pajang, Adipati Wirasaba sudah sampai pada masa Adipati Wirasaba VI, yaitu R.Bagus Suwarga yang mengambil gelar Wargahutama I.
Pada saat terjadi konflik Pajang vs Jipang, bukan mustahil  Adipati Wirasaba VI, ikut mengirimkan anak buahnya untuk berperang di bawah komando Pamanahan. Demikian pula pada saat Pemanahan, Juru Martani dan Senopati, membangun bumi Mataram, jaringan keturunan para kentot yang menjadi penguasa di daerah Bagelen dan Lembah Serayu, ikut bergotong royong memberikan bantuanya dan menunjukkan solidaritasnya. Babad Tanah Jawi hanya menyebutkan Pamanahan membawa pengikutnya lebih kurang 3000 orang untuk membangun bumi Mataram. Maka ketika Raja Pajang menunda-nunda menganugerahkan tanah bumi Mataram sebagai hadiah atas keberhasilan Pamanahan menaklukkan Jipang, Blora dan daerah lainnya, Adipati Wirasaba VI tentu ikut dongkol juga. Sebab bagaimanapun juga hubungan kekerabatan antara Adipati Wirasaba VI dengan Pamanahan, sebagai sesama keturunan kentot, lebih mendekatkan Wirasaba kepada Pamanahan dari pada kepada Raja Pajang. Rasa solidaritas yang tinggi kepada Pamanahan sebagai akibat ikatan kekerabatan sesama turunan kentot inilah yang menyebabkan Wirasaba enggan menghadap Hadiwijoyo sekalipun Hadiwijoyo sudah menduduki tahta Kerajaan Pajang(1568 M). Dari segi usia pun memang Hadiwijoyo, Panjawi, Pamanahan dan R. Bagus Suarga atau Adipati Wirasaba VI itu satu angkatan, sehingga usia mereka sebaya (Jawa: pantaran). Karena itu Adipati Wirasaba dengan mudah mengambil sikap terhadap Raja Pajang.
Dengan tidak mau menghadap ke Pajang, secara tidak langsung sebenarnya Adipati Wirasaba VI belum mau mengakui Hadiwijoyo sebagai Raja Pajang. Setelah Raja Pajang menganugerahkan bumi Mataram kepada Pemanahan, Adipati Wirasaba VI baru mau mengakui Raja Pajang, walapun masih setengah hati. Dapat dimengerti apabila Sang Adipati  hanya mengirimkan utusannya untuk menghadap Raja Pajang dengan membawa upeti, Siapa lagi yang harus diutus untuk menghadap Raja Pajang mewakili dirinya, jika bukan Sang Menantu, R. Jaka Kahiman?. Dapat dipastikan, Raja Pajang amat bergembira menerima kehadiran utusan dari Wirasaba itu. Sebab sekalipun hanya mewakili Sang Adipati, tetapi bagi Raja Pajang yang baru saja meraih tahta warisan Kerajaan Islam Demak itu, kehadiran utusan Wirasaba sudah dianggap cukup. Apalagi disertai upeti,  yang menandakan Wirasaba mengakui kekuasaan Kerajaan Islam Pajang.
Namun demikian kesediaan Adipati Wirasaba VI mengirimkan upeti dan utusan ke Pajang sebagaimana yang dilaporkan oleh Babad Kalibening itu, sebenarnya hanyalah usaha  Adipati Wirasaba VI untuk sekedar mengurangi ketegangan sementara saja antara Wirasaba dengan Pajang. Sebab memang antara tahun 1570 -1576 M,adalah masa-masa Pamanahan, Juru Martani dan Senopati sedang sibuk membangun Kadipaten Mataram. Dengan demikian informasi dari Babad Kalibening yang memberitahukan bahwa pada tgl.27 Ramadhan, R. Jaka Kahiman menyerahkan upeti dan menghadap Raja Pajang, sesuai dengan fakta sejarah. Hanya saja kehadiran R. Jaka Kahiman itu, untuk mewakili mertuanya, bukan untuk pelantikan dirinya. Sebab menurut analisa De Graaf pada tahun 1571 M, Sang Adipati masih hidup.
Pada tahun 1576 M, konflik Pajang vs Mataram mulai memanas, karena Kadipaten Mataram yang megah berhasil dibangun Pemanahan, Juru Martani dan Senopati dengan bantuan jaringan kekerabatan keturunan kentot Pengging  yang tersebar luas itu.Kraton Mataram di Kota Gede itu, dibangun memang untuk menandingi Kraton Pajang. Tentu saja hal ini membuat geram Raja Pajang yang sejak awal sudah mencurigai Pemanahan dan Senapati memiliki sebuah agenda tersembunyi untuk melemahkan Pajang. Namun demikian Ki Gede Pemanahan, senantiasa tampil santun, rendah hati dan tidak memperlihatkan tanda-tanda melawan Pajang. Dia pun hanya memakai gelar Ki Gede, bukan Adipati. Sebaliknya dengan Senopati. Sang Putra Pendiri Dinasti Mataram ini, diam-diam mulai melakukan kampanye mempengaruhi para Adipati di sekitar Mataram agar kelak bersedia mendukung Mataram menjadi sebuah Kerajaan. Bisa jadi ulah Senopati ini tidak sepengetahuan ayahnya. Atau bisa jadi ayahnya diam-diam merestui kampanye terselubung putra calon penggantinya itu.
Yang jelas, Raja Pajang mengetahui kampanye diam-diam Senopati itu. Ditambah lagi, sejak Kadipaten Mataram berdiri, belum pernah mengirim utusan untuk sowan dan menghadap Raja Pajang. Inilah yang mendorong Raja Pajang Hadiwiijoyo mulai melakukan gerakan ofensif untuk membendung pengaruh Mataram.Malang bagi Wirasaba, karena rupanya Wirasaba menjadi Kadipaten pertama di sebelah barat Mataram yang harus menjadi sasaran target ekspedisi dan operasi Raja Pajang. Operasi dan ekspedisi militer itu dalam rangka ofensip menegakkkan kedaulatan Pajang atas sejumlah wilayah di pedalaman Jawa Tengah Selatan guna membendung pengaruh Mataram agar tidak meluas ke sebelah barat Lembah Serayu. Menurut catatan De Graaf, daerah sisi barat Lembah Serayu berada di bawah kekuasaan Kadipaten Pasir Luhur yang secara tradisional sejak diislamkan oleh Makhdum Ibrahim pada awal abad ke-16 M, tetap setia baik kepada Kerajaan Islam Demak maupun Kerajaan Islam Pajang di bawah Hadiwijoyo. Sangat menarik bila kita tafsirkan bahwa ekspedisi dan pendudukan atas Wirasaba yang terjadi pada tahun 1578 M itu, yang telah mengakibatkan tewasnya Sang Adipati,adalah bagian dari upaya Hadiwijoyo untuk menaikkan R. Joko Kahiman yang putra dari Kadipaten Pasirluhur itu untuk menggantiakan kedudukan mertuanya sebagai Adipati Wirasaba VII.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar