CATATAN ANWAR HAJA (5)
E. Ekspedisi
Pendudukan Wirasaba
Dua
tahun setelah Kadipaten Mataram berdiri (1576 M), Raja Pajang Hadiwijoyo
mengirimkan pasukannya untuk menduduki Wirasaba. Tujuannya adalah menurunkan
Adipati Wargahutama I yang pro Mataram untuk diganti dengan adipati baru yang
bersedia tunduk ke Pajang. Ekspedisi itu sendiri bukan untuk membunuh
Wargahutama I. Tetapi sekedar melengserkannya secara paksa. Namun bisa
saja dalam setiap operasi terjadi kesalahan target. Dan dalam peristiwa
pendudukan Wirasaba itu telah mengakibatkan tewasnya Sang Adipati
yang bernasib malang itu.
Seorang
penulis anonim dalam Wikipedia menceritakan perisitiwa setelah wafatnya Adipati
Wirasaba Wargahutama I. Dikisahkan bahwa Raja Pajang mengundang keturunan Sang
Adipati almarhum untuk menghadap ke Pajang. Ternyata putra-putranya dan putra
menantunya yang lain tidak ada yang bersedia karena takut dibunuh. Akhirnya
R.Jaka Kahiman menyanggupi untuk menghadap Raja Pajang, dengan catatan, apabila
terjadi apa-apa atas dirinya, akan ditanggung sendiri. Tapi bila mendapat
anugerah dari Raja Pajang, para putra dan putri Sang Adipati yang lain tidak
boleh iri hati.
Informasi
dari penulis anonim ini, tentunya bersumber dari salah satu kitab Babad
Banyumas, yang menyatakan bahwa putra-putra Adipati Wirasaba VI yang telah
wafat, tidak berani menghadap Raja Pajang, karena takut dibunuh,sebenarnya
memperkuat analisa De Gaaf. Ketakutan putra-putra Adipati Wirasaba VI itu,
menunjukkan memang sebelumnya terdapat konflik antara Pajang dan Wirasaba yang
mendorong Raja Pajang menggunakan kekuatan militer untuk mengakhiri konflik.Dan
akar konflik dengan mudah dapat diduga,bersumber dari masalah politik, bukan
masalah wanita. Sebab bila akar konflik hanya soal kesalahpahaman gadis
pelara-lara, buat apa putra-putra Wirasaba VI takut menghadap Raja Pajang?. Bukankah
bila benar akar konflik adalah soal gadis pelara-lara yang diduga tidak perawan
lagi,ternyata dugaan itu meleset karena gadis pelara-lara ternyata masih
perawan, sudah seharusnya Raja Pajanglah yang harus menyesali
perbuatannya. Sebab Raja Pajang telah ceroboh dengan menyuruh membunuh
ayah gadis pelara-lara yang dengan ikhlas dan sukarela, jauh-jauh
lagi,telah mempersembahkan anak gadisnya kepada Sang Raja.
Namun
demikian informasi dalam salah satu kitab Babad Banyumas yang mengabarkan bahwa
Sang Adipati Wirasaba VI terbunuh di desa Bener, Lowano, agaknya sesuai dengan
fakta sejarah.Hanya saja,bila kita menggunakan kerangka analisa De Graaf, tentu
keberadaan Adipati Wirasaba di desa Bener itu, bukan baru pulang dari Pajang.
Tetapi tengah dalam perjalanan berangkat menuju Mataram untuk meminta
perlindungan Mataram. Tapi saat itu Mataram yang masih berusia muda, tak
mungkin berani secara terbuka melawan Pajang.Memang pada akhirnya Adipati
Wirasaba berada pada posisi yang sulit, sebagai akibat dari risiko pilihan
politik yang telah diambilnya.
Setelah
menghadap Raja Pajang, akhirnya R. Jaka Kahiman diwisuda sebagai Adipati
Wirasaba VII dan mengambil gelar Adipati Wargahutama II. Menurut analisa De
Graaf, peristiwa ini terjadi pada tahun 1578 M. Yakni bertepatan dengan tahun
wafatnya Adipati Wargahutama I. Kita tidak punya informasi yang cukup apakah setelah
diwisuda sebagai Adipati Wirasaba Wargahutama II, R.Joko Kahiman tetap tinggal
di Kejawar Banyumas atau tinggal di pusat pemerintahan yakni di Wirasaba?.
Besar kemungkinan R. Jaka Kahiman meninggalkan Wilayah Kejawar Banyumas yang
menurut tradisi Makam Bupati Mrapat diduduki sejak tahun 1571 M itu dan menetap
di Wirasaba.Kemungkinan lain, mengingat jarak yang tidak terlalu jauh Kejawar Banyumas dengan
Wirasaba, R. Jaka Kahiman tetap menetap di Kejawar Banyumas. Dan ini berarti R.
Jaka Kahiman melakukan rangkap jabatan.Tentu saja ini hanya spekulasi dan dalam
rangka menetapkan Hari Jadi Kabupaten Banyumas dengan menggunakan kerangka
analisa De Graaf, memang tidak terlalu penting.
Yang
penting dari kerangka analisa De Graaf ini ialah dengan menetapkan tahun
1578 M, sebagai tahun diangkatnya R. Jaka Kahiman sebagai Adipati Wargahutama
II, berarti telah dilakukan koreksi mundur selama 4 tahun dari anggapan umum,
bahwa R. Jaka Kahiman diangkat sebagai Adipati Wirasaba Wargahutama II terjadi
pada tahun 1582 M. Memang penetapan tahun 1582 M, sebagai tahun R. Jaka Kahiman
di wisuda Sultan Pajang, menjadi Adipati Wirasaba VII atau Wargahutama II, kemudian
pemecahan Wilayah Kadipaten Wirasaba jadi empat wilayah dan wisuda lagi sebagai
Bupati Banyumas yang sudah otonom lepas dari Kadipaten Wirasaba, terasa tumpang
tindih. Tambah lagi, masa pemerintahan R. Jaka Kahiman yang singkat yakni hanya
satu tahun dan paling lama 21 bulan (6 April 1582- maksimal Desember 1583 M),
terasa mengganggu logika orang yang awam sekalipun. Apa yang bisa diperbuat
oleh R. Jaka Kahiman sebagai Bupati Banyumas yang otonom, jika masa
pemerintahannya begitu pendek?.
Lain
halnya jika kerangka analisa De Graaf yang menetapkan tahun 1578 M, sebagai
tahun diwisudanya R. Jaka Kahiman sebabagai Adipati Wirasaba VII atau
Wargahutama II, suatu tahun yang bersamaan dengan wafatnya Sang Adipati mertua
R. Jaka Kahiman. Nampak ada sekitar empat tahun waktu masa jabatan yang
dijalani R. Jaka Kahiman sebagai Adipati Wirasaba Wargahutama II. Suatu masa jabatan
yang cukup untuk memikirkan kemungkinan membagi wilayah Kadipaten Wirasaba
menjadi empat wilayah,sekaligus juga memberi waktu yang cukup untuk
mengembangkan Wilayah Kejawar Banyumas guna menyongsong rencana pemekaran atau
pemecahan Wilayah Kadipaten Wirasaba.
Tentu
bukan hal yang mudah bagi R. Jaka Kahiman melewati masa-masa sulit empat tahun
masa pemerintahannya sebagai Adipati Wirasaba Wargahutama II (1578 - 1582 M).
Pertama dia harus menjaga kepercayaan Raja Pajang kepadanya.Kedua, dia harus
menjaga agar Mataram tidak melakukan gangguan kepadanya. Ketiga dia juga harus
mencegah agar ahli waris Adipati Wirasaba VI yang lainnya, tidak dihasut oleh
Mataram untuk melawan dirinya. Memang akhirnya R. Jaka Kahiman sampai pada
pilihan untuk berbagi kekuasaan dengan seluruh ahli waris Adipati Wirasaba
Wargahutama I . Tentu ini sebuah pilihan strategis yang mampu melihat jauh
kedepan. Agaknya cukup beralasan jika R. Jaka Kahiman berpikir, apabila dia tak
mau berbagi kekuasaan dengan ahli waris Wirasaba yang lain, sementara dia
sendiri hanyalah putra menantu, tentunya amat berisiko terhadap dirinya maupun
keturunannya, bila kelak ternyata Mataram tumbuh jadi Kerajaan besar yang mampu
menaklukkan Pajang. Pastilah posisi dirinya dan anak keturunannya akan terancam.
F. R. Jaka Kahiman Dilantik Sebagai Bupati
Banyumas
Akhirnya
memang Raja Pajang menyetujui pembagian wilayah Kadipaten Wirasaba. Dan agaknya
memang benar pemecahan atau pemekaran Wilayah Wirasaba menjadi empat
wilayah yang dikenal dengan mrapat disahkan pada tanggal 6 April 1582 M
sekaligus dengan wisuda dan pelantikan R. Joko Kahiman sebagai Bupati Banyumas
I yang otonom lepas dari Kadipaten Wirasaba. Tentunya ikut dilantik juga
penguasa kadipaten atau kabupaten yang lain. Agaknya juga benar, bila
menggunakan kerangka analisa De Graaf dan adat serta tradisi yang biasa berlaku
pada Kerajaan Islam Demak-Pajang dan kelak juga Mataram, bahwa peristiwa itu
bertepatan dengan Perayaan Garebeg Maulud 12 Rabiul awal 990 M yang bertepatan
dengan tanggal 6 April 1582 M. Harinya yang tepat agaknya bukan Jum'at Kliwon. Tetapi
Selasa Kliwon.
Dari
sudut struktur pemerintahan, pelantikan R.Jaka Kahiman sebagai Bupati Banyumas
pada tahun 1582 M, tidak merubah posisinya dibandingkan dengan pelantikannya
sebagai Adipati Wirasaba pada tahun 1578 M. Sebab jabatan Bupati setara dengan
jabatan Adipati. Hanya dari segi luas wilayah dan rentang pengendalian
wilayah memang menyusut menjadi seperempatnya. Akan tetapi pilihan ini
terbukti tepat. Keturunan R. Jaka Kahiman bukan hanya selamat dari kemungkinan
dendam Mataram, setelah kelak Mataram menjadi kerajaan yang sukses menggantikan
Pajang. Senapati dan raja-raja Mataram berikutnya mempercayakan pengelolaan
wilayah Lembah Serayu yang subur itu kepada anak dan cucu R. Jaka Kahiman. R. Jaka
Kahiman sendiri tidak sempat menyaksikan runtuhnya Kerajaan Islam Pajang dan
bangkitnya Kerajaan Islam Mataram. Karena pendiri Kabupaten Banyumas itu wafat
pada tahun 1583 M. Yakni tahun saat 1000 tentara Kerajaan Islam Demak
berhadap-hadapan dengan Senopati di Randu Lawang dengan jumlah pasukan yang
jauh lebih sedikit.Tahun 1583 M itu, Sultan Pajang Hadiwijoyo mengirimkan
ekspedisi militer untuk menaklukan Mataram.Tetapi penaklukan itu mengalami
kegagalan. Padahal dua tahun sebelumnya Hadiwijoyo baru saja diwisuda sebagai
Sultan Kerajaan Islam Pajang (1581 M).
Karena
itu Perayaan Garebeg Maulud 12 Rabiul Awal 1582 M, setahun sebelum penyerbuan
ke Mataram yang gagal itu, bagi Hadiwijoyo merupakaan saat yang paling
istimewa dan membahagiakan dirinya. Karena saat itu adalah saat Hadiwijoyo
untuk pertama kalinya tampil dalam acara Garebeg Maulud dengan menyandang
gelar Sultan Pajang. Itulah saat pertama kali Hadiwijoyo melantik para
adipati atau bupatinya dengan menyandang gelar Sultan.Memang gelar Sultan baru
berhasil diperoleh Hadiwijaya setelah hampir 13 tahun menjadi Raja Kerajaan
Islam Pajang. Dengan demikian tanggal 6 April 1582 M yang bertepatan dengan
tanggal 12 Rabiul Awal 990 H, memang adalah hari yang amat istimewa dan penuh
dengan momen-momen peristiwa sejarah yang penting.
Pada
tahun 1581 M Raja Pajang Hadiwijoyo memperoleh gelar sultan dari
Sunan Giri Prapen (1548-1605) yang melantiknya sebagai Sultan Kerajaan
Islam Pajang di Kedaton-Pesantren Giri. Pelantikan itu dihadiri oleh hampir
seluruh adipati di Jawa Timur. Dengan gelar sultan di
tangannya, berarti Hadiwijoyo telah mendapat dukungan yang sah dan kuat.
Bukan hanya dari para adipati, tetapi juga dari tokoh dan pemuka agama yang
amat disegani, yakni Sunan Giri Prapen. Bagi Sultan Pajang Hadiwijoyo, penganugerahan
gelar sultan itu memiliki nilai politis yang istimewa dalam rangka memenangkan
rivalitas dan konflik dengan Mataram. Memang kampanye Hadiwijoyo membendung
ambisi Mataram di wilayah sebelah timur relatif lebih berhasil dari
pada di wilayah sebelah barat Mataram khususnya dilembah Sungai Progo, Bogowonto
dan Lembah Serayu. Di wilayah ini pengaruh Mataram memang cukup kuat
sebagai akibat dari adanya jaringan kekerabatan para turunan kentot Pengging. Sukses
kampanye Sultan Pajang di wilayah Jawa Timur dan wilayah lainnya yang dekat
dengan perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur antara lain juga disebabkan
strateginya menempatkan sejumlah kerabatnya sebagai penguasa daerah. Pangeran
Timur, iparnya dan putra bungsu Trenggono, diangkat sebagai Bupati Madiun. Ario
Pangiri, kemenakan sekaligus menantu, ditetapkan sebagai Adipati Demak. Demikian
pula Jipang dan Blora, berada di bawah kendali kerabat dekat Sultan.
Sebenarnya
pada Perayaan Garebeg Maulud 6 April 1582 M itu, Sultan Hadiwijoyo berharap
penguasa Mataram mau hadir sebagai suatu bukti bahwa Mataram mengakui
kedaulatan Pajang. Tapi harapan itu ternyata sia-sia. Alih-alih Mataram mau
hadir.Mataram bahkan mulai membangun tembok keliling yang membentengi dan
melindungi Kadipaten Mataram, seakan-akan Mataram memang tengah bersiap-siap
menghadapi kemungkinan ekspedisi militer Pajang. Dugaan Mataram
ternyata benar. Tahun 1583 M, Pajang mengirimkan lebih kurang 1000 pasukan
yang dipimpin oleh Pangeran Banowo,putra Sultan Hadiwijoyo. Ternyata Senopati
tidak bergeming. Senopati menyongsong pasukan Pajang itu di daerah sebelah
timur Mataram yang bernama Randu Lawang. Babad Tanah Jawi melukiskan,kedua
pasukan yang sudah siap tempur itu, urung bertempur,karena kecerdikan diplomasi
Senopati. De Graaf menyebutkan akibat kekalahan yang memalukan itu, Sultan
Pajang yang sudah semakin sepuh sangat terpukul. Apalagi, sebelum mengirimkan
ekspedisi ke Mataram, Sultan Pajang menyempatkan berziarah terlebih dahulu ke
makam toko seorang wali penyebar agama Islam terkenal,yakni makam Tembayat yang
memang tak jauh dari Pajang. Sultan Pajang akhirnya wafat pada tahun 1586 M.
Dengan cepat Senopati memanfaatkan momentum tersebut. Kraton Pajang
diduduki.Dan simbol-simbol kerajaan Islam diboyong ke Mataram.Konflik Pajang
Mataram pun berakhir. Mataram tampil sebagai Kerajaan Islam baru yang paling
perkasa pada jamannya. Di tengah-tengah panggung sejarah pusaran konflik
Pajang-Mataram itulah, sesungguhnya Kabupaten Banyumas
dilahirkan.Setidak-tidaknya begitulan jika kita meminjam kerangka analisa dari
De Graaf dan Pigaud,dua sarjana Belanda yang memiliki reputasi Internasional
dalam bidang sejarah, khususnya Sejarah Jawa.
G. Kesimpulan
Dengan
meminjam kerangka analisa De Graaf, sebenarnya telah dibuktikan bahwa penetapan
tanggal 12 Rabul Awal 990 H yang bertepatan dengan 6 April 1582 M, sebagai Hari
Jadi Kabupaten Banyumas, justru tidak bertentangan dengan fakta sejarah yang
ada. Bahkan informasi tradisi Makam Bupati Mrapat yang menyatakan R. Jaka
Kahiman memerintah pada tahun 1571-1582 M,
jika ditafsirkan dengan menggunakan kerangka analisa De Graaf, justru bisa
semakin melengkapi kerangka analisa De Graaf. Demikian pula informasi dalam
Babad Kalibening, tentang kehadiran R. Jaka Kahiman pada tanggal 27 Ramadhan
978 H yang bertepatan dengan tanggal 4 Maret 1571 M, hari Kamis Wage, bila
ditafsirkan menggunakan krangka analisa De Graaf, juga semakin melengkapi dan
tidak bertentangan.
Dalam
historiografi, dimensi ruang dan waktu amatlah penting. Sebab semua tokoh
sejarah, kejadian dan peristiwa sejarah, pasti berada dan terjadi dalam
dimensi ruang dan waktu. Suatu dimensi yang seringkali diabaikan oleh penulis
babad dan kronik lokal lainnya. Tugas seorang ahli sejarah memang antara lain
adalah menempatkan tokoh, peristiwa dan kejadian sejarah itu dalam dimensi
ruang dan waktu yang tepat, yang sejalan dengan fakta sejarah yang sebenarnya.
Dalam
kaitan ini, kerangka analisa De Graaf cukup memenuhi standar tersebut. Sehingga
kalau kita gabungkan dengan informasi tradisi Makam Bupati Mrapat dan Babad
Kalibening,kita akan memperoleh urutan kronologis kejadian sebagai berikut:
a. Pada
Tahun 1571 M, R. Jaka Kahiman, sudah megang jabatan sebagai penguasa wilayah
Kejawar Banyumas, memerintah atas nama mertuanya Adipati Wirasaba. Daerah
Kejawar Banyumas belum dimekarkan jadi daerah otonom yang berdiri sendiri lepas
dari Wirasaba. Bisa jadi cikal bakal kota Banyumas sudah dibangun pada tahun
ini oleh R. Jaka Kahiman. Tetapi sudah jelas bahwa Kabupaten Banyumas belum
lahir.
b. Pada
tahun 1578 M, R. Jaka Kahiman, diwisuda oleh Raja Pajang menjadi Adipati
Wirasaba VII Wargahutama II, menggantikan Adipati Wirasaba VI Wargahutama I,
yang terbunuh akibat pendudukan Wirasaba oleh pasukan Pajang.
c. Pada
tahun 1582 M, bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 990 H, yang bertepatan dengan
tanggal 6 April,Selasa Kliwon, R. Jaka Kahiman di lantik sebagai Adipati
Banyumas.
d. Pada
tahun 1583 M, setelah memerintah sebagai Bupati Banyumas lebih kurang satu
tahun, Bupati Banyumas I itu wafat.
Dengan
demikian informasi dari tradisi Makam Bupati Marapat,bahwa R.Jaka Kahiman
berkuasa antara 1571-1582 M, memang sesuai dengan fakta.Hanya masa 1571-1578, belum
sebagai Bupati Banyumas yang otonom lepas dari Wirasaba. Periode 1571-1578
M,jika kita pegang kerangka analisa De Graaf, adalah periode R. Jaka Kahiman
menjadi penguasa daerah Kejawar Banyumas dengan status semacam wedana atau
demang. Bukankah ayah angkatnya juga seorang Demang Kejawar?.
Sebagai
bahan banding, dalam buku-buku sejarah smp,sering tertulis jabatan Sultan Pajang
Hadiwijoyo adalah pada periode 1546-1586 M. Padahal antara tahun 1545-1568 M, masih
menjabat Adipati Pajang. Tahun 1568-1581 M,menjabat sebagai Raja Pajang.Baru
pada tahun 1581-1586 M, menjabat sebagai Sultan Pajang. Demikian pula harus
kita tafsirkan informasi masa R. Jaka Kahiman memerintah antara tahun 1571-1582
M.
Sebenarnya
dengan menggunakan metode tertentu yang biasa dipakai oleh para ahli sejarah
dalam historiografi, bisa direkontruksi masa jabatan tokoh-tokoh sejarah
seperti yang biasa digunakan Husein Djajadiningrat dan Prof. Schrieke, yang
tentu saja tak mungkin diuraikan di sini.Hasil rekontruksi secara kasar masa
jabatan Adipati Wirasaba VI adalah sbb:
a. Masa
Jabatan Adipati Wirasaba VI antara tahun 1553 - 1578 M, jika kita gunakan analisa
De Graaf, yakni Sang Adipati wafat pada tahun 1578 M. Usia diperkirakan 48
tahun.Pada sekitar tahun 1568 M, saat Raja Pajang nmemproklamirkan berdirinya
Kerajaan Islam Pajang, diperkirakan berusia sekitar 5 windu dalam hitungan
kalender Jawa. Usia 5 windu, menurut Ki Hadjar Dewantara, ahli Pendidkian dan
Kebudayaan Jawa, adalah awal usia Satrio Pinandito. Yakni usia puncak saat
seseorang mencapai awal puncak karier dan mulai berani menentukan
pilihan-pilihan politik, agama dan kepercayaan sesuai dengan apa yang
diyakininya.
b. Sedangkan
Sang menantu R.Jaka Kahiman, ternyata wafat dalam usia yang lebih muda lagi
dari Sang Mertua, yakni pada usia 42 tahun, saat puncak karir sebagai Satrio
Pinandito, baru dilewati beberapa tahun. Anehnya, usia 5 windu R. Jaka Kahiman
hampir bertepatan dengan tahun 1578 M. Jadi cocog dengan pendapat Ki Hadjar
Dewantara tentang usia Satrio Pinandito sebagai puncak karir seorang ksatria
Jawa. Tahun 1578 M adalah tahun dia mencapai puncak karir, karena tahun itu
diangkat jadi Adipati Wirasaba VII, menurut kerangka analisa De Graaf.
Tetapi
memang mati muda ketika tengah berada pada puncak karir perjuangannya, sering
sekali dialami tokoh-tokoh sejarah yang menyandang nama besar.
H. Penutup.
Demikian
catatan saya menanggapi hasil Sarasehan Stupa Mas Sabtu Pahing, 12 April 2013
M. Sama sekali bukan untuk berpolemik atau apalagi menilai maupun
menanggapi hasil temuan Prof. Dr. Sugeng Priyadi M. Hum dalam bukunya, "Tinjauan
Ulang Hari Jadi Kabupaten Banyumas". Sebab tentu tidak elok menanggapi, palagi
menilai jika membaca, bahkan melihat bukunya pun belum. Tulisan ini justru
dimaksudkan untuk mendorong agar Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum, lebih gigih
memperjuangkan apa yang telah ditemukannya. Karena bisa jadi memang beliau
memiliki analisa, tafsir dan kerangka berpikir baru yang perlu untuk
menyempurnakan Ketetapan Hari Jadi Kabupaten Banyumas yang sudah ada. Lagi pula
etika dalam setiap diskusi dan seminar, sebenarnya tidak ada yang salah. Semua
kerangka berpikir adalah benar sesuai dengan asumsi dan anggapan dasar yang
dipergunakan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam diskusi, seminar
maupun sarasehan.
Apalagi
yang saya tulis ini, juga dari hasil meraba-raba dari informasi dalam slide
Paparan yang sifatnya terbatas dan amat minim, sehingga kesalahan dalam membuat
tafsiran bisa saja terjadi. Lagi pula penulis pun hanya meminjam hasil analisa
dan kerangka berpikir yang dikemukakan De Graaf dan Pigeaud. Tentu kesalahan
dan ketidak tepatan dalam menafsirkan bisa saja terjadi.
Harus
diakui memang masih banyak yang harus disempurnakan di balik Perda No. 2 Tahun
1990 M Kabupaten Banyumas. Misalnya hari
pasaran yang kurang tepat, tumpang tindih masa jabatan dan kronologis
urut-urutan kejadian yang seharusnya memang didasarkan atas fakta sejarah yang
sebenarnya. Tentu saja dengan memberi peluang terhadap setiap usaha
penyempurnaan. Sebab setiap saat memang bisa ditemukan bukti-buktti fakta
sejarah yang baru.
Akhirnya
penulis memang bukan seorang sejarawan atau pun ahli sejarah. Barangkali hanya
peminat sejarah. Walapun begitu, sempat menjadi guru sejarah hampir lima tahun,
sempat diundang menjadi peserta Seminar Sejarah Nasional yang diselenggarakan
Masyarakat Sejarahwan Indonesia. Karena pada masa Orde Baru mendapat SK. BP7
Pusat sebagai Penatar P4 Tingkat Daerah Propinsi Jawa Barat di BP7 Daerah Jabar
dan berakhir setelah Orde Baru tumbang, terpaksa sedikit banyak memang
mau tidak mau memperkaya dengan buku-buku bacaan sejarah, yang kini sudah
banyak tercecer entah kemana saja.
Bagi
teman-teman SETUPA MAS, yang ingin mengecek apa-apa yang saya kemukanan dalam
tulisan saya itu, bersama ini saya sertakan buku referensi sumber bacaan.
Terimakasih atas segala perhatiannya. Salam SETUPA MAS. Semoga Jaya SETUPA MAS,
Jaya Banyumas Jaya pula Indonesiaku, di bawah naungan maghfiroh, barokah,rahmat
dan kasih sayang Allah SWT. Nuwun.
Anwar
Hardja
Bandung, Taman Rafflesi
C-12, Bandung, 6-5-2013 M.
Sumber
Bacaan:
1. De
Graaf, Dr-Pigeaud, Dr, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Grafiti Pers, 1985.
2. ................,
Puncak Kekuasaan Mataram, Grafiti Pers, 1985.
3. .................,
Babad Tanah Jawi, Sadu Budi Solo, 1943.
4. .................
Babad Pajang, Sadu Budi Solo, 1943.
5. Moertono,
Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina Negara Di Jawa Masa Lampau, Yayasan Obor
Indonesia, 1985.
6. Djajadiningrat,
Husein, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Penerbit Djambatan, 1983.
7. Sunyoto
Agus, Atlas Walisongo, Penerbit Mizan, 2012.
8. M.
Koderi, Banyumas Wisata dan Budaya, CV. Metro Jaya, 1991.
9. Lombar
Denys, Nusa Jawa Silang Budaya, jilid 1, 2, 3, Penerbit Gramedia, 1996.
10. Ki
Hadjar Deantara, Kebudayaan, Majelis Luhur Tamansiswa, 1980.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar