CATATAN ANWAR HAJA (4)
D. Dr. H. J De Graaf tentang Adipati
Wirasaba-Banyumas
De
Graaf adalah ilmuwan Belanda ahli sejarah Jawa, banyak menulis kerajaan Islam di
Jawa, mulai dari Demak, Pajang, Mataram dan kerajaan Islam lokal lainnya.
Keahliannya dalam mengolah sejumlah kitab babad dan menjadikannya sebagai salah
sutu sumber sejarah untuk menulis kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, menyebabkan
De Gaaf mendapat julukan Bapak Sejarah Jawa.
Sebagai
seorang ahli sejarah Jawa yang dengan tekun menggeluti banyak kita-kitab babad
yang tersebar sebagai kronik lokal baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa
Barat, ternyata sejumlah kitab babad dari Banyumas pun tak luput dari
perhatiannya. Keunikan De Graaf dalam menggunakan kitab-kitab babad sebagai
sumber sejarah, adalah cepatnya dia meninggalkan hal-hal yang berbau mitos, mistik
dan hal-hal supernatural lainnya yang pada umumnya melekat pada sejumlah kitab
babad. Kemudian De Graaf biasanya melakukan cek secara silang atas sebuah
informasi peristiwa sejarah yang dimuat dalam suatu kitab babad dengan kitab
babad dan sumber sejarah lainnya.Hasilnya adalah suatu fakta sejarah yang
mengagumkan.
Mengenai
peristiwa wafatnya Adipati Wirasaba VI atau Adipati Wargahutama I, Graaf
menulis sbb: "Dalam Babad Banyumas diberitakan bahwa Sultan Pajang telah
memerintahkan untuk membunuh Yang Dipertuan di Wirasaba yang bernama Warga
Utama. Suatu kronik Jawa menyebutkan tahun Jawa 1500 (1578 M), sebagai tahun
pendudukan Wirasaba ........ Keraton Pajang dalam tahun-tahun terakhir
pemerintahan Raja Adiwijaya, masih ingin meneguhkan kekuasaannya di tanah
pedalaman dengan kekerasan senjata..." (De Graaf;1985:269).
Informasi
De Graaf yang dalam menelaah kitab-kitab babad bekerja sama dengan Dr. TH. G. TH.
Pigeud, memberikan makna penting untuk merekontruntruksi Sejarah Kabupaten
Banyumas. Dari kutipan di atas, tanpa ragu-ragu De Graaf menyebutkan bahwa pada
tahun 1578 M, telah terjadi konflik antara Raja Pajang dan Adipati Wirasaba
Wargahutama I. Konflik itu mengakibatkan penyerbuan dan pendudukan
Kadipaten Wirasaba oleh tentara Pajang, yang telah mengakibatkan
terbunuhnya Wargahutama I. Dapat dipastikan bahwa peristiwa itu terjadi pada
hari Sabtu Pahing yang kemudian menjadi legenda yang amat populer di kalangan
rakyat Banyumas. De Graaf sendiri menganggap kisah dalam legenda Sabtu Pahing, yang
berawal dari kesalahpahaman status gadis putri Adipati Wirasaba VI itu sebagai
kisah isapan jempol belaka. Graaf menilai sebagai hasil imajinasi penulis Babad
Banyumas yang ditulis satu atau dua abad kemudian. Perintah membunuh Adipati
Wirasaba VI itu, bukan karena soal gadis pelara-lara. Tetapi karena konflik
politik. Besar kemungkinan Adipati Wirasaba VI, tidak mau sowan menghadap
Sultan Hadiwijoyo, karena cenderung mendukung Mataram yang dipimpin Ki
Gede Pemanahan, Juru Martani dan Senopati atau Sutawijaya.
Tentu
saja kita harus mengetahui apa latar belakang dari konflik Pajang vs Mataram
yang mendapat dukungan diam-diam Adipati Wirasaba. Mengapa pula Adipati
Wirasaba mengambil sikap mendukung Mataram dengan risiko dianggap melawan
Pajang yang sedang berjuang untuk meneguhkan kekuasaannya di daerah pedalaman
dengan menggunakan kekerasan senjata?. Pengetahuan tentang latar belakang
konflik Pajang vs Mataram yang telah menyeret Wirasaba terlibat dalam pusaran
konflik, akan membantu kita menafsirkan kisah dalam Babad Kalibening, tentang
kehadiran R. Jaka Kahiman di Pajang pada tgl. 27 Ramadhan 1571 M.
