Selasa, 14 Mei 2013

KONTROVERSI HARI JADI KAB. BANYUMAS (8)


CATATAN ANWAR HAJA (5)


E.  Ekspedisi Pendudukan Wirasaba



Dua tahun setelah Kadipaten Mataram berdiri (1576 M), Raja Pajang Hadiwijoyo mengirimkan pasukannya untuk menduduki Wirasaba. Tujuannya adalah menurunkan Adipati Wargahutama I yang pro Mataram untuk diganti dengan adipati baru yang bersedia tunduk ke Pajang. Ekspedisi itu sendiri bukan untuk membunuh Wargahutama I. Tetapi sekedar melengserkannya secara paksa. Namun bisa saja dalam setiap operasi terjadi kesalahan target. Dan dalam peristiwa pendudukan Wirasaba itu telah mengakibatkan tewasnya Sang Adipati yang bernasib malang itu.

Seorang penulis anonim dalam Wikipedia menceritakan perisitiwa setelah wafatnya Adipati Wirasaba Wargahutama I. Dikisahkan bahwa Raja Pajang mengundang keturunan Sang Adipati almarhum untuk menghadap ke Pajang. Ternyata putra-putranya dan putra menantunya yang lain tidak ada yang bersedia karena takut dibunuh. Akhirnya R.Jaka Kahiman menyanggupi untuk menghadap Raja Pajang, dengan catatan, apabila terjadi apa-apa atas dirinya, akan ditanggung sendiri. Tapi bila mendapat anugerah dari Raja Pajang, para putra dan putri Sang Adipati yang lain tidak boleh iri hati.

Informasi dari penulis anonim ini, tentunya bersumber dari salah satu kitab Babad Banyumas, yang menyatakan bahwa putra-putra Adipati Wirasaba VI yang telah wafat, tidak berani menghadap Raja Pajang, karena takut dibunuh,sebenarnya memperkuat analisa De Gaaf. Ketakutan putra-putra Adipati Wirasaba VI itu, menunjukkan memang sebelumnya terdapat konflik antara Pajang dan Wirasaba yang mendorong Raja Pajang menggunakan kekuatan militer untuk mengakhiri konflik.Dan akar konflik dengan mudah dapat diduga,bersumber dari masalah politik, bukan masalah wanita. Sebab bila akar konflik hanya soal kesalahpahaman gadis pelara-lara, buat apa putra-putra Wirasaba VI takut menghadap Raja Pajang?. Bukankah bila benar akar konflik adalah soal gadis pelara-lara yang diduga tidak perawan lagi,ternyata dugaan itu meleset karena gadis pelara-lara ternyata masih perawan, sudah seharusnya Raja Pajanglah  yang harus menyesali perbuatannya. Sebab Raja Pajang telah ceroboh dengan menyuruh membunuh ayah gadis pelara-lara yang dengan ikhlas dan sukarela, jauh-jauh lagi,telah mempersembahkan anak gadisnya kepada Sang Raja.

Namun demikian informasi dalam salah satu kitab Babad Banyumas yang mengabarkan bahwa Sang Adipati Wirasaba VI terbunuh di desa Bener, Lowano, agaknya sesuai dengan fakta sejarah.Hanya saja,bila kita menggunakan kerangka analisa De Graaf, tentu keberadaan Adipati Wirasaba di desa Bener itu, bukan baru pulang dari Pajang. Tetapi tengah dalam perjalanan berangkat menuju Mataram untuk meminta perlindungan Mataram. Tapi saat itu Mataram yang masih berusia muda, tak mungkin berani secara terbuka melawan Pajang.Memang pada akhirnya Adipati Wirasaba berada pada posisi yang sulit, sebagai akibat dari risiko pilihan politik yang telah diambilnya.

Setelah menghadap Raja Pajang, akhirnya R. Jaka Kahiman diwisuda sebagai Adipati Wirasaba VII dan mengambil gelar Adipati Wargahutama II. Menurut analisa De Graaf, peristiwa ini terjadi pada tahun 1578 M. Yakni bertepatan dengan tahun wafatnya Adipati Wargahutama I. Kita tidak punya informasi yang cukup apakah setelah diwisuda sebagai Adipati Wirasaba Wargahutama II, R.Joko Kahiman tetap tinggal di Kejawar Banyumas atau tinggal di pusat pemerintahan yakni di Wirasaba?. Besar kemungkinan R. Jaka Kahiman meninggalkan Wilayah Kejawar Banyumas yang menurut tradisi Makam Bupati Mrapat diduduki sejak tahun 1571 M itu dan menetap di Wirasaba.Kemungkinan lain, mengingat jarak yang tidak terlalu jauh Kejawar Banyumas dengan Wirasaba, R. Jaka Kahiman tetap menetap di Kejawar Banyumas. Dan ini berarti R. Jaka Kahiman melakukan rangkap jabatan.Tentu saja ini hanya spekulasi dan dalam rangka menetapkan Hari Jadi Kabupaten Banyumas dengan menggunakan kerangka analisa De Graaf, memang tidak terlalu penting.

Yang penting dari kerangka analisa De Graaf ini ialah  dengan menetapkan tahun 1578 M, sebagai tahun diangkatnya R. Jaka Kahiman sebagai Adipati Wargahutama II, berarti telah dilakukan koreksi mundur selama 4 tahun dari anggapan umum, bahwa R. Jaka Kahiman diangkat sebagai Adipati Wirasaba Wargahutama II terjadi pada tahun 1582 M. Memang penetapan tahun 1582 M, sebagai tahun R. Jaka Kahiman di wisuda Sultan Pajang, menjadi Adipati Wirasaba VII atau Wargahutama II, kemudian pemecahan Wilayah Kadipaten Wirasaba jadi empat wilayah dan wisuda lagi sebagai Bupati Banyumas yang sudah otonom lepas dari Kadipaten Wirasaba, terasa tumpang tindih. Tambah lagi, masa pemerintahan R. Jaka Kahiman yang singkat yakni hanya satu tahun dan paling lama 21 bulan (6 April 1582- maksimal Desember 1583 M), terasa mengganggu logika orang yang awam sekalipun. Apa yang bisa diperbuat oleh R. Jaka Kahiman sebagai Bupati Banyumas yang otonom, jika masa pemerintahannya begitu pendek?.

Lain halnya jika kerangka analisa De Graaf yang menetapkan tahun 1578 M, sebagai tahun diwisudanya R. Jaka Kahiman sebabagai Adipati Wirasaba VII atau Wargahutama II, suatu tahun yang bersamaan dengan wafatnya Sang Adipati mertua R. Jaka Kahiman. Nampak ada sekitar empat tahun waktu masa jabatan yang dijalani R. Jaka Kahiman sebagai Adipati Wirasaba Wargahutama II. Suatu masa jabatan yang cukup untuk memikirkan kemungkinan membagi wilayah Kadipaten Wirasaba menjadi empat wilayah,sekaligus juga memberi waktu yang cukup untuk mengembangkan Wilayah Kejawar Banyumas guna menyongsong rencana pemekaran atau pemecahan Wilayah Kadipaten Wirasaba.

Tentu bukan hal yang mudah bagi R. Jaka Kahiman melewati masa-masa sulit empat tahun masa pemerintahannya sebagai Adipati Wirasaba Wargahutama II (1578 - 1582 M). Pertama dia harus menjaga kepercayaan Raja Pajang kepadanya.Kedua, dia harus menjaga agar Mataram tidak melakukan gangguan kepadanya. Ketiga dia juga harus mencegah agar ahli waris Adipati Wirasaba VI yang lainnya, tidak dihasut oleh Mataram untuk melawan dirinya. Memang akhirnya R. Jaka Kahiman sampai pada pilihan untuk berbagi kekuasaan dengan seluruh ahli waris Adipati Wirasaba Wargahutama I . Tentu ini sebuah pilihan strategis yang mampu melihat jauh kedepan. Agaknya cukup beralasan jika R. Jaka Kahiman berpikir, apabila dia tak mau berbagi kekuasaan dengan ahli waris Wirasaba yang lain, sementara dia sendiri hanyalah putra menantu, tentunya amat berisiko terhadap dirinya maupun keturunannya, bila kelak ternyata Mataram tumbuh jadi Kerajaan besar yang mampu menaklukkan Pajang. Pastilah posisi dirinya dan anak keturunannya akan terancam. 



F.  R. Jaka Kahiman Dilantik Sebagai Bupati Banyumas



Akhirnya memang Raja Pajang menyetujui pembagian wilayah Kadipaten Wirasaba. Dan agaknya memang benar pemecahan atau pemekaran Wilayah Wirasaba menjadi empat wilayah yang dikenal dengan mrapat disahkan pada tanggal 6 April 1582 M sekaligus dengan wisuda dan pelantikan R. Joko Kahiman sebagai Bupati Banyumas I yang otonom lepas dari Kadipaten Wirasaba. Tentunya ikut dilantik juga penguasa kadipaten atau kabupaten yang lain. Agaknya juga benar, bila menggunakan kerangka analisa De Graaf dan adat serta tradisi yang biasa berlaku pada Kerajaan Islam Demak-Pajang dan kelak juga Mataram, bahwa peristiwa itu bertepatan dengan Perayaan Garebeg Maulud 12 Rabiul awal 990 M yang bertepatan dengan tanggal 6 April 1582 M. Harinya yang tepat agaknya bukan Jum'at Kliwon. Tetapi Selasa Kliwon.

Dari sudut struktur pemerintahan, pelantikan R.Jaka Kahiman sebagai Bupati Banyumas pada tahun 1582 M, tidak merubah posisinya dibandingkan dengan pelantikannya sebagai Adipati Wirasaba pada tahun 1578 M. Sebab jabatan Bupati setara dengan jabatan Adipati. Hanya dari segi luas wilayah dan rentang pengendalian wilayah memang menyusut menjadi seperempatnya. Akan tetapi pilihan ini terbukti tepat. Keturunan R. Jaka Kahiman bukan hanya selamat dari kemungkinan dendam Mataram, setelah kelak Mataram menjadi kerajaan yang sukses menggantikan Pajang. Senapati dan raja-raja Mataram berikutnya mempercayakan pengelolaan wilayah Lembah Serayu yang subur itu kepada anak dan cucu R. Jaka Kahiman. R. Jaka Kahiman sendiri tidak sempat menyaksikan runtuhnya Kerajaan Islam Pajang dan bangkitnya Kerajaan Islam Mataram. Karena pendiri Kabupaten Banyumas itu wafat pada tahun 1583 M. Yakni tahun saat 1000 tentara Kerajaan Islam Demak berhadap-hadapan dengan Senopati di Randu Lawang dengan jumlah pasukan yang jauh lebih sedikit.Tahun 1583 M itu, Sultan Pajang Hadiwijoyo mengirimkan ekspedisi militer untuk menaklukan Mataram.Tetapi penaklukan itu mengalami kegagalan. Padahal dua tahun sebelumnya Hadiwijoyo baru saja diwisuda sebagai Sultan Kerajaan Islam Pajang (1581 M).

Karena itu Perayaan Garebeg Maulud 12 Rabiul Awal 1582 M, setahun sebelum penyerbuan ke Mataram yang gagal itu, bagi Hadiwijoyo  merupakaan saat yang paling istimewa dan membahagiakan dirinya. Karena saat itu adalah saat Hadiwijoyo untuk pertama kalinya tampil dalam acara Garebeg Maulud dengan menyandang gelar Sultan Pajang. Itulah saat pertama kali Hadiwijoyo melantik para adipati atau bupatinya dengan menyandang gelar Sultan.Memang gelar Sultan baru berhasil diperoleh Hadiwijaya setelah hampir 13 tahun menjadi Raja Kerajaan Islam Pajang. Dengan demikian tanggal 6 April 1582 M yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal 990 H, memang adalah hari yang amat istimewa dan penuh dengan momen-momen peristiwa sejarah yang penting.

Pada tahun 1581 M Raja Pajang Hadiwijoyo memperoleh gelar sultan dari Sunan Giri Prapen (1548-1605) yang melantiknya sebagai Sultan Kerajaan Islam Pajang di Kedaton-Pesantren Giri. Pelantikan itu dihadiri oleh hampir seluruh adipati di Jawa Timur. Dengan gelar sultan di tangannya, berarti Hadiwijoyo telah mendapat dukungan yang sah dan kuat. Bukan hanya dari para adipati, tetapi juga dari tokoh dan pemuka agama yang amat disegani, yakni Sunan Giri Prapen. Bagi Sultan Pajang Hadiwijoyo, penganugerahan gelar sultan itu memiliki nilai politis yang istimewa dalam rangka memenangkan rivalitas dan konflik dengan Mataram. Memang kampanye Hadiwijoyo membendung ambisi Mataram di wilayah sebelah timur relatif lebih berhasil dari pada di wilayah sebelah barat Mataram khususnya dilembah Sungai Progo, Bogowonto dan Lembah Serayu. Di wilayah ini pengaruh Mataram memang cukup kuat sebagai akibat dari adanya jaringan kekerabatan para turunan kentot Pengging. Sukses kampanye Sultan Pajang di wilayah Jawa Timur dan wilayah lainnya yang dekat dengan perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur antara lain juga disebabkan strateginya menempatkan sejumlah kerabatnya sebagai penguasa daerah. Pangeran Timur, iparnya dan putra bungsu Trenggono, diangkat sebagai Bupati Madiun. Ario Pangiri, kemenakan sekaligus menantu, ditetapkan sebagai Adipati Demak. Demikian pula Jipang dan Blora, berada di bawah kendali kerabat dekat Sultan.

Sebenarnya pada Perayaan Garebeg Maulud 6 April 1582 M itu, Sultan Hadiwijoyo berharap penguasa Mataram mau hadir sebagai suatu bukti bahwa Mataram mengakui kedaulatan Pajang. Tapi harapan itu ternyata sia-sia. Alih-alih Mataram mau hadir.Mataram bahkan mulai membangun tembok keliling yang membentengi dan melindungi Kadipaten Mataram, seakan-akan Mataram memang tengah bersiap-siap menghadapi kemungkinan ekspedisi militer Pajang. Dugaan Mataram ternyata benar. Tahun 1583 M, Pajang mengirimkan lebih kurang 1000 pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Banowo,putra Sultan Hadiwijoyo. Ternyata Senopati tidak bergeming. Senopati menyongsong pasukan Pajang itu di daerah sebelah timur Mataram yang bernama Randu Lawang. Babad Tanah Jawi melukiskan,kedua pasukan yang sudah siap tempur itu, urung bertempur,karena kecerdikan diplomasi Senopati. De Graaf menyebutkan akibat kekalahan yang memalukan itu, Sultan Pajang yang sudah semakin sepuh sangat terpukul. Apalagi, sebelum mengirimkan ekspedisi ke Mataram, Sultan Pajang menyempatkan berziarah terlebih dahulu ke makam toko seorang wali penyebar agama Islam terkenal,yakni makam Tembayat yang memang tak jauh dari Pajang. Sultan Pajang akhirnya wafat pada tahun 1586 M. Dengan cepat Senopati memanfaatkan momentum tersebut. Kraton Pajang diduduki.Dan simbol-simbol kerajaan Islam diboyong ke Mataram.Konflik Pajang Mataram pun berakhir. Mataram tampil sebagai Kerajaan Islam baru yang paling perkasa pada jamannya. Di tengah-tengah panggung sejarah pusaran konflik Pajang-Mataram itulah, sesungguhnya Kabupaten Banyumas dilahirkan.Setidak-tidaknya begitulan jika kita meminjam kerangka analisa dari De Graaf dan Pigaud,dua sarjana Belanda yang memiliki reputasi Internasional dalam bidang sejarah, khususnya Sejarah Jawa.



G. Kesimpulan



Dengan meminjam kerangka analisa De Graaf, sebenarnya telah dibuktikan bahwa penetapan tanggal 12 Rabul Awal 990 H yang bertepatan dengan 6 April 1582 M, sebagai Hari Jadi Kabupaten Banyumas, justru tidak bertentangan dengan fakta sejarah yang ada. Bahkan informasi tradisi Makam Bupati Mrapat yang menyatakan R. Jaka Kahiman memerintah pada tahun 1571-1582  M, jika ditafsirkan dengan menggunakan kerangka analisa De Graaf, justru bisa semakin melengkapi kerangka analisa De Graaf. Demikian pula informasi dalam Babad Kalibening, tentang kehadiran R. Jaka Kahiman pada tanggal 27 Ramadhan 978 H yang bertepatan dengan tanggal 4 Maret 1571 M, hari Kamis Wage, bila ditafsirkan menggunakan krangka analisa De Graaf, juga semakin melengkapi dan tidak bertentangan.

Dalam historiografi, dimensi ruang dan waktu amatlah penting. Sebab semua tokoh sejarah, kejadian  dan peristiwa sejarah, pasti berada dan terjadi dalam dimensi ruang dan waktu. Suatu dimensi yang seringkali diabaikan oleh penulis babad dan kronik lokal lainnya. Tugas seorang ahli sejarah memang antara lain adalah menempatkan tokoh, peristiwa dan kejadian sejarah itu dalam dimensi ruang dan waktu yang tepat, yang sejalan dengan fakta sejarah yang sebenarnya.

Dalam kaitan ini, kerangka analisa De Graaf cukup memenuhi standar tersebut. Sehingga kalau kita gabungkan dengan informasi tradisi Makam Bupati Mrapat dan Babad Kalibening,kita akan memperoleh urutan kronologis kejadian sebagai berikut:

a. Pada Tahun 1571 M, R. Jaka Kahiman, sudah megang jabatan sebagai penguasa wilayah Kejawar Banyumas, memerintah atas nama mertuanya Adipati Wirasaba. Daerah Kejawar Banyumas belum dimekarkan jadi daerah otonom yang berdiri sendiri lepas dari Wirasaba. Bisa jadi cikal bakal kota Banyumas sudah dibangun pada tahun ini oleh R. Jaka Kahiman. Tetapi sudah jelas bahwa Kabupaten Banyumas belum lahir.

bPada tahun 1578 M, R. Jaka Kahiman, diwisuda oleh Raja Pajang menjadi Adipati Wirasaba VII Wargahutama II, menggantikan Adipati Wirasaba VI Wargahutama I, yang terbunuh akibat pendudukan Wirasaba oleh pasukan Pajang.

c. Pada tahun 1582 M, bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 990 H, yang bertepatan dengan tanggal 6 April,Selasa Kliwon, R. Jaka Kahiman di lantik sebagai Adipati Banyumas.

d. Pada tahun 1583 M, setelah memerintah sebagai Bupati Banyumas lebih kurang satu tahun, Bupati Banyumas I itu wafat.

Dengan demikian informasi dari tradisi Makam Bupati Marapat,bahwa R.Jaka Kahiman berkuasa antara 1571-1582 M, memang sesuai dengan fakta.Hanya masa 1571-1578, belum sebagai Bupati Banyumas yang otonom lepas dari Wirasaba. Periode 1571-1578 M,jika kita pegang kerangka analisa De Graaf, adalah periode R. Jaka Kahiman menjadi penguasa daerah Kejawar Banyumas dengan status semacam wedana atau demang. Bukankah ayah angkatnya juga seorang Demang Kejawar?.

Sebagai bahan banding, dalam buku-buku sejarah smp,sering tertulis jabatan Sultan Pajang Hadiwijoyo adalah pada periode 1546-1586 M. Padahal antara tahun 1545-1568 M, masih menjabat Adipati Pajang. Tahun 1568-1581 M,menjabat sebagai Raja Pajang.Baru pada tahun 1581-1586 M, menjabat sebagai Sultan Pajang. Demikian pula harus kita tafsirkan informasi masa R. Jaka Kahiman memerintah antara tahun 1571-1582 M.

Sebenarnya dengan menggunakan metode tertentu yang biasa dipakai oleh para ahli sejarah dalam historiografi, bisa direkontruksi masa jabatan tokoh-tokoh sejarah seperti yang biasa digunakan Husein Djajadiningrat dan Prof. Schrieke, yang tentu saja tak mungkin diuraikan di sini.Hasil rekontruksi secara kasar masa jabatan Adipati Wirasaba VI adalah sbb:

aMasa Jabatan Adipati Wirasaba VI antara tahun 1553 - 1578 M, jika kita gunakan analisa De Graaf, yakni Sang Adipati wafat pada tahun 1578 M. Usia diperkirakan 48 tahun.Pada sekitar tahun 1568 M, saat Raja Pajang nmemproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Pajang, diperkirakan berusia sekitar 5 windu dalam hitungan kalender Jawa. Usia 5 windu, menurut Ki Hadjar Dewantara, ahli Pendidkian dan Kebudayaan Jawa, adalah awal usia Satrio Pinandito. Yakni usia puncak saat seseorang mencapai awal puncak karier dan mulai berani menentukan pilihan-pilihan politik, agama dan kepercayaan sesuai dengan apa yang diyakininya.

b. Sedangkan Sang menantu R.Jaka Kahiman, ternyata wafat dalam usia yang lebih muda lagi dari Sang Mertua, yakni pada usia 42 tahun, saat puncak karir sebagai Satrio Pinandito, baru dilewati beberapa tahun. Anehnya, usia 5 windu R. Jaka Kahiman hampir bertepatan dengan tahun 1578 M. Jadi cocog dengan pendapat Ki Hadjar Dewantara tentang usia Satrio Pinandito sebagai puncak karir seorang ksatria Jawa. Tahun 1578 M adalah tahun dia mencapai puncak karir, karena tahun itu diangkat jadi Adipati Wirasaba VII, menurut kerangka analisa De Graaf.

Tetapi memang mati muda ketika tengah berada pada puncak karir perjuangannya, sering sekali dialami tokoh-tokoh sejarah yang menyandang nama besar.


H. Penutup.



Demikian catatan saya menanggapi hasil Sarasehan Stupa Mas Sabtu Pahing, 12 April 2013 M. Sama sekali bukan untuk berpolemik atau apalagi menilai maupun menanggapi hasil temuan Prof. Dr. Sugeng Priyadi M. Hum dalam bukunya, "Tinjauan Ulang Hari Jadi Kabupaten Banyumas". Sebab tentu tidak elok menanggapi, palagi menilai jika membaca, bahkan melihat bukunya pun belum. Tulisan ini justru dimaksudkan untuk mendorong agar Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum, lebih gigih memperjuangkan apa yang telah ditemukannya. Karena bisa jadi memang beliau memiliki analisa, tafsir dan kerangka berpikir baru yang perlu untuk menyempurnakan Ketetapan Hari Jadi Kabupaten Banyumas yang sudah ada. Lagi pula etika dalam setiap diskusi dan seminar, sebenarnya tidak ada yang salah. Semua kerangka berpikir adalah benar sesuai dengan asumsi dan anggapan dasar yang dipergunakan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam diskusi, seminar maupun sarasehan.

Apalagi yang saya tulis ini, juga dari hasil meraba-raba dari informasi dalam slide Paparan yang sifatnya terbatas dan amat minim, sehingga kesalahan dalam membuat tafsiran bisa saja terjadi. Lagi pula penulis pun hanya meminjam hasil analisa dan kerangka berpikir yang dikemukakan De Graaf dan Pigeaud. Tentu kesalahan dan ketidak tepatan dalam menafsirkan bisa saja terjadi. 

Harus diakui memang masih banyak yang harus disempurnakan di balik Perda No. 2 Tahun 1990 M Kabupaten Banyumas.  Misalnya hari pasaran yang kurang tepat, tumpang tindih masa jabatan dan kronologis urut-urutan kejadian yang seharusnya memang didasarkan atas fakta sejarah yang sebenarnya. Tentu saja dengan memberi peluang terhadap setiap usaha penyempurnaan. Sebab setiap saat memang bisa ditemukan bukti-buktti fakta sejarah yang baru.

Akhirnya penulis memang bukan seorang sejarawan atau pun ahli sejarah. Barangkali hanya peminat sejarah. Walapun begitu, sempat menjadi guru sejarah hampir lima tahun, sempat diundang menjadi peserta Seminar Sejarah Nasional yang diselenggarakan Masyarakat Sejarahwan Indonesia. Karena pada masa Orde Baru mendapat SK. BP7 Pusat sebagai Penatar P4 Tingkat Daerah Propinsi Jawa Barat di BP7 Daerah Jabar dan berakhir  setelah Orde Baru tumbang, terpaksa sedikit banyak memang mau tidak mau memperkaya dengan buku-buku bacaan sejarah, yang kini sudah banyak tercecer entah kemana saja.

Bagi teman-teman SETUPA MAS, yang ingin mengecek apa-apa yang saya kemukanan dalam tulisan saya itu, bersama ini saya sertakan buku referensi sumber bacaan. Terimakasih atas segala perhatiannya. Salam SETUPA MAS. Semoga Jaya SETUPA MAS, Jaya Banyumas Jaya pula Indonesiaku, di bawah naungan maghfiroh, barokah,rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Nuwun.



Anwar Hardja

Bandung, Taman Rafflesi C-12, Bandung, 6-5-2013 M.



Sumber Bacaan:

1.   De Graaf, Dr-Pigeaud, Dr, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Grafiti Pers, 1985.

2.   ................, Puncak Kekuasaan Mataram, Grafiti Pers, 1985.

3.   ................., Babad Tanah Jawi, Sadu Budi Solo, 1943.

4.   ................. Babad Pajang, Sadu Budi Solo, 1943.

5.   Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina Negara Di Jawa Masa Lampau, Yayasan Obor Indonesia, 1985.

6.   Djajadiningrat, Husein, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Penerbit Djambatan, 1983.

7.   Sunyoto Agus, Atlas Walisongo, Penerbit Mizan, 2012.

8.   M. Koderi, Banyumas Wisata dan Budaya, CV. Metro Jaya, 1991.

9.   Lombar Denys, Nusa Jawa Silang Budaya, jilid 1, 2, 3, Penerbit Gramedia, 1996.

10. Ki Hadjar Deantara, Kebudayaan, Majelis Luhur Tamansiswa, 1980.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar