Minggu, 19 Mei 2013

MAL RITA .... OH .... SUPER MAL RITA


Radar Banyumas: Selasa Kliwon, 24 April 2001

Pembangunan berorientasikan orang kaya

Andaikan Mal Rita benar-benar dibangun di sebelah selatan alun-alun Purwokerto dengan dua belas alias selusin lantai tertumpuk menjadi satu bangunan, akh … betapa megahnya. Suatu monumen milik dan karya putra daerah telah berdiri. Masyarakat Banyumas pasti berbangga hati.
Dalam rangka otonomi daerah adanya Mal Rita dengan hotelnya merupakan sumbangan tidak hanya kepada Pemerintah Kabupaten melalui pajak dan atau retribusinya, tetapi juga bagi masyarakat akan terbuka lapangan kerja baru. Wajib kita syukuri. Dengan adanya Mal Rita yang menyerap 2000 orang tenaga kerja, maka yang bahagia adalah para remaja kelurahan Pabuwaran (tempat istana Pak Buntoro berada yang lengkap dengan kolam renang, kandang kuda, dan ternak sapinya), dan remaja kelurahan Kranji (tempat mal Rita berada), karena mereka terserap menjadi karyawan mal Rita dengan gaji yang cukup untuk hidup secara layak sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Bukan hanya ramane dan emboke, tetapi juga pamane, uwane, kakange, dan mbekayune akan berdecak kagum, bukan main. Mereka tidak bisa membayangkan betapa tingginya, sebab rumah tikelan milik pak Lurah di desanya saja sudah tinggi. Dan mereka akan bertanya-tanya kira-kira tingginya berapa kali tinggi pucang yang biasa mereka pergunakan untuk plorodan dalam rangka perayaan tujuh belasan. Dari desa Darmakradenan mereka akan menumpang truk pengangkut gamping, sedang dari desa Pasir mereka naik dokar, datang untuk melihat bangunan tinggiiiii sekali, milik putra asli Banyumas yang peduli dan cinta pada daerah Banyumas daerah kelahirannya. Tapi apakah mereka benar-benar akan dapat melihat bahwa di atap sana ada penangkal petirnya, dan di ujung penangkal petir tersebut terdapat lampu merah yang berkedip-kedip? Tidak terpikirkan oleh mereka bahwa kedip-kedip lampu yang tinggi itu hanya dapat dilihat dari halaman Kabupaten, dan apakah Bapak Hansip Kabupaten mengijinkan mereka? Akh ……. kasihan mereka orang desa. Purwokerto juga milik mereka, kota kebanggaan mereka.
Seperti pada mal lainnya, akan terpasang lampu terang benderang dari halaman sampai seluruh penjuru ruang. Semua orang yang datang akan kelihatan dengan jelas seluruh bagian tubuhnya, dari ubun-ubun sampai alas kakinya. Dari sepatu made in Itali, sampai sandal bandol buatan Banaran, dari rambut asli, rambut palsu (wig) atau rambut pe es er (pakai semir rambut) akan nampak jelas perbedaannya. Kakang-mbekayu, maupun ramane tahu benar akan itu. Karenanya waktu emboke minta masuk mau beli kembang gula, dilarang oleh plunane, katanya di sana tidak jual kembang gula adanya permen. Padahal plunane tahu benar kembang gula sama saja dengan permen. Tetapi karena mereka malu dan takut bercampur dengan bingung. Malu ketahuan sebagai orang desa, takut harganya mahal, dan bingung bagaimana naik escalator atau lift.
Seperti halnya di depan atau di dekat pasaraya Rita Kebondalem, maupun di tempat lain yang banyak dikunjungi orang, di sana akan berkumpul para pedagang sektor informal. Penjual lukisan, bunga dan kaktus, buah, tukang becak, dan bahkan peminta-minta. Kata pepatah, “ada gula ada semut”. Apakah mereka diperbolehkan mangkal di depan Mal Rita Alun-alun, di tempat yang lebarnya 24 meter itu, mudah-mudahan Satpam Mal Rita tidak mengusir mereka. Andaikan saja di sana tersedia juga tempat para pedagang kaki lima dapat mencari nafkah, seperti Malioboro di Yogyakarta okh ………. betapa bahagianya mereka. Begitu baiknya Pak Buntoro yang terkenal berjiwa sosial itu.
Pada suatu sore di bulan Ramadhan, di masjid agung sana terdengar kumandang ayat-ayat suci Al Qur’an, dan di alun-alun banyak orang duduk menanti kumandang adzan magrib tiba. Namun di restoran hotel di atas mal Rita terlihat para bule mancanegara yang berstatus wisatawan dengan lahapnya menyantap makanan kesukaan mereka, sambil melihat banyak orang, bersama-sama menunggu berbuka seadanya di masjid. Pada malam hari menjelang idul fitri, dari masjid terdengar takbir diiringi bedug ditabuh bertalu-talu, sedang di diskotik hotel terlihat para remaja berdiko di bawah cahaya lampu yang remang-remang, dengan iringan musik disko yang hingar-bingar.
Kiranya bukan saja kakang-mbekayu, atau ramane dan biyunge yang tercengang berdecak kagum bila mereka berada di sebelah selatan alun-alun. Bahkan mungkin Pak Kuntoro, yang mantan menteri atau Pak Eko Budihardjo, yang Rektor UNDIP atau para putra-putra asal Purwokerto lainnya juga akan berdecak, dan akan bertanya-tanya, saya di mana, apa benar itu alun-alun Purwokerto, mana Pendopo Si Panji yang dibanggakan masyarakat Purwokerto. Dengan adanya tugu di depan Pendopo Si Panji, dan gedung DPRD di sebelahnya saja keagungan Pendopo Si Panji sudah berkurang, apa lagi adanya Mal Rita yang tingginya 10 lantai di atas tanah jelas keagungan Pendopo Si Panji akan hilang. Alun-alun bukan lagi milik atau bagian dari Pendopo Kabupaten, tetapi menjadi milik atau bagian dari mal Rita. Mana catur gatra sebagai ciri khas alun-alun di Jawa. Putra-putra Purwokerto di luar daerah tidak tahu bahwa mereka sudah tidak bisa bernostalgia nonton filem India bersama para tukang becak di gedung bioskop Garuda yang rada-rada berbau pesing dan kursinya yang berkutu busuk itu.
Suatu pe-er (pekerjaan rumah) bagi Pemerintah Kabupaten Banyumas khususnya atau masyarakat Kabupaten Banyumas pada umumnya, ialah bagaimana mengumpulkan uang untuk biaya pelebaran jalan Pereng (sekarang Slamet Riyadi). Dengan adanya mal Rita itu, kesibukan jalan tersebut semakin meningkat. Keadaan tersebut akan semakin terasa bila di alun-alun dilaksanakan upacara. Arus lalu-lintas jalan Jend. Soedirman dialihkan ke jalan Pereng. Bukan mustahil bila kemacetan lalu-lintas atau bahkan kecelakaan lalu-lintas akan sering terjadi di sana.
Keadaan sebagaimana terurai di atas bukannya tidak mungkin terjadi, tetapi pasti akan terjadi bila Mal Rita alun-alun jadi dibangun, karena pembangunan tersebut hanya berorientasikan sesaat, saat sekarang, demi uang bukan demi masa depan. Pembangunan berdasar feeling pengusaha, bukan berdasar suatu hasil studi. Aspek sosial-budaya belum tersentuh sama sekali. Apakah hal ini mencerminkan bahwa kewibawaan Bupati atau Pemerintah di daerah telah hilang kekuasaannya, dan diganti dengan kekuasaan pemilik uang. Mudah-mudahan tidak.

Unsur dasar perencanaan fasilitas kota

Bangunan sebesar Mal Rita merupakan fasilitas pelayanan masyarakat berbasiskan ekonomi. Secara sistemik mal Rita merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kota Purwokerto secara utuh. Banyak faktor yang mendasari perencanaan pembangunan suatu fasilitas pelayanan setingkat mal Rita. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1.  Kesesuaian penggunaan lahan, yang mengacu pada RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) kota Purwokerto. Dalam hal ini kiranya lokasi mal Rita telah sesuai, yakni dibangun pada area bisnis atau perdagangan (sebelah selatan jalan Jend. Soedirman).
2.   Site atau situasi lingkungan tempat mal Rita dibangun. Dalam hal ini lingkungannya merupakan lingkungan alun-alun sebagai land mark kota Purwokerto. Alun-alun secara tradisional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kabupaten (tempat tinggal Bupati) dan masjid di sebelah baratnya. Kabupaten dengan orientasi membelakangi gunung/pegunungan, dan menghadap ke arah laut. Pasar (pusat perdagangan) berada tidak jauh dari alun-alun. Dengan demikian mal Rita (sebagai fasilitas perdagangan) akan memperkuat konsep alun-alun secara tradisional Jawa.
3.  Land use atau guna lahan, yang dalam hal ini adalah penataan dan penentuan bagian area yang tersedia untuk berbagai penggunaan sesuai dengan kebutuhan baik utama, penunjang maupun pelayanan. Diyakini bahwa hal tersebut telah terencanakan dengan baik di komplek mal Rita.
4.  Sirkulasi dan parkir. Masalah parkir pada mal Rita telah terencanakan pada basement. Namun sirkulasi kendaraan yang sangat berpengaruh terhadap jalan Slamet Riyadi belum sepenuhnya perpecahkan.
5.  Pedestrian, yaitu jalan setapak khusus bagi para pejalan kaki. Dengan penyediaan jalur pedestrian, yang dilengkapi dengan berbagai fasilitasnya pada komplek mal Rita maka terlihat bahwa mal Rita lebih manusiawi. Apakah hal ini telah terencanakan, hal tersebut perlu dikaji kembali.
6.  Jalur hijau (green belt), yang bagi mal Rita tepatnya adalah penataan taman dengan berbagai jenis tanaman berfungsi sebagai sumber produk gas oksigen (O2) yang sangat dibutuhkan manusia.
7.  Bentuk dan wajah bangunan, termasuk di dalamnya ketinggian bangunan. Dalam hal ini adalah kesesuaiannya antara: fungsi bangunan, hubungan atau keterkaitannya dengan bangunan di sekitar, kondisi alam, kondisi sosial-budaya, dan lain-lain. Kiranya terhadap bangunan mal Rita masih jauh dari yang diharapkan.
8.   Sign, yang di dalamnya menyangkut masalah papan iklan dan/atau informasi, dan lampu. Hal ini sangat penting karena pemasangan atau penataan lampu diharapkan tidak menggangu, tetapi dapat efektif dan menambah keindahan bangunan dan lingkungan.
Di samping hal-hal tersebut, sebagai disarankan oleh Pak Rubi (Rektor UNSOED) perlu adanya amdal adalah suatu hal yang mutlak. Sesuai ketentuan peraturan perudang-undangan, bangunan hotel, restoran diwajibkan adanya amdal sebelum pembangunan dilaksanakan. Memang perencanaan mahal, namun lebih mahal lagi pembangunan tanpa perencanaan.

Taman Perbelanjaan Rita
Dari hal-hal sebagaimana terurai di atas maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan baik sebelum maupun sesudahnya, kiranya perlu dikaji kemungkinan area/lahan yang direncanakan sebagai lokasi mal Rita difungsikan sebagai lokasi Taman Perbelanjaan Rita, dengan didahului suatu studi yang dapat dipercaya, dan perencanaan yang didasarkan pada faktor-faktor dasar perencanaan.
Sesuai jiwa sosial dan dedikasi Pak Buntoro yang tidak perlu diragukan terhadap daerah Banyumas sebagai tanah kelahirannya, anggaran untuk pembangunan mal Rita dapat diinvestasikan/dialihkan ke kota-kota ibukota kecamatan di Kabupaten Banyumas, dengan membangun mini market Rita. Hal tersebut akan sangat menunjang pembangunan daerah, khususnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, yang pada prinsipnya adalah pemberdayaan masyarakat, termasuk masyarakat perdesaan di luar kota kabupaten.

Purwokerto,     April 2001

Sunardi
Dekan/Dosen Arsitektur Fakultas Teknik UNWIKU


Tidak ada komentar:

Posting Komentar