Jika
kita berpegang pada hasil telaah De Graaf dan Pigeaud, kita pasti berkesimpulan
bahwa pada tanggal 27 Ramadhan 1571 M, saat R. Jaka Kahiman menghadap Raja
Pajang, hari Rabu sore, sambil membawa upeti sebagaimana diberitakan dalam
Babad Kalibening, saat itu Adipati Wirasaba Wargahutama I, mertua R. Jaka
Kahiman, masih hidup. Karena menurut telaah Graaf dan Pigeaud, Wargautama I,
baru wafat tahun 1578 M. Dengan demikian, tidak mungkin pada tgl. 27 Ramadhan
1571 M, Raja Pajang mengangkat R. Jaka Kahiman sebagai Bupati Banyumas. Lalu
bagaimana kita menafsirkan informasi dari tradisi makam Bupati Mrapat yang
menyatakan bahwa R.Jaka Kahiman memerintah dari tahun 1571 - 1582 M ?.
R.
Jaka Kahiman adalah menantu Adipati Wirasaba Wargahutama I, memperistri putri
sulung Sang Adipati. Rupanya setelah menikah, R. Jaka Kahiman, tidak tinggal di
Wirasaba, tetapi memboyong istrinya ke Kejawar. Bagaimanapun juga wilayah
Kejawar adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan Wirasaba.
Karena
R. Jaka Kahiman adalah menantu dari putri sulung dan diangkat anak oleh Demang
Kejawar, Ki Mranggi, maka tidak mustahil jika Adipati Wirasaba sekaligus
mengangkat dan menetapkan Sang Menantu putri pertamanya itu sebagai penguasa
wilayah Kejawar. Tugasnya adalah untuk mengatur, membangun dan memerintah
wilayah Kejawar atas nama Adipati Wirasaba. Kebijakan Sang Adipati itu
punya beberapa tujuan. Pertama memberi peluang R. Jaka Kahiman mengembangkan
bakat dan ketrampilannya menjadi penguasa daerah di Kejawar dengan
memerintah tetap atas nama Adipati Wirasaba. Kedua mengamankan jabatan Adipati
Wirasaba, agar kelak jatuh kepada putranya sendiri, bukan kepada putra menantu.
Bisa jadi Adipati Wirasaba sebenarnya memang sudah memikirkan untuk membagi
wilayah Kadipaten Wirasaba menjadi empat wilayah untuk kedua putranya dan kedua
putra menantunya. Karena R. Jaka Kahiman adalah menantu pertama dan kebetulan
berasal dari wilayah Kejawar, sangat masuk akal bila Sang Adipati
memilih R. Jaka Kahiman untuk memerintah wilayah Kejawar atas nama Sang
Adipati. Juga karena menantu pertama, Sang Adipati tentu lebih sering
menugaskan R. Jaka Kahiman mewakili Sang Adipati dalam berbagai urusan yang
berkaitan dengan kepentingan Kadipaten Wirasaba. Tentu penetapan R.Jaka Kahiman
sebagai penguasa Kejawar, tidak perlu meminta ijin ataupun persetujuan Pajang, karena
Kejawar bukan wilayah yang secara langsung di bawah Pajang. Tetapi wilayah yang
ada di bawah Kadipaten Wirasaba yang tunduk ke Pajang.
Dalam
hal ini informasi dari tradisi makam Bupati Mrapat, bahwa R. Jaka Kahiman
memerintah daerah Banyumas dari tahun 1571 - 1582 M, memang ada benarnya. Tetapi
posisinya tentu baru sebatas penguasa daerah yang diangkat oleh Sang Mertua
Adipati Wirasaba Wargahutama, bukan sebagai bupati Banyumas yang otonom. Istilah
jaman sekarang mungkin, daerah Kejawar Banyumas belum dimekarkan menjadi
Kadipatan atau Kabupaten otonom yang lepas dari Wirasaba dan belum langsung
berada dibawah kekuasaan Pajang.
Sekarang
bagaimana harus ditafsirkan informasi dalam Babad Kalibening yang menyatakan
bahwa R. Jaka Kahiman pada tanggal 27 Ramadhan 1571 M, Rabu sore menghadap Raja
Pajang untuk menyerahkan upeti?. Karena pada saat itu Adipati Wirasaba
Wargahutama I masih hidup, maka dengan mudah dapat disimpulkan kehadiran R. Jaka
Kahiman menghadap Raja Pajang, sebenarnya hanya untuk mewakili mertuanya
Adipati Wirasaba yang memang masih enggan datang menghadap Raja Pajang. Apa
sebabnya Adipati Wirasaba VI Wargahutama I, enggan sowan ke Pajang ?. Untuk
mengetahui hal ini, terpaksa kita harus menengok kebelakang sejenak, untuk
melihat konflik suksesi perebutan tahka Kerajaan Islam Demak, pasca wafatnya
Sultan Trenggono (1546 M).
Setelah
Sultan Trenggono (1521-1546 M) wafat, memang banyak daerah-daerah di luar Demak
yang berusaha melepaskan diri.Pengganti Trenggono adalah Prawoto (1546-1549 M)
yang lemah dalam urusan pemerintahan, karena dia lebih tertarik pada soal-soal
mistik keagamaan dari pada urusan tetek bengek birokrasi. Daerah yang pertama
kali melepaskan diri dari Demak adalah Cirebon dan Banten dibawah pimpinan
Syekh Nurullah Sunan Gunung Jati.Kemudian menyusul Jipang di bawah adipatinya
yang terkenal, Haryo Penangsang. Adipati Jipang bahkan berhasil membunuh
Prawoto, dan Ki Kalinyamat, suami Ratu Kalinyamat, Ratu Jepara. Ratu Kalinyamat
adalah putri Trenggono, adik Prawoto. Akibatnya,meletuslah konflik Demak VS
Jipang. Adipati Pajang Hadiwijoyo mendapat mandat untuk memimpin koalisi Demak
melawan Jipang. Ternyata Jipang cukup tangguh juga, karena mendapat dukungan
dari Adipati Blora dan sejumlah adipati daerah pesisir lainnya.. Tanpa
bantuan Ki Gede Pamanahan, Panjawi dan Senapati, Pajang tidak mungkin bisa
menaklukan Jipang. Menurut cacatan Graaf, Jipang dapat ditaklukan pada
tahun 1549 M. Kemudian Blora pendukung kuat Jipang ditaklukkan tahun 1556
Sekalipun begitu perang masih terus berlanjut, karena kuatnya dukungan dari
kadipaten-kadipaten pesisir Jawa Timur yang mendukung Jipang dan Blora.Baru
pada tahun 1568 M Adipati Pajang Hadiwijoyo mampu mengkonsolidasikan
daerah-daerah di luar Demak di bawah kendali kekuasaannya. Dengan demikian
perang suksesi memperebutkan tahta Demak sebenarnya berlangsung cukup lama,
yakni hampir 20 tahun. Fakta ini memang jarang terungkap dalam kronik-kronik
lokal ataupun buku-buku babad, karena kebanyakan kitab babad ditulis
berdasarkan ceritera tutur dan ingatan yang agak samar-samar. Sejak tahun
itulah, Kerajaan Pajang diproklamirkan sebagai ahli waris dan penerus Kerajaan
Islam Demak.Hadiwijoyo pun naik menduduki tahta Kerajaan Islam Pajang. Wilayah
Demak beralih satus menjadi kadipatan bawahan Pajang, dengan Arya
Pangiri, putra Prawoto sebagai Adipati Demak.
E. Konfik Pajang vs Mataram
Raja
Pajang Hadiwijoyo, setelah naik tahta Kerajaan Islam Pajang pada tahun 1568 M
itu, mulai memenuhi janjinya untuk menganugerahkan sebagain wilayah Kerajaan
Pajang kepada tokoh-tokoh yang dianggap paling berjasa memenangkan Pajang dalam
perang suksesi memperebutkan tahta Kerajaan Islam Demak. Mula-mula Raja Pajang
lebih dahulu menganugerahkan bumi Pati kepada kepada Panjawi. Dengan
demikian Panjawi menjadi Adipati Pati.Tetapi terhadap Pamanahan, Hadiwijoyo, terus
menunda-nunda janjinya. Hal ini membuat jengkel Pamanahan dan Senopati. Padahal
Pamanahan pernah sama-sama dengan Mas Karebet, nama Hadiwijoyo saat masih
muda, menjadi komandan pasukan elit Kerajaan Islam Demak Tamtama, yang berada
di bawah komando langsung Sultan Trenggono. Rupanya Raja Pajang mulai cemas
kepada kemampuan Pemanahan dan Senopati. Karena itu Raja Pajang berusaha mengulur-ulur
janjinya untuk memberikan sebagian wilayah Pajang kepada ayah dan anak itu. Hanya
karena campur tangan Sunan Kalijaga, Raja Pajang Hadiwijoyo akhirnya
menganugerahkan bumi Mataram yang sudah berubah menjadi hutan ,kepada Pamanahan
dan Senapati. Dalam hati, Pamanahan dan Senapati, agak menggerutu, karena
Panjawi mendapat daerah yang makmur yakni bumi Pati, sehingga tidak harus susah
payah membangun daerah baru. Sementara Pamanahan dan Senopati masih harus
berjuang keras membangun daerah yang masih perawan itu menjadi sebuah kadipaten
yang makmur. Tapi Pamanahan tidak menunjukkan rasa tidak senangnya kepada Raja
Pajang dan hanya menyimpan kegalauannya di dalam hatinya saja. Semua
anugerah itu diterimanya dengan legowo. Tapi sejak itu, tekadnya telah bulat
ingin membangun bumi Mataram menjadi kadipaten besar yang kelak harus mampu
mengungguli Pajang. Sejarah membuktikan, tekad Pmanahan dan Senapati menjadi
kenyataan. Dan dari sinilah sebenarnya konflik Pajang vs Mataram
bermula.Siapakah Ki Gede Pemanahan, tokoh karismatik pendiri Kerajaan Islam
Mataram itu?.
Ki
Gede Pemanahan adalah salah seorang keturunan kentot
dari daerah Pengging yang punya banyak pengikut yang terdiri dari para
keturunan kentot juga. Kentot adalah para ksatria yang dalam tradisi Eropa
Barat disebut knight. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian dalam
seni olah keprajuritan dan berperang. Menurut Babad Tanah Jawi, kakek
Pemanahan adalah Ki Ageng Selo, seorang keturunan kentot juga yang gagah
berani, sampai-sampai dimitoskan dapat menangkap petir.Ki Ageng Selo ini masih
keturunan Lembu Peteng alias Bondan Kejawen,salah seorang putra dari selir Raja
Majapahit Brawijaya Sri Kertawijaya (1447 - 1451 M). Bondan Kejawen inilah yang
merupakan leluhur dinasti raja-raja Mataram dan rupanya juga menjadi
menantu salah seorang kentot daerah Pengging yang gagah perkasa pula.
Menurut Babad Tanah Jawi, Bondan Kejawen inilah yang berhasil menyunting Dewi
Nawangsih, putri pasangan Jaka Tarub dengan gadis bidadari Dewi Nawangwulan
dalam legenda Jawa yang terkenal: Jaka Tarub. Jaka Tarub ini pun sebenarnya
anak seorang kentot juga.Tetapi besar kemungkinan Pamanan ini bukan cucu Ki
Ageng Sela seperti disebutkan Babad Tanah Jawi. Pamanahan lebih tepat adalah
putra dari Ki Ageng Selo yang diasuh oleh Ki Ageng Ngenis yang tinggal di
Laweyan, tidak jauh dari Pajang. Bersama Pamanahan, Panjawi yang putra Ki Ageng
Pati, juga diasuh oleh Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Pati dengan Ki Ageng Selo ini,
sama-sama menantu dari Ki Ageng Ngerang, seorang tokoh kentot yang juga menjadi
mertua Sunan Muria. Dengan demikian Panjawi dan Pamanahan adalah saudara sepupu
kakak beradik lewat jalur ibu mereka.
Pada
saat Pamanahan mendapat tugas dari Hadiwijoyo untuk membantu menaklukkan
Jipang, Blora dan daerah lain, Pamanahan banyak dibantu oleh kerabatnya para
keturunan kentot Pengging. Bantuan datang bukan hanya dari kerabat Pemanahan
yang ada di daerah Pengging. Tetapi juga kerabatnya turunan para kentot yang
telah menjadi penguasa di sisi timur Lembah Serayu. Salah satu turunan kentot
di Lembah Serayu yang masih masuk ke dalam jaringan kekerabatan dengan
Pamanahan adalah Adipati Wirasaba VI. Adipati Wirasaba VI ini adalah
turunan Ki Ageng Wirasaba, salah seorang kentot dari daerah Pengging juga. Dia
adalah pendiri Kadipaten Wirasaba, yang menurut catatan M.Koderi, berdiri
pada tahun 1413 M. Jika catatan M. Koderi ini benar, berarti Kadipaten Wirasaba
diresmikan oleh Raja Majapahit Wikrama Wardhana (1389 - 1429 M). Ki Ageng
Wirasaba menyandang nama Adipati R. Wirahudaya (1413 - 1433 M). Sayang penulis
ini tidak menyebutkan nama-nama Adipati Wirasaba pengganti Adipati Wirasaba I, kecuali
hanya menjelaskan bahwa pada masa Kerajaan Islam Pajang, Adipati Wirasaba
sudah sampai pada masa Adipati Wirasaba VI, yaitu R.Bagus Suwarga yang
mengambil gelar Wargahutama I.
Pada
saat terjadi konflik Pajang vs Jipang, bukan mustahil Adipati Wirasaba
VI, ikut mengirimkan anak buahnya untuk berperang di bawah komando Pamanahan.
Demikian pula pada saat Pemanahan, Juru Martani dan Senopati, membangun bumi
Mataram, jaringan keturunan para kentot yang menjadi penguasa di daerah Bagelen
dan Lembah Serayu, ikut bergotong royong memberikan bantuanya dan menunjukkan
solidaritasnya. Babad Tanah Jawi hanya menyebutkan Pamanahan membawa pengikutnya
lebih kurang 3000 orang untuk membangun bumi Mataram. Maka ketika Raja Pajang
menunda-nunda menganugerahkan tanah bumi Mataram sebagai hadiah atas
keberhasilan Pamanahan menaklukkan Jipang, Blora dan daerah lainnya, Adipati
Wirasaba VI tentu ikut dongkol juga. Sebab bagaimanapun juga hubungan
kekerabatan antara Adipati Wirasaba VI dengan Pamanahan, sebagai sesama
keturunan kentot, lebih mendekatkan Wirasaba kepada Pamanahan dari pada kepada
Raja Pajang. Rasa solidaritas yang tinggi kepada Pamanahan sebagai akibat
ikatan kekerabatan sesama turunan kentot inilah yang menyebabkan Wirasaba
enggan menghadap Hadiwijoyo sekalipun Hadiwijoyo sudah menduduki tahta Kerajaan
Pajang(1568 M). Dari segi usia pun memang Hadiwijoyo, Panjawi, Pamanahan dan R.
Bagus Suarga atau Adipati Wirasaba VI itu satu angkatan, sehingga usia mereka
sebaya (Jawa: pantaran). Karena itu Adipati Wirasaba dengan mudah mengambil
sikap terhadap Raja Pajang.
Dengan
tidak mau menghadap ke Pajang, secara tidak langsung sebenarnya Adipati
Wirasaba VI belum mau mengakui Hadiwijoyo sebagai Raja Pajang. Setelah Raja
Pajang menganugerahkan bumi Mataram kepada Pemanahan, Adipati Wirasaba VI baru
mau mengakui Raja Pajang, walapun masih setengah hati. Dapat dimengerti apabila
Sang Adipati hanya mengirimkan utusannya untuk menghadap Raja Pajang
dengan membawa upeti, Siapa lagi yang harus diutus untuk menghadap Raja Pajang
mewakili dirinya, jika bukan Sang Menantu, R. Jaka Kahiman?. Dapat dipastikan, Raja
Pajang amat bergembira menerima kehadiran utusan dari Wirasaba itu. Sebab
sekalipun hanya mewakili Sang Adipati, tetapi bagi Raja Pajang yang baru saja
meraih tahta warisan Kerajaan Islam Demak itu, kehadiran utusan Wirasaba sudah
dianggap cukup. Apalagi disertai upeti, yang
menandakan Wirasaba mengakui kekuasaan Kerajaan Islam Pajang.
Namun
demikian kesediaan Adipati Wirasaba VI mengirimkan upeti dan utusan ke Pajang
sebagaimana yang dilaporkan oleh Babad Kalibening itu, sebenarnya hanyalah
usaha Adipati Wirasaba VI untuk sekedar mengurangi ketegangan sementara
saja antara Wirasaba dengan Pajang. Sebab memang antara tahun 1570 -1576
M,adalah masa-masa Pamanahan, Juru Martani dan Senopati sedang sibuk membangun
Kadipaten Mataram. Dengan demikian informasi dari Babad Kalibening yang
memberitahukan bahwa pada tgl.27 Ramadhan, R. Jaka Kahiman menyerahkan upeti
dan menghadap Raja Pajang, sesuai dengan fakta sejarah. Hanya saja kehadiran R.
Jaka Kahiman itu, untuk mewakili mertuanya, bukan untuk pelantikan dirinya. Sebab
menurut analisa De Graaf pada tahun 1571 M, Sang Adipati masih hidup.
Pada
tahun 1576 M, konflik Pajang vs Mataram mulai memanas, karena Kadipaten Mataram
yang megah berhasil dibangun Pemanahan, Juru Martani dan Senopati dengan
bantuan jaringan kekerabatan keturunan kentot Pengging yang tersebar luas
itu.Kraton Mataram di Kota Gede itu, dibangun memang untuk menandingi Kraton
Pajang. Tentu saja hal ini membuat geram Raja Pajang yang sejak awal sudah
mencurigai Pemanahan dan Senapati memiliki sebuah agenda tersembunyi untuk
melemahkan Pajang. Namun demikian Ki Gede Pemanahan, senantiasa tampil santun, rendah
hati dan tidak memperlihatkan tanda-tanda melawan Pajang. Dia pun hanya memakai
gelar Ki Gede, bukan Adipati. Sebaliknya dengan Senopati. Sang Putra Pendiri
Dinasti Mataram ini, diam-diam mulai melakukan kampanye mempengaruhi para
Adipati di sekitar Mataram agar kelak bersedia mendukung Mataram menjadi sebuah
Kerajaan. Bisa jadi ulah Senopati ini tidak sepengetahuan ayahnya. Atau bisa
jadi ayahnya diam-diam merestui kampanye terselubung putra calon penggantinya
itu.
Yang jelas, Raja
Pajang mengetahui kampanye diam-diam Senopati itu. Ditambah lagi, sejak
Kadipaten Mataram berdiri, belum pernah mengirim utusan untuk sowan dan
menghadap Raja Pajang. Inilah yang mendorong Raja Pajang Hadiwiijoyo mulai
melakukan gerakan ofensif untuk membendung pengaruh Mataram.Malang bagi
Wirasaba, karena rupanya Wirasaba menjadi Kadipaten pertama di sebelah barat
Mataram yang harus menjadi sasaran target ekspedisi dan operasi Raja Pajang.
Operasi dan ekspedisi militer itu dalam rangka ofensip menegakkkan kedaulatan
Pajang atas sejumlah wilayah di pedalaman Jawa Tengah Selatan guna
membendung pengaruh Mataram agar tidak meluas ke sebelah barat Lembah Serayu.
Menurut catatan De Graaf, daerah sisi barat Lembah Serayu berada di bawah
kekuasaan Kadipaten Pasir Luhur yang secara tradisional sejak diislamkan oleh
Makhdum Ibrahim pada awal abad ke-16 M, tetap setia baik kepada Kerajaan Islam
Demak maupun Kerajaan Islam Pajang di bawah Hadiwijoyo. Sangat menarik bila
kita tafsirkan bahwa ekspedisi dan pendudukan atas Wirasaba yang terjadi pada
tahun 1578 M itu, yang telah mengakibatkan tewasnya Sang Adipati,adalah bagian
dari upaya Hadiwijoyo untuk menaikkan R. Joko Kahiman yang putra dari Kadipaten
Pasirluhur itu untuk menggantiakan kedudukan mertuanya sebagai Adipati Wirasaba
VII.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar