Radar Banyumas: Selasa Kliwon, 24 April 2001
Pembangunan berorientasikan orang kaya
Andaikan Mal Rita benar-benar
dibangun di sebelah selatan alun-alun Purwokerto dengan dua belas alias selusin
lantai tertumpuk menjadi satu bangunan, akh … betapa megahnya. Suatu monumen
milik dan karya putra daerah telah berdiri. Masyarakat Banyumas pasti berbangga
hati.
Dalam rangka otonomi daerah adanya
Mal Rita dengan hotelnya merupakan sumbangan tidak hanya kepada Pemerintah
Kabupaten melalui pajak dan atau retribusinya, tetapi juga bagi masyarakat akan
terbuka lapangan kerja baru. Wajib kita syukuri. Dengan adanya Mal Rita yang
menyerap 2000 orang tenaga kerja, maka yang bahagia adalah para remaja
kelurahan Pabuwaran (tempat istana Pak Buntoro berada yang lengkap dengan kolam
renang, kandang kuda, dan ternak sapinya), dan remaja kelurahan Kranji (tempat
mal Rita berada), karena mereka terserap menjadi karyawan mal Rita dengan gaji
yang cukup untuk hidup secara layak sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Bukan hanya ramane
dan emboke, tetapi juga pamane, uwane, kakange, dan mbekayune
akan berdecak kagum, bukan main. Mereka tidak bisa membayangkan betapa
tingginya, sebab rumah tikelan milik pak Lurah di desanya saja sudah
tinggi. Dan mereka akan bertanya-tanya kira-kira tingginya berapa kali tinggi pucang
yang biasa mereka pergunakan untuk plorodan dalam rangka perayaan tujuh
belasan. Dari desa Darmakradenan mereka akan menumpang truk pengangkut gamping,
sedang dari desa Pasir mereka naik dokar, datang untuk melihat bangunan
tinggiiiii sekali, milik putra asli Banyumas yang peduli dan cinta pada daerah
Banyumas daerah kelahirannya. Tapi apakah mereka benar-benar akan dapat melihat
bahwa di atap sana ada penangkal petirnya, dan di ujung penangkal petir
tersebut terdapat lampu merah yang berkedip-kedip? Tidak terpikirkan oleh
mereka bahwa kedip-kedip lampu yang tinggi itu hanya dapat dilihat dari halaman
Kabupaten, dan apakah Bapak Hansip Kabupaten mengijinkan mereka? Akh …….
kasihan mereka orang desa. Purwokerto juga milik mereka, kota kebanggaan
mereka.
Seperti pada mal
lainnya, akan terpasang lampu terang benderang dari halaman sampai seluruh
penjuru ruang. Semua orang yang datang akan kelihatan dengan jelas seluruh
bagian tubuhnya, dari ubun-ubun sampai alas kakinya. Dari sepatu made in
Itali, sampai sandal bandol buatan Banaran, dari rambut asli, rambut
palsu (wig) atau rambut pe es er (pakai semir rambut) akan nampak
jelas perbedaannya. Kakang-mbekayu, maupun ramane tahu benar akan
itu. Karenanya waktu emboke minta masuk mau beli kembang gula,
dilarang oleh plunane, katanya di sana tidak jual kembang gula
adanya permen. Padahal plunane tahu benar kembang gula sama saja
dengan permen. Tetapi karena mereka malu dan takut bercampur dengan bingung.
Malu ketahuan sebagai orang desa, takut harganya mahal, dan bingung bagaimana
naik escalator atau lift.
Seperti halnya di depan atau di
dekat pasaraya Rita Kebondalem, maupun di tempat lain yang banyak dikunjungi
orang, di sana akan berkumpul para pedagang sektor informal. Penjual lukisan,
bunga dan kaktus, buah, tukang becak, dan bahkan peminta-minta. Kata pepatah,
“ada gula ada semut”. Apakah mereka diperbolehkan mangkal di depan Mal Rita
Alun-alun, di tempat yang lebarnya 24 meter itu, mudah-mudahan Satpam Mal Rita
tidak mengusir mereka. Andaikan saja di sana tersedia juga tempat para pedagang
kaki lima dapat mencari nafkah, seperti Malioboro di Yogyakarta okh ………. betapa
bahagianya mereka. Begitu baiknya Pak Buntoro yang terkenal berjiwa sosial itu.
Pada suatu sore
di bulan Ramadhan, di masjid agung sana terdengar kumandang ayat-ayat
suci Al Qur’an, dan di alun-alun banyak orang duduk menanti kumandang adzan
magrib tiba. Namun di restoran hotel di atas mal Rita terlihat para bule
mancanegara yang berstatus wisatawan dengan lahapnya menyantap makanan kesukaan
mereka, sambil melihat banyak orang, bersama-sama menunggu berbuka seadanya di
masjid. Pada malam hari menjelang idul fitri, dari masjid terdengar takbir
diiringi bedug ditabuh bertalu-talu, sedang di diskotik hotel terlihat para remaja
berdiko di bawah cahaya lampu yang remang-remang, dengan iringan musik disko
yang hingar-bingar.
Kiranya bukan
saja kakang-mbekayu, atau ramane dan biyunge yang
tercengang berdecak kagum bila mereka berada di sebelah selatan alun-alun.
Bahkan mungkin Pak Kuntoro, yang mantan menteri atau Pak Eko Budihardjo, yang
Rektor UNDIP atau para putra-putra asal Purwokerto lainnya juga akan berdecak,
dan akan bertanya-tanya, saya di mana, apa benar itu alun-alun Purwokerto, mana
Pendopo Si Panji yang dibanggakan masyarakat Purwokerto. Dengan adanya tugu di
depan Pendopo Si Panji, dan gedung DPRD di sebelahnya saja keagungan Pendopo Si
Panji sudah berkurang, apa lagi adanya Mal Rita yang tingginya 10 lantai di
atas tanah jelas keagungan Pendopo Si Panji akan hilang. Alun-alun bukan lagi
milik atau bagian dari Pendopo Kabupaten, tetapi menjadi milik atau bagian dari
mal Rita. Mana catur gatra sebagai ciri khas alun-alun di Jawa.
Putra-putra Purwokerto di luar daerah tidak tahu bahwa mereka sudah tidak bisa
bernostalgia nonton filem India bersama para tukang becak di gedung bioskop
Garuda yang rada-rada berbau pesing dan kursinya yang berkutu
busuk itu.
Suatu pe-er (pekerjaan rumah) bagi
Pemerintah Kabupaten Banyumas khususnya atau masyarakat Kabupaten Banyumas pada
umumnya, ialah bagaimana mengumpulkan uang untuk biaya pelebaran jalan Pereng
(sekarang Slamet Riyadi). Dengan adanya mal Rita itu, kesibukan jalan tersebut
semakin meningkat. Keadaan tersebut akan semakin terasa bila di alun-alun
dilaksanakan upacara. Arus lalu-lintas jalan Jend. Soedirman dialihkan ke jalan
Pereng. Bukan mustahil bila kemacetan lalu-lintas atau bahkan kecelakaan
lalu-lintas akan sering terjadi di sana.
Keadaan sebagaimana terurai di atas
bukannya tidak mungkin terjadi, tetapi pasti akan terjadi bila Mal Rita
alun-alun jadi dibangun, karena pembangunan tersebut hanya berorientasikan
sesaat, saat sekarang, demi uang bukan demi masa depan. Pembangunan berdasar feeling
pengusaha, bukan berdasar suatu hasil studi. Aspek sosial-budaya belum tersentuh
sama sekali. Apakah hal ini mencerminkan bahwa kewibawaan Bupati atau
Pemerintah di daerah telah hilang kekuasaannya, dan diganti dengan kekuasaan
pemilik uang. Mudah-mudahan tidak.
Unsur dasar perencanaan fasilitas kota
Bangunan sebesar
Mal Rita merupakan fasilitas pelayanan masyarakat berbasiskan ekonomi. Secara
sistemik mal Rita merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kota Purwokerto
secara utuh. Banyak faktor yang mendasari perencanaan pembangunan suatu
fasilitas pelayanan setingkat mal Rita. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Kesesuaian penggunaan lahan, yang mengacu pada RUTRK
(Rencana Umum Tata Ruang Kota) kota Purwokerto. Dalam hal ini kiranya lokasi
mal Rita telah sesuai, yakni dibangun pada area bisnis atau perdagangan
(sebelah selatan jalan Jend. Soedirman).
2.
Site atau situasi lingkungan tempat mal Rita
dibangun. Dalam hal ini lingkungannya merupakan lingkungan alun-alun sebagai land
mark kota Purwokerto. Alun-alun secara tradisional merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kabupaten (tempat tinggal Bupati) dan masjid di sebelah
baratnya. Kabupaten dengan orientasi membelakangi gunung/pegunungan, dan
menghadap ke arah laut. Pasar (pusat perdagangan) berada tidak jauh dari
alun-alun. Dengan demikian mal Rita (sebagai fasilitas perdagangan) akan
memperkuat konsep alun-alun secara tradisional Jawa.
3. Land use atau guna lahan, yang dalam hal ini
adalah penataan dan penentuan bagian area yang tersedia untuk berbagai
penggunaan sesuai dengan kebutuhan baik utama, penunjang maupun pelayanan.
Diyakini bahwa hal tersebut telah terencanakan dengan baik di komplek mal Rita.
4. Sirkulasi dan parkir. Masalah parkir pada mal Rita
telah terencanakan pada basement. Namun sirkulasi kendaraan yang sangat
berpengaruh terhadap jalan Slamet Riyadi belum sepenuhnya perpecahkan.
5. Pedestrian, yaitu jalan setapak khusus bagi para
pejalan kaki. Dengan penyediaan jalur pedestrian, yang dilengkapi dengan
berbagai fasilitasnya pada komplek mal Rita maka terlihat bahwa mal Rita lebih
manusiawi. Apakah hal ini telah terencanakan, hal tersebut perlu dikaji
kembali.
6. Jalur hijau (green belt), yang bagi mal Rita
tepatnya adalah penataan taman dengan berbagai jenis tanaman berfungsi sebagai
sumber produk gas oksigen (O2) yang sangat dibutuhkan manusia.
7. Bentuk dan wajah bangunan, termasuk di dalamnya
ketinggian bangunan. Dalam hal ini adalah kesesuaiannya antara: fungsi
bangunan, hubungan atau keterkaitannya dengan bangunan di sekitar, kondisi
alam, kondisi sosial-budaya, dan lain-lain. Kiranya terhadap bangunan mal Rita
masih jauh dari yang diharapkan.
8. Sign, yang di dalamnya menyangkut masalah papan
iklan dan/atau informasi, dan lampu. Hal ini sangat penting karena pemasangan
atau penataan lampu diharapkan tidak menggangu, tetapi dapat efektif dan
menambah keindahan bangunan dan lingkungan.
Di samping hal-hal tersebut,
sebagai disarankan oleh Pak Rubi (Rektor UNSOED) perlu adanya amdal adalah
suatu hal yang mutlak. Sesuai ketentuan peraturan perudang-undangan, bangunan
hotel, restoran diwajibkan adanya amdal sebelum pembangunan dilaksanakan.
Memang perencanaan mahal, namun lebih mahal lagi pembangunan tanpa perencanaan.
Taman Perbelanjaan Rita
Dari hal-hal sebagaimana terurai di
atas maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan baik sebelum maupun
sesudahnya, kiranya perlu dikaji kemungkinan area/lahan yang direncanakan
sebagai lokasi mal Rita difungsikan sebagai lokasi Taman Perbelanjaan Rita,
dengan didahului suatu studi yang dapat dipercaya, dan perencanaan yang
didasarkan pada faktor-faktor dasar perencanaan.
Sesuai jiwa sosial dan dedikasi Pak
Buntoro yang tidak perlu diragukan terhadap daerah Banyumas sebagai tanah
kelahirannya, anggaran untuk pembangunan mal Rita dapat
diinvestasikan/dialihkan ke kota-kota ibukota kecamatan di Kabupaten Banyumas,
dengan membangun mini market Rita. Hal tersebut akan sangat menunjang
pembangunan daerah, khususnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, yang
pada prinsipnya adalah pemberdayaan masyarakat, termasuk masyarakat perdesaan
di luar kota kabupaten.
Purwokerto, April 2001
Sunardi
Dekan/Dosen Arsitektur Fakultas Teknik UNWIKU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